Sabtu, 17 November 2018

Ismail Nachu, S.Ag Ketua ICMI Jawa Timur (2015-2020)


Ismail Nachu, S.Ag
Ketua ICMI Jawa Timur (2015-2020)


Menumbuhkan Saudagar Muslim


Nama lengkapnya Ismail Nachu. Kebanyakan orang memanggilnya Ismail. Ia bukan anaknya orang kaya. Pria ini lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 12 September 1965 dari keluarga nelayan yang miskin. Bapaknya meninggal ketika ia masih kecil. Sehingga ia hidup dengan emaknya yang sehari-hari berjualan di warung kecil. Di situ sang emak menghidupi keluarganya.

Sewaktu masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Suniah Pasuruan pernah berjualan permen. Sekolah tempatnya menimba ilmu ini adalah sekolah tradisional yang seragamnya masih pakai sarung. Lokasinya bersebelahan persis di utara Masjid Agung Al Anwar Pasuruan.

Pelok
Ismail kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Pasuruan. Ia sudah tidak jualan permen lagi. Ia sekolah sambil bekerja jadi tukang jahit di tailor milik gurunya. Ketika masih di kelas dua Tsanawiyah ada satu kenangan yang tak terlupakan sampai sekarang. Malam itu ia silaturahim ke rumah gurunya yang sekaligus juragannya. Di sana ia disuguhi buah mangga. Mangga itu dimakan hingga yang tersisa biji mangga yang namanya pelok. Melihat pelok yang ada di atas piring, gurunya memberi komentar, “Il (panggilan untuk Ismail, red), kalau pelok itu terus-terusan tergeletak di atas piring sampai tiga bulan kira-kira jadi apa?”

Waktu itu usia Ismail sekitar 14 tahun. Anak yatim yang pintar ini sepontan menjawab, “Tentu peloknya akan kering, busuk dan akhirnya dibuang ke tempat sampah”.

“Betul sekali,” kata gurunya. “Begitu juga dirimu. Bisa diibaratkan kamu saat ini masih pelok. Kalau kamu menjadi anak manja seperti pelok di atas piring itu, memang kelihatannya enak, badannya bersih, nggak merasakan panasnya sinar matahari, nggak kena hujan, nggak merasakan susahnya cari duit, akhirnya kamu akan terlena. Kamu lupa berjuang untuk masa depanmu, akhirnya malah akan menjadi anak yang tak berguna, seperti sampah. Kamu akan tersisih dan akhirnya terbuang. Tapi sebaliknya kamu saat ini bukan anak manja, sekolah sambil bekerja. Hidupmu susah seperti pelok yang dibuang ke tanah, kena panas sinar matahari, kena hujan, kotor, tapi kamu kelak akan tumbuh dan berbuah lagi. Kamu akan menjadi anak yang berguna dan insya Allah akan tumbuh jadi orang”. Itu kata-kata gurunya yang masih ia ingat sampai sekarang. Ini salah satu wejangan yang menginspirasi hidupnya.

Kemudian Ismail melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) sampai tahun 1985. Waktu sekolah di Aliyah, Ismail yang lahir di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) aktif di organisasi sayapnya NU namanya Pelajar Islam Indonesia (PII). Tapi PII ini bukan underbouw NU. Ia bersyukur bisa aktif di PII, organisasi yang turut menempa dirinya. Banyak hal yang bisa ia ambil inspirasi dan pelajaran. Dari situlah proses pembelajaran dirinya di dalam kehidupan di samping melalui sekolah secara formal. Inilah yang berakumulasi menjadi bekal hidupnya sekaligus menjadi landasannya untuk menyikapi hidup sampai detik ini.

Di Undar setahun
Sayangnya pendidikan Ismail banyak terkendala di biaya. Sehingga lulus MAN tidak bisa langsung mendaftar di perguruan tinggi. Menunggu kalau sudah punya uang. Untungnya kepala sekolahnya, Thiras Gultom (almarhum), memberinya pekerjaan membuat seragam baru MAN. Uang dari hasil memborong pekerjaan membuat seragam sekolah ia gunakan untuk mendaftar ke perguruan tinggi swasta Universitas Darul Ulum Jombang (Undar). Kenapa ia memilih kuliah di Jombang? “Jombang dikenal sebagai Madinah-nya Jawa,” demikian pemuda NU itu memberi alasan. Kebetulan saat itu ia sudah mengidolakan Nurkholis Majid, Gus Dur, dan Cak Nun. Yang tiga-tiganya termasuk penulis kolom di Tempo.

Sebenarnya ia mendapat panggilan masuk ke Universitas Brawijaya Malang tanpa tes. Tapi berhubung belum punya biaya, panggilan itu tidak dipenuhi.

Namun kuliah di Undar hanya bertahan setahun karena SPP-nya mahal. Meskipun sudah diupayakan kuliah sambil njahit di kompeksi Anis di Pasar Besar Jombang tetap berat menjalaninya.

Masuk IAIN
Keluar dari Undang Ismail pindah ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Surabaya. Masuk ke Fakultas Adab. Kenapa pilih Adab? Ia terinspirasi oleh Fachry Ali yang saat itu sebagai mahasiswa Fakultas Adab IAIN Jakarta yang sudah kerap menulis artikel di koran Kompas. Sehingga ia ikut masuk Fakultas Adab.

Lagi-lagi desakan masalah ekonomi membuat Ismail nekat meninggalkan kuliah pergi merantau ke Jakarta mencari uang. Padahal saat itu tinggal menyelesaikan skripsi. Di Jakarta ia bekerja di LSM PKSP (Pusat Kajian Strategi Pembangunan). Tapi di Jakarta pun tidak bisa bertahan lama. Belum genap satu tahun di Jakarta Ismail pulang ke Surabaya karena harus menikah dengan pegawai negeri dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Namanya Nurhayati yang sekarang masih menjadi istrinya. Setelah menikah Ismail mulai aktif di Masika (Majelis Sinergi Kawan), sayap mudanya ICMI. Ia pernah menjadi Ketua Masika sambil tetap aktif di LSM.

Skripsi
Kemudian Ismail melanjutkan skripsinya. Ia menulis skripsi dengan judul “Reformulasi Politik Islam Era Orde Baru”. Pada intinya ia sedang menulis gerakan kaum cendekiawan di Indonesia. Pada saat melakukan survei pendataan dengan tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid (Jakarta), Kuntowijoyo (Yogya), Amin Rais (Yogya), Fuad Hapsari (Surabaya) dan lain-lain itulah ia mengetahui, bahwa pada saat itu ada rencana pendirian organisasi ICMI.

“Dalam rangka menulis skripsi itulah saya akhirnya masuk ke lingkaran orang-orang yang menggagas berdirinya ICMI. Sehingga pada saat ICMI berdiri 7 Desember 1990 di kampus Universitas Brawijaya Malang saya tercatat sebagai salah satu penandatangan berdirinya ICMI. Semenjak itu saya ada keterkaitan dengan ICMI. Saya sebagai mahasiswa fokus di skripsi. Sehingga saya bisa kenal dengan tokoh-tokoh cendekiawan. Saya akhirnya diajak untuk aktif di LSM,” kata Ismail.

“Skripsi saya akhirnya bisa selesai dan lulus. Itupun dideadline. Alhamdulillah bisa mendapat gelar sarjana agama (S.Ag),” lanjutnya.

Di Surabaya Ismail mendirikan kantor cabang LSM Puspa Indah (disingkat Puspanda). LSM atau Yayasan Puspa Indah ini milik Adi Sasono.

Setelah program di Puspa Indah selesai, Ismail pindah ke LSM Pupuk (Perkumpulan untuk Peningkatan Usaha Kecil). Sebuah LSM yang kantornya di Bandung. Ketuanya sama, Adi Sasono. Fokus kegiatannya pendampingan/ pemberdayaan usaha kecil. Ia ditempatkan di kantor perwakilan Surabaya.

Tahun 1995 Ismail keluar dari LSM Pupuk pindah ke LSM LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerapan Ekonomi dan Sosial). LSM ini basisnya di Jakarta kegiatannya konsen di kajian dan sebagainya. Waktu itu direkturnya Dawam Raharjo. LSM yang sangat terkenal. Boleh dibilang LSM tua yang sangat terkenal dengan penerbitannya majalah Prisma, semacam jurnal. Ia mengaku sering membacanya juga.

Tahun 1996 di LP3ES keluar kebijakan, di mana semua perwakilan LP3ES yang ada di provinsi Surabaya, Makassar, Padang dan sebagainya didorong dan dituntut untuk berdiri sendiri. Semacam otonomi daerah. Akhirnya Ismail dan kawan-kawannya di LP3ES Surabaya mendirikan LSM namanya Spektra, singkatan dari Studi dan Pengembangan Ekonomi Kerakyatan. Hubungannya dengan LP3ES di Jakarta historis. Tujuannya di antaranya untuk lebih mengefektifkan gerakannya di daerah supaya tidak nggantung di pusat. Ia menjalaninya sampai tahun 2001.

Tahun 2001 Ismail mulai gelisah karena gajinya bekerja di LSM tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Motor sudah punya tetapi rumah belum punya, masih ngontrak. Padahal anak sudah dua pada waktu itu.


Membeli tanah
Didorong kegelisahan semacam itulah tahun 2001 Ismail mulai merintis usaha dengan membeli tanah. Saat itu ia baru punya uang tabungan Rp. 20 juta. Hebatnya ia bisa membeli tanah kapling seharga Rp. 1,5 miliar di Medoro, Sidoarjo. Padahal ia tidak pinjam bank, karena pada waktu itu dirinya belum dipandang oleh bank. Terus bagaimana bisa membeli kapling Rp. 1,5 miliar? Ternyata ada sekitar 150 temannya yang bersedia meminjamkan uangnya pada Ismail. Selebihnya memainkan cash flow dengan termin pembayaran kepada pemilik tanah. Tanah yang dibeli ia buat usaha kaplingan karena belum memiliki ketrampilan teknis di bidang perumahan. Jadilah ia mulai bisnis barunya jual beli kapling tanah di kota kelahirannya, Pasuruan. Meskipun sudah jadi pengusaha ia masih aktif di LSM. Bisnis jual beli tanah itu ia geluti sampai kurang lebih tiga tahun.

Tahun 2006 Ismail mulai merintis membangun perumahan sendiri di Kelurahan Kebun Sari, Ketintang, Surabaya. Nama perumahannya Griya Kebun Sari Baru. Kurang lebih 34 unit rumah. Bisnis ini terus ditekuninya sambil tetap aktif di ICMI. Karena ia terikat dengan pendirian ICMI. Sebelumnya di awal-awal berdirinya ICMI (1991) kurang terlibat karena masih bekerja di LSM Jakarta dan sebagainya.

Tahun 2000 ketika Habibie sudah tidak jadi presiden, ICMI kurang aktif, Ismail dipercaya menjadi Sekretaris ICMI Jawa Timur. Itu periode ICMI tahun 2000 sampai 2005. Tahun 2005 – 2010 ICMI Jawa Timur dipimpin Latif Burhan. Sedangkan Ismail menjadi Wakil Ketua.

Tahun 2010 – 2015 Ismail diberi amanah menjadi Ketua ICMI Jawa Timur. Proses pemilihan ketua dilakukan dalam acara Musyawarah Wilayah (Muswil). Menjelang berakhirnya masa jabatan ketua, 2015, penyelenggaraan Muswil-nya mundur agak lama sehingga baru bisa dilaksanakan Minggu, 11 Oktober 2016 di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya Malang. Di Muswil itu ia terpilih lagi menjadi Ketua ICMI Jawa Timur periode kedua (2015 – 2020).

Saudagar muslim
Pada Muswil 2010 itu selain agendanya pemilihan pengurus, juga diselenggarakan seminar yang berjudul “Menumbuhkan Saudagar Muslim”. Maka program yang harus dilaksanakan Ismail agak berbeda dengan ICMI periode sebelumnya. Pertama ia menyadari dirinya bukan orang kampus dan gelarnya hanya sarjana S1. Di sisi lain ia orang bisnis. Pada hal jabatan sebagai Ketua ICMI Jawa Timur yang diamanahkan padanya harus bisa menjawab problem umat.

Program yang harus dijalankan Ismail sebagai Ketua ICMI Jawa Timur adalah menumbuhkan saudagar muslim. Sebab problem utama umat Islam di Indonesia adalah ekonomi. Munculnya problem ekonomi ini bukan disebabkan umat Islam tidak punya potensi dan infrastruktur ekonomi. Pasar umat Islam itu pasar yang potensial. Umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini tentu memiliki akses pada sumber daya alam. Jadi dalam kontek kehidupan ekonomi sesungguhnya umat Islam punya potensi. Tetapi kenapa umat Islam menghadapi problem ekonomi? Karena, menurut Ismail, umat Islam krisis pengusaha, kekurangan pengusaha. Tidak banyak umat Islam yang jadi pengusaha. Kalau dikaitkan dengan agama Islam sangat ironi. Kenapa? Karena Islam itu nabinya saudagar. Para sahabat nabi itu kebanyakan juga saudagar. Islam di nusantara ini juga dikembangkan oleh kaum saudagar. Tapi kenyataannya kebanyakan umat Islam bukan saudagar, bukan pengusaha.

Sesuatu yang hilang dalam tradisi kaum santri atau kaum muslim saat ini adalah tradisi bisnis. Kenapa hilang? Nabinya, Muhammad SAW, adalah seorang saudagar. Yang membawa Islam masuk ke Indonesia juga saudagar. Maka kaum muslim yang ingin jadi pengusaha bisa belajar pada sejarah Kanjeng Nabi, para sahabat nabi dan para tabi’in. Para penyebar Islam itu semuanya saudagar. Jadi kalau orang Islam ingin menjadi saudagar/ pengusaha itu bukan sesuatu yang asing.

“Maka begitu saya dilantik menjadi Ketua periode 2010 – 2015 saya langsung mendeklair/ mendeklarasikan/ merumuskan program prioritasnya menumbuhkan saudagar muslim,” katanya.

Adapun untuk bisa menumbuhkan saudagar muslim, Ismail melakukan kaderisasi, persemaian, dan melatih para mahasiswa dan santri-santri pondok pesantren (ponpes) untuk menjadi saudagar. ICMI sudah melakukan kerjasama dengan berbagai elemen. Misalnya dengan organisasi TDA (Tangan di Atas), ini komunitas anak-anak muda yang ingin menjadi pengusaha.

“Kami kerja sama dengan mereka. Kebetulan saya alumni enter prener university yang dirintis oleh pak Purdi Candra. Sehingga kami programnya adalah mendorong dan mendidik kaum muda (mahasiswa dan santri) menjadi saudagar,” jelasnya.

“Para mahasiswa dan santri kami training selama tiga hari. Setelah itu kami lanjutkan dengan pendampingan untuk membuat bisnis land. Dengan bisnis land kami temani untuk mencari apa-apa yang dibutuhkan di dalam menumbuhkan dan merintis bisnis. Kalau yang dibutuhkan dana kami coba kerjasama dengan dunia perbankan atau sumber-sumber dana yang lain, apakah perorangan atau kelembagaan. Kalau problemnya tehnologi kami lakukan kerjasama ke potensi tehnologi misalnya dunia kampus dan sebagainya. Kalau problemnya pasar kami coba eksistensi supaya bisa mengakses pasar,” lanjutnya.

Target Ismail ingin menumbuhkan 10.000 saudagar. Pada periode pertama ia menjabat Ketua target itu sudah tercapai secara kuantitatif. Dampak dari program itu ada. Misalnya bisa menginspirasi banyak anak-anak muda muslim untuk menjadi pengusaha tanpa rasa takut.

Siaran radio
Selain itu ICMI Jawa Timur melakukan kerjasama dengan radio Suara Muslim Surabaya. Di radio tersebut setiap Kamis ICMI Jawa Timur melakukan siaran dalam acara Zona Saudagar. “Dari situ kami menyemai, mempublis, dan menyemangati kaum muda muslim untuk menjadi pengusaha. Dari temu di radio itu kita follow-up-i dengan konsultasi klinik bisnis di Sekretariat ICMI. Jadi program itu ada dampaknya. Selain menumbuhkan pengusaha baru, kami mendorong pengusaha muslim kelas menengah untuk naik kelas menjadi pengusaha muslim kelas atas. Misalnya melalui kunjungan bisnis, gathering, kerja sama dengan teman dari Turki, Malaysia, dan negara-negara lain,” kata Ismail.

Lewat siaran radio ini akhirnya tidak hanya mahasiswa dan santri saja yang tertarik, masyarakat di luar kampus dan pesantren juga ikut terjaring.

Korban pendidikan Belanda
Kalau sampai hari ini banyak umat Islam tidak menjadi pengusaha, menurut Ismail, salah satu penyebabnya adalah korban dari dunia pendidikan. Sebab lembaga pendidikan di Indonesia ini didirikan oleh Belanda memang untuk melahirkan karyawan, bukan untuk melahirkan pengusaha. Pendidikan yang original umat Islam itu adalah pesantren. Pesantren itu melahirkan kiai dan saudagar sebagaimana walisongo itu, semua saudagar. Bahkan tokoh-tokoh pergerakan muslim itu saudagar. Kiai Hasyim Ashari itu pengusaha.

ICMI programnya menumbuhkan, bukan mencetak, sebab bibitnya sudah ada. Tinggal ditumbuhkan. Caranya dengan belajar dari tradisi Islam. Selain itu perlu belajar dari tradisi orang lain. Tradisi Islam sangat kental dengan semangat bisnis.

Orang Cina
Ada satu hadist mengatakan, carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Saat hadits ini lahir memang peradaban Tiongkok sudah maju. “Nabi kita itu hebat,” kata Ismail. Menurutnya, pada zaman itu Rosulullah sudah mengajak kita untuk open mind. Maka umat Islam kalau ingin maju harus open mind karena hadist ini mengajarkan umat Islam harus open mind. Artinya, cara berpikir kita harus terbuka. Kita harus banyak belajar pada orang lain, karena ilmu itu sifatnya bukan etnis, bukan pula sifatnya nasionalistik. Tetapi ilmu itu sifatnya universal. Karena itu harus kita terima. Orang cerdas itu open mind. Sehingga cara berpikirnya tidak picik. Cara berpikirnya tidak sempit.

Kenapa umat Islam Indonesia dalam bisnis kalah dengan orang Tionghoa atau Cina? Orang Tionghoa atau Cina pandai berdagang bukan karena otaknya cerdas. Bukan karena mereka pekerja keras. Bisnis mereka bisa sukses, menurut Ismail, karena mereka punya spirit berjamaah. Mereka rukun dan berjamaah di dalam bisnis. Sementara umat Islam berjamaahnya hanya di masjid waktu solat. Setelah keluar dari masjid sendiri-sendiri. Jadi kalau umat Islam pingin membangun kekuatan ekonomi harus berjamaah. Pertama, berjamaah dengan sesama muslim. Kedua, berjamaah dengan orang lain. Nabi pun mencontohkan berbisnis dengan orang Yahudi.


Lanjut Ismail, kecerdasan membaca peluang sangat tergantung dari bagaimana kita men set-up dan mendesain mindset kita. Kalau mentalnya karyawan, hidup ini tidak akan jadi peluang. Kalau Anda wartawan, hidup ini berita. Kalau Anda seniman lukis, hidup ini menjadi gambar. Jadi tergantung logika mindset kita. Kebanyakan pribumi muslim ini radar otaknya disetel jadi karyawan. Sehingga tidak sensitif dan tidak cerdas melihat peluang bisnis. Teman-teman Tionghoa dasarnya memang pengusaha maka hidupnya jadi peluang bisnis. Jadi yang perlu ditumbuhkan dari umat Islam adalah jiwa pengusahanya.

“Menjadi pengusaha itu sunah rosul, karena Rosul kita adalah saudagar. Kalau kita mengajari anak kita tidak menjadi pengusaha, kita ingkar sunah, karena Rosul kita saudagar. Ini sunah rosul yang sering diabaikan oleh kita. Kita hanya mengedepankan malam Jum’at, justru ini tidak menghargai rosul. Rosul itu seorang pengusaha bukan tukang kawin. Rosul menjadi pengusaha itu menjadi contoh buat para sahabat. Itulah sebabnya sembilan dari sepuluh sahabat nabi itu saudagar,” jelas Ismail.

Bukan partai politik
Ditegaskan oleh Ismail, bahwa ICMI secara organisatoris dilahirkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan partai politik. Bahkan tidak ada hubungannya dengan Soeharto. Ismail sangat menyangkal kalau ada orang yang mengatakan ICMI didirikan oleh Soeharto. Sebab ia tahu sendiri proses pembentukannya.

Kalau ada yang mengatakan, bahwa ICMI hadir bagian dari proses dinamika politik di negeri ini, Ismail setuju. Salah satu dinamika memang bersinggungan dengan pusat kekuasaan yang pada waktu itu presidennya adalah Soeharto. “Tapi yang mencetak/ mendirikan bukan Soeharto,” tegas Ismail. Kenapa? Karena kelahiran ICMI adalah akumulasi dari aspirasi gerakan kaum cendekiawan. Kebetulan skripsi yang ditulisnya soal pergerakan kaum cendekiawan yang dimulai dengan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) pada tahun 1960-an. Akumulasinya dimulai dari sana. Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Golkar. Sampai detik ini ICMI bukan partai politik. Tapi ia membenarkan bahwa ICMI melakukan gerakan politik.

“Kita tidak bisa melepas dari dinamika politik. Sebagai Ketua ICMI tentu saya mengerjakan kerja-kerja politik, tapi bukan politik praktis. Saya tidak ikut nyaleg DPR. Jadi itu bedanya. Politiknya ICMI politik sumber daya. Bukan politik praktis yang ujungnya menjadi anggota DPR,” lanjutnya.

Ismail mengakui, anggota ICMI memang ada yang aktif di partai baik di pusat maupun di daerah Jawa Timur. Tapi pengurus harian ICMI tidak ada yang aktif di partai. “Kami sepakat di pengurus harian, Sekretaris dan Bendahara tidak boleh aktif di partai politik,” jelasnya lagi. (an).

Ismail Nachu adalah salah satu pengusaha properti kelas nasional. Ia memiliki beberapa perusahaan di Surabaya, Malang, dan Pasuruan. Bahkan kini memiliki sejumlah properti kelas 1 di Surabaya.


Biodata :


Nama lengkap : Ismail Nachu, S.Ag.




Jabatan
: Ketua ICMI Jawa Timur dua periode (2010-2015 dan 2015-2020).
Istri
: Nurhayati (dosen UIN Sunan Ampel Surabaya).

Anak
: 1 Nadia Qisthi Diadasa.






2 Nada Bening Diadasa (wafat).





3 Jl. Kebun Sari VII/ 10 Surabaya.













Domisili
: Jl. Kebun Sari VII/ 10 Surabaya.













Penghargaan :








Anugerah Pemimpin Puncak Top Leader Annual Awards 2016 kategori bidang ormas.

Erick Thohir

  Menteri BUMN (2019-2024)   Dari Media, Olah Raga sampai Sarinah Ditulis Muhammad Anwari SN. Saat ini Erick Thohir masih menjabat Menteri B...