Co-founder PT Tritunggal Orasa Prima Alam Semesta
Bioplastik
yang ramah lingkungan
Kevin
Kumalaputra menikmati Bali yang bersih sebelum ia hijrah ke Amerika Serikat
tahun 1998. Namun, belakangan, salah satu tujuan wisata terbaik dunia itu
justru dirundang banyak sampah plastik. Prihatin atas kondisi itu, ia
memproduksi bioplastik dari sari pati singkong, jagung, dan ampas tebu yang
ramah lingkungan.
Kevin
mengibaratkan, sebelum tahun 1998, orang bisa surfing gembira di ombak lautan. Sekarang, surfing seperti di atas ombak sampah plastik. Dulu, ia bisa menyelam menikmati keindahan
taman bawah laut Bali. Kini, diving untuk memunguti plastik.
Apa
mau dikata, itulah gambaran ekstrim yang nyata. Kenyataan itu mendorong Kevin
mencari solusi. Ia mencoba menciptakan produk bioplastik ramah lingkungan dan
membuka kantor utama dengan laboratorium kecil di Bali. Kantong keresek
bioplastik disobek kecil-kecil, lalu dimasukkan ke dalam akuarium.
Potongan-potongan itu bisa menjadi santapan bagi ikan. Kenapa begitu? Karena
plastik itu dari sari pati singkong, jagung, dan ampas tebu sehingga ramah
lingkungan.
Begitu
pula beberapa produk temuan lain, seperti sedotan minuman, gelas kopi (coffee
cup) berikut tutupnya, kotak styrofoam, dan kertas berlapis plastik atau lilin.
Sepintas produk itu terlihat serupa plastik pada umumnya, tetapi sebenarnya
semua itu dibuat dari bahan alami sehingga ramah lingkungan.
Kevin
mulai uji coba tahun 2009. Ia membuat studi kelayakan tentang parahnya polusi
plastik dan menjajagi potensi serta kemungkinan untuk mengatasi polusi plastik.
Selama proses itu, latar belakang pendidikannya cukup membantu dalam bekerja.
Perjalanan studi Kevin memang memberikan modal ilmu pengetahuan. Tujuh tahun ia
kuliah kedokteran di Amerika Serikat. Pendidikan S1 Biologi dengan fokus
mikrobiologi memberi kemampuan bagaimana menganalisis komponen-komponen atau
unsure biomassa.
Menurut
Kevin, ilmu ini memberikan dua pemahaman tentang selulosa dan amilosa. Selulosa
member manfaat baik, yaitu produk bioplastik bisa diserap secara alami menjadi
kompos saat masuk ke dalam tanah. Amilosa berfungsi mengubah material agar
memiliki karakteristik lebih baik dari pada plastik biasa.
Bagi
Kevin, bioplastik harus memiliki kemampuan durabilitas (ketahanan) sekaligus eco-friendly (ramah lingkungan). Kalau sekedar tahan tetapi tak
ramah lingkungan, itu sama saja memproduksi plastik yang ada di pasaran. Namun,
kalau sekedar ramah lingkungan tanpa ketahanan, bioplastik itu akan cepat jebol.
“Tingkat ketahanan bioplastik ini mencapai 85 persen, sedangkan daya tampungnya
4,5 kilogram. Ternyata produk ini justru dilirik untuk pasar ekspor. Terang
terang saya kurang diapresiasi di pasar dalam negeri. Inilah karya anak bangsa
yang disepelekan,” katanya.
Memang harga produk itu lebih mahal dari pada plastik
biasa yang beredar di pasaran. Itu terjadi karena produk organik menggunakan
bahan baku premium dari aneka tumbuhan. Plastik biasa terbuat dari petroleum
yang cikal bakalnya dari fossil fuel
atau energi tak terbarukan.
Meminjam
waktu
Bagi Kevin, hidup di dunia ini hanyalah meminjam waktu
dari anak dan cucu kita. Apa yang akan ditinggalkan buat anak-anak dan cucu
kalau semua masih menggunakan fossil fuel?
Kevin mengambil ampas singkos yang masih kategori
industrial grad cassava untuk bahan baku bioplastik. Material ini biasanya
untuk suplemen makan ternak. Ada juga bahan baku dari ampas tebu (bagas) yang
biasanya buangan pabrik gula. Pemuda ini menyebut dirinya sebagai pemulung. “Saya
ambil sampah sari pati dan memprosesnya menjadi produk bernilai tambah,”
ucapnya. Ada yang diproses sendiri di pabriknya di Tangerang, Banten, tetapi
untuk produk tertentu diproses oleh mitra di China. Produk tertentu itu
diproduksi di negara lain semata-mata mempertimbangkan efisiensi biasa
produksi.
Ampas tebu dari Indonesia dikumpulkan, lalu diekspor ke
China untuk diproses menjadi produk jadi. Produk itu lantas diimpor kembali ke
Indonesia untuk dipasarkan, terutama di pasar luar negeri. Soalnya, hanya
sebagian kecil hotel di dalam negeri yang tertarik.
Kevin menjelaskan, gelar kopi yang beredar dan digunakan
masyarakat, bahkan di restoran terkemuka, sering disebut tidak berbahaya.
Padahal, 60 persen coffe cup itu
terbuat dari plastik. Itu berbeda dengan bioplastik produksi Kevin yang
menggunakan bahan baku alami, seperti ampas tebu, pati singkong, dan pati
jagung. Pati jagung berbentuk bubuk. Kevin mengembangkan gelas kopi murni dari
pati jagung, termasuk bagian penutup gelasnya. Sesuai pengakuan lembaga
sertifikasi di Amerika Serikat, gelas tersebut akan terurai menjadi kompos
dalam waktu 180 hari. Ini menjadi nilai tambah bagi lingkungan. Berdasarkan
penelitian Kevin, dengan cuaca lebih panas dan curah hujan tinggi di Indonesia,
produk itu bahkan bisa terurai menjadi kompos dalam 60 hari.
Ancaman
sampah plastik
Sekarang ini, produk yang beredar di pasaran disebut degradable plastic. Sekitar 80 persen
memang sudah menggunakan plastik khusus, tetapi sesungguhnya masih tergolong
plastik. Produk itu hanya disuntik zat metal agar sewaktu masuk ke tanah bisa
terurai dalam dua tahun. Namun apa yang terjadi? Pecahan kemasan itu berpotensi
dimakan binatang seperti ayam, sapi, atau kambing, bahkan tumbuhan yang
ujung-ujung dikonsumsi manusia. Plastik jenis itu memengaruhi kondisi dan
kesuburan tanah karena metal yang disuntikkan bisa dikategorikan kobalt dan
terkadang magnesium. “Inilah yang disebut microplastic pollutions. Ini jauh
lebih berbahaya dari plastik itu sendiri. Tidak bisa dihindari hewan,” ujarnya.
Di beberapa benua, kemasan plastik degradable sudah dilarang karena dampak buruknya besar. Kita tidak
cukup berkampanye dengan slogan reduce (mengurangi),
reuse (penggunaan kembali), dan recycle(daur ulang). Slogan 3R itu
hanyalah melodi indah. Kita perlu replace
(menggantikan) dengan jangkauan lebih besar. Konsumen tidak usah mengubah
kebiasaan sehari-hari, tetapi pelaku usahalah yang harus mengganti bahan-bahan
dari plastik dengan nabati. Itu termasuk penyedia jasa perhotelan dan restoran.
Kevin memberikan ilustrasi menarik. Jumlah penduduk
Indonesia 250 juta jiwa. Panjang sedotan plastik biasanya 20 centimeter.
Apabila satu orang menggunakan satu sedotan plastik , berarti lebih kurang
sedotan itu akan tersusun menjadi sekitar 50.000 kilometer. Lebih jauh, sedotan
plastik sepanjang itu berarti sama dengan 1,2 kali panjang garis katulistiwa di
bumi ini yang lebih kurang 41.000 kilometer. Jika kondisi itu dibiarkan,
epidemik plastik menjadi ancaman nyata bagi Indonesia dan dunia. (*).
Biodata
Nama lengkap | : | Kevin Kumalaputra. | |||||||||
Tempat, tgl lahir | : | Jakarta, 21 Mei 1985. | |||||||||
Nama ayah | : | Kuky Kumala. | |||||||||
Nama ibu | : | Tina Kohar. | |||||||||
Pendidikan : | |||||||||||
2003 - 2007 | : | Bachelor of Arts Ilmu Biologi University of Southern California. | |||||||||
2003 - 2007 | : | Minor in Business Administration University of Southern California. | |||||||||
2007 | : | Doctor of Oral-Maxillofacial Surgery University of California Los Angeles. | |||||||||
2014 - 2016 | : | Magister Manajemen Universitas Bina Nusantara (2014-2016). | |||||||||
Pengalaman : | |||||||||||
2014 - sekarang | : | Co-founder PT Nirwana Alam Hijau (Avani). | |||||||||
2015 - sekarang | : | Co-founder PT Tritunggal Orasa Prima Alam Semesta (Uncle Mao’s). | |||||||||
2011 - sekarang | : | Co-founder dan Managing Director PT Berkat Karya Utama. | |||||||||
2009 - 2014 | : | Presiden Direktur PT Mitra Bina Sejahtera. | |||||||||
2009 - 2012 | : | Chief of Operational Officer CV Algaetech Indonesia. | |||||||||
Sumber : Rubrik Sosok Koran Kompas edisi Kamis 27 April 2017 halaman 16. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar