Rabu, 22 Januari 2020

Muhammad Anwari SN

Tak Kenal Menyerah
Muhammad Anwari SN


Aku lahir di Rumah Sakit Mardi Waluyo, Semarang, 20 November 1962. Bapakku bernama Soekidjo Parto Atmodjo bin Jiwo Karjo. Beliau sekarang sudah pikun. Sedangkan emakku bernama Ponirah binti Karto Sentono. Emak sekarang banyak mengeluh karena nasibnya yang sakit-sakitan. Suaminya (bapakku) suka merepotkan keluarga dan tetangga. Anak yang serumah (Subiarti) suka stres karena problem ekonomi.
Saat aku masih dalam kandungan emak, Bapakku (Soekidjo) bekerja menjadi jongos di keluarga Tionghoa. Juragannya bernama Yok Yang. Salah satu anaknya Yok Yang (entah siapa namanya) ada yang cacat kakinya sejak lahir. Sampai anak itu tumbuh besar jalannya masih pincang. Saat itu bapakku mungkin sering membatin anak cacat itu. Bapakku tidak menyadari istrinya (Ponirah) tengah hamil tua mengandung aku. Mungkin bapakku tidak tahu, hal ini bisa mengakibatkan anaknya (aku) bisa mengalami serupa anaknya Yok Yang. Terbukti ketika aku lahir kedua kaki pun cacat. Kakiku tidak dapat menelapak. Untungnya Yok Yang orangnya baik. Begitu melihat aku lahir cacat, aku langsung dibawa ke RS Elisabeth. Perhatian Yok Yang yang sangat besar terhadap diriku, sering membuat orang lain mengira aku anaknya Yok Yang. Di rumah sakit kedua kakiku digip. Tiap pagi kakiku dijemur di bawah sinar matahari di halaman rumah sakit.

Bapak Soekidjo Parto Atmodjo dan Ibu Ponirah

Kebetulan Yok Yang punya rumah di Puspowarno, di dekat Makam Salaman Mloyo. Rumahnya cukup besar dan halamannya luas. Rumah ini sudah lama tidak ada yang menempati. Mungkin Yok Yang saat itu merasa iba melihat bapakku terus-terusan tinggal di rumah kontrakan. Di samping itu bapakku sudah lama bekerja ikut Yok Yang, pengabdiannya sudah lama. Bapakku disuruh menempati rumah itu tanpa membayar uang sewa. Kebaikan Yok Yang tidak sampai di situ saja. Bapakku diikutkan kursus montir yang dibiayai Yok Yang. Sehingga bapakku bisa memperbaiki mobil-mobil truk milik Yok Yang yang rusak.
Kami mulai pindah ke rumah baru milik Yok Yang ini ketika aku akan masuk ke Taman Kanan-kanak (TK).
Dihina teman sekolah
Ketika teman-teman sebayaku sudah berlarian ke sana-kemari, aku masih belajar berjalan. Ketika teman-teman sebayaku sudah masuk TK, aku masih belajar memakai sandal dan sepatu. Sehingga aku agak terlambat masuk sekolah. Teman-teman sebayaku sudah masuk kelas 1 dan 2 SD aku baru masuk TK (Taman Kanak-kanak). Aku mulai merasakan sakitnya dihina, ketika sudah masuk SD (sekolah dasar). Dulu aku sekolah di SD Negeri Salaman Mloyo di kota kelahiranku, Semarang. Bila ada pelajaran olah raga, di mana aku harus lari, aku sering jadi bahan tertawaan teman-teman. Caraku berlari dianggap lucu. Beban berat kurasakan ketika harus berlari mengelilingi komplek sekolah sampai lima kali.
Lulus SD aku melanjutkan pendidikan ke SMP Panti Pemuda (sekarang sudah lama bubar) di kota kelahiranku juga. Untungnya teman-temanku di SMP tidak ada yang menghina dan melecehkan aku, meskipun setiap ada olah raga lari aku selalu jauh tertinggal dengan teman-teman. Meskipun demikian nilai olah ragaku di raport rata-rata 7.
Lulus SMP aku bisa diterima di SMA Negeri 6 Semarang. Tapi di SMA justru guru olah ragaku (Harun) yang brengsek. Teman-temanku tidak ada yang menghina. Tapi Harun tega banget memberi angka merah pada pelajarab olah raga hanya karena aku tak suka olah raga lari.
Harun


Ditahan di Polrestabes Semarang
Kenangan pahit pernah kualami ketika masih sekolah di SMP Panti Pemuda Semarang. Pada saat itu di kotaku, Semarang, tepatnya di Lapangan Pancasila, Simpang Lima, ada pembukaan Lomba MTQ (Musabakoh Tilawatil Qur’an) tingkat nasional. Lomba dibuka oleh Presiden Soeharto. Aku berdiri di depan menyaksikan Soeharto memencet tombol diiringi suara sirine. Ketika tombol dipencet bunga Wijaya Kusuma raksasa mekar. Di dalamnya muncul koriah yang kemudian membaca ayat Alquran. Penonton makin antusias. Penonton yang di belakang merangsek/ mendorong-dorong penonton yang ada di depannya karena ingin melihat lebih jelas. Beruntung aku berada di barisan penonton paling depan, bisa melihat semuanya dengan jelas. Namun ini tidak berlangsung lama. Melihat penonton terus merangsek masuk dan tak terkendali, polisi bukannya memerintahkan penonton di depan duduk tapi malah mengayun-ayunkan pentungan. Akhirnya ………………
Lintang Agency
Waktu itu aku main ke rumah kontrakan Setyo Yuwono di dekat tanggul sungai Banjir Kanal Barat Semarang. Aku ngomong mau cari pekerjaan. Lalu aku dibawa ke rumah Bambang Sadono. Di sana aku bekerja di agen koran dan majalah milik Bambang. Waktu itu tahun 1984. Gaji pertama Rp. 25.000. Kerjaku menyiapkan kuitansi yang digunakan untuk menagih pelanggan koran dan majalah. Kadang aku mencari pelanggan baru di Perumnas Krapyak. Setelah beberapa bulan kerja di sana, aku ditawari kuliah. Tentu saja yang menanggung biayanya Bambang. Tapi aku menolak. Sebab teman-temanku yang dikuliahkan, tidak ada yang berhasil. Sebab mereka tidak ada yang bisa belajar dengan nyaman. Sehabis bekerja semua kecapekan, tidak ada yang sempat belajar.
Cerpen Gapura
Di rumah aku masih sempat membuat cerpen. Cerpenku Gapura menimbulkan reaksi keras di kampung Salaman Mloyo. Bakul Bakso Tris (Sutrisno) tersinggung setelah membaca cerpenku. Bahkan tidak hanya Tris, para tetangganya di RT 09 juga ikut tersinggung. Mereka marah-marah dan ingin membunuh aku. Berhubung takut dengan ancaman warga, aku lapor ke Bambang Sadono. Laporanku ini oleh Bambang Sadono ditulis menjadi berita di koran Suara Merdeka. Baru kali ini cerpenku rame jadi pembicaraan warga.
Penerbit Citra Almamater
Setelah lama bekerja di Lintang Agency milik Bambang Sadono, aku dipindahkan ke Penerbit Citra Almamater. Penerbit ini juga miliknya Bambang Sadono. Pada usia 30 tahun aku menikah dengan Wijiyanti. Setelah menikah aku berdua dengan istriku ngekost di Wonodri Baru. Setahun kemudian lahir anakku, Rindang Pandu Buana. Anakku lahir 31 Agustus 1993. Sekarang sudah bekerja di perusahaan mebel.
Rindang Pandu Buana
Sebelum lebaran, Rindang Pandu Buana, memberi tahu aku via WA, bahwa lebaran tahun ini tidak bisa menemuiku, karena sedang ada masalah.
Pas lebaran tiba, tahu-tahu anakku datang membawa mobil. Menjemput aku dan istriku untuk diajak ke rumah kakek dan neneknya. Di tengah perjalanan aku tanya, ada masalah apa, mengaku ada masalah dengan temannya. Tidak ada hubungannya sama sekali. Tidak nyambung.
Kau tidak bisa bantu Bapak tahun ini karena tanggal 22 Desember 2019 kamu akan menikah. Om-mu (Sunarto dan Tejo Muryanto) dan bulikmu (Rina Murwanti dan Subiarti) semua kau kabari, tapi Bapak kandungmu sendiri tidak. Bapak tidak boleh hadir di pernikahanmu tidak masalah. Sebab memang tidak sudi ketemu ibumu.
Tejo obral janji mau bantu tratag. Sok gaya. Dimintai pinjaman Rp. 150.000 saja tidak menjawab.
Rindang Pandu Buana di depan rumah kontrakannya


Aku sempat beli rumah di Beringin Asri. Di sana dipercaya menjadi Kepala Suku selama delapan tahun. Kemudian tersandung kasus surat kaleng. Kemudian kena PHK. Ditarik ke Koran Mimbar Demokrasi. Tapi tak lama kemudian mengundurkan diri karena dipaksa masuk pada hari Minggu. Aku mulai nganggur lagi.
Pagi aku jarang sarapan. Karena itu belum tiba waktu duhur sering perutku sudah ‘keroncongan’ lapar sekali. Sering pada saat kelaparan begini di dapur aku tidak menemukan makanan, kecuali hanya sega wadang (nasi sisa kemarin) yang sudah dingin. Lauk maupun sayur tidak tersedia. Ini susahnya jadi pengangguran. Untuk sepiring nasi saja tidak bisa mencari sendiri, karena tak pernah pegang uang. Kalau punya uang, di rumah tidak ada makanan bisa makan di luar. Aku menunggu istriku pulang membawakan makanan.
Tidak mampu beli komputer
Nasibku sebagai penulis memang kayak gini. Dulu sebelum booming komputer, wartawan dan penulis rata-rata menulisnya masih pakai mesin ketik. Hampir dipastikan, tiap penulis di rumahnya punya mesin ketik. Beruntung aku punya mesin ketik kuno yang masih bisa kupakai. Mesin ketik kuno ini tidak beli. Tapi pemberian bosnya bapakku. Aku pernah menulis cerpen menggunakan mesin ketik tua dan besar ini. Sampai aku menjadi wartawan freelance masih menggunakan mesin ketik jumbo ini.
Suatu saat keadaan memaksa aku harus mencari pekerjaan lain. Aku merantau ke Solo dua tahun dan ke Surabaya juga dua tahun.
Ketika kutinggal merantau di Surabaya, mesin ketik itu dijual orang-tuaku. Ketika aku pulang ke Semarang, aku nulis pakai mesin ketik pinjaman. Setelah bisa beli mesin ketik sendiri, malah hilang digasak maling waktu merantau di Surabaya. Kini kerja bertahun-tahun di depan komputer, sampai sekarang belum bisa beli komputer.
Setelah kurang lebih dua tahun bekerja di rumah Bambang Sadono, aku dipindah ke Penerbit Citra Almamater, kantornya Bambang Sadono yang ada di Kampung Ngaglik Lama. Kemudian aku menikah dengan Wijiyanti. Berdua tinggal di rumah kost di Wonodri Baru. Terus dua tahun menempati rumah Bambang Sadono di Perumahan Ketileng Indah. Kemudian pindah ke rumah baru di Perumahan Beringin Asri yang kubeli dengan kredit Rp. 50.000 per bulan.
Kadang-kadang aku iri dengan tetanggaku, namanya Eko. Ia senasib dengan aku. Sama-sama pengangguran. Sejelek-jeleknya aku, Eko lebih parah lagi. Selain pengangguran, ia suka menenggak minuman keras. Tiap punya uang selalu dihabiskan untuk membeli minuman keras. Diminum sampai teler. Ia bisa mendapatkan uang dari istrinya, namanya Ratna. Ratna sering memberi uang. Kalau Ratna tidak memberi uang, Eko akan meminta dengan paksa. Sungguh Ratna sangat penyabar. Bagaimanapun buruknya kelakuan/ perbuatan Eko, Ratna masih mengakui Eko sebagai suaminya. Ratna setiap hari masih setia menyiapkan makan untuk suaminya. Setahun minimal sekali dibelikan baju untuk dipakai di hari lebaran dan bepergian.
Aku juga pengangguran. Tapi aku tidak pemabuk. Aku malah rajin salat. Tapi istriku (Wijiyanti) sangat beda jauh bila dibandingkan dengan Ratna. Wijiyanti jarang-jarang memperhatikan aku, sampai aku kelaparan begini. Hanya gara-gara aku pengangguran. Banyak wanita yang tidak memahami, bahwa rezeki keluarga itu tidak selamanya mengalir lewat suami. Rezeki keluarga bisa datang lewat istri, anak atau orang tua.

Media Elektrika
Tahun 2000 masih banyak yang belum punya hp. Sehingga usaha wartel (warung telekomunikasi) masih bisa berkembang di mana-mana. Aku salah satu pengguna telepon yang belum punya handphone (hp). Waktu itu aku sedang ada di Simpang Lima. Aku mampir ke wartel di Plaza Simpang Lima. Keluar dari wartel aku ketemu Ajang. Ajang dan Kartiko ternyata masih meneruskan usaha bosku dulu, Bambang Sadono, menerbitkan majalah Media Elektrika. Ajang dan Kartikop adalah temanku sekantor ketika kami masih sama-sama bekerja di Penerbit Citra Almamater. Aku ditawari untuk bergabung menjadi wartawannya. Kantornya ada di Perumahan Graha Mukti. Tawaran itu aku terima. Aku dibayar hanya Rp. 400.000 per bulan. Tapi aku diperbolehkan menerima amplop dari pejabat-pejabat PLN yang aku wawancarai.
Jarak dari rumah cukup jauh. Waktu itu aku masih tinggal di rumah sendiri, di Perumahan Beringin Asri. Bila berangkat ngantor, dari rumah aku naik ojek menuju jalan raya di Karanganyar. Bila uangku tidak cukup, harus jalan kaki sampai jalan raya. Di jalan raya aku naik angkot dua kali. Setelah itu disambung jalan kaki lagi baru sampai kantor.
Suatu hari printer kantor rusak membuat pekerjaanku terganggu, karena tiap selesai ngetik, ngeprintnya harus di rental komputer. Dari pada mondar-mandir dari kantor ke rental komputer kemudian ke kantor lagi, akhirnya aku ngetiknya sekalian di rental komputer. Sejak itu aku ngantornya di rental komputer Pleburan. Sebelum ada warnet di Pleburan banyak sekali rental komputer. Pulangnya malam. Dari Pleburan ke perempatan bangjo dekat Jl. Thamrin jalan kaki lagi karena tidak ada angkot. Sepanjang jalan aku selalu berdoa, “Ya Allah, mudah-mudahan anak-cucuku tidak ada yang mengalami seperti aku ini”. Di perempatan bangjo ini aku baru bisa mendapatkan angkot jurusan Kaliwungu. Tapi aku turun di Karanganyar. Kemudian dilanjut naik ojek ke rumah.

Setelah semua naskah jadi, saya kirim ke Ajang di Perumahan Pandana Merdeka. Pulangnya jalan kaki lagi dari Pandana ke Jrakah. Dari Jrakah naik angkot sampai Karanganyar. Dari Karanganyar naik ojek sampai rumah.
Perlakuan Ajang yang tidak adil, membuat aku pilih mengundurkan diri. Tapi aku diam-diam melakukan wawancara ke pejabat-pejabat PLN di kantor ranting untuk penerbitanku sendiri.
Suatu saat istriku (Wijiyanti) kehabisan uang. Wiji dengan seenaknya memaksa aku minta uang pada Azwar Lubis. Tentu saja aku menolak. “Memangnya Azwar punya hutang pada kita?” Jawabanku ini membuat Wiji marah-marah. Sebenarnya aku tahu maksudnya. Aku disuruh minta bayaran lagi. Tapi belum waktunya masak harus minta bayaran lagi. Apalagi naskah hasil wawancara kemarin belum selesai. Aku menyuruh Wiji untuk sabar menunggu naskahku selesai dulu. Setelah selesai, baru menyiapkan bahan untuk wawancara lagi. Setelah naskah selesai dan bahan untuk wawancara siap baru aku berani menelepon Azwar Lubis untuk ketemu wawancara lagi. Tapi memang tidak semudah itu untuk menulis hasil wawancara. Kalau tergesa-gesa hasilnya tidak baik. Malah bisa mengecewakan narasumber. Apalagi wawancaranya satu jam lebih. Kadang hampir dua jam. Tentu naskahnya panjang. Ia terus memaksa aku harus berangkat ke Jakarta menemui Azwar Lubis.

Ternyata begini jadinya setelah aku kerja. Padahal waktu aku nganggur, istriku apa-apa bisa sendiri. Dulu aku bisa cuek dengan apapun yang dihadapi istriku. Setelah aku kerja aku menjadi tidak tega melihat istri ditagih hutang depcolektor bank titil. Dengan terpaksa aku berangkat ke Jakarta. Seharusnya, seperti biasanya, sebelum berangkat aku nelepon Azwar dulu untuk kencan. Kali ini tidak aku lakukan, khawatir ditolak. Di tengah guyuran hujan dan petir yang menyambar-nyabar Bumi Beringin Asri, aku berteduh di emper rumah kosong di Kampung Gendruwo. Aku menangis di sana. Bagaimana tidak? Kebutuhan biologisku tidak pernah dilayani. Aku hanya disuruh cari uang, cari uang, dan cari uang. Seperti sapi perah. Hanya dimanfaatkan uangnya saja, orangnya tidak. Tidak lagi pernah dilayani sebagaimana suami-suami yang lain pada umumnya.

Jual rumah
Ketika anakku, Rindang Pandu Buana, lulus SMP, rumah terpaksa kujual untuk membiayai Rindang masuk ke SMK. Semula aku ingin memasukkannya ke SMK Negeri 4 Semarang. Ketika aku mendengar SMK Negeri 4 Kendal membangun gedung baru, ada perluasan sekolah, aku menjadi tertarik memilih memasukkan anakku ke SMK Negeri 4 Kendal. Di sana pasti membutuhkan siswa cukup banyak untuk mengisi kelas-kelas baru. Sedangkan di SMK Negeri 4 Semarang persaingannya cukup ketat. Melihat nilai ijasah SMP anakku yang pas-pasan, membuat aku sangsi, jangan-jangan tidak bisa lolos seleksi. Lebih besar kemungkinan untuk diterima, kalau mendaftar di SMK Negeri 4 Kendal. Maka aku daftarkan ke SMK Negeri 4 Kendal.
Dipersulit Bambang Sadono.
Diperas Supardi.
Dipermainkan janda
Merasa tidak dihargai dan diremehkan istri membuatku mencari pelarian pada wanita lain. Pilihanku jatuh pada janda dua anak, namanya Debora Indah Sulistyowati. Aku bisa kenal karena janda itu sering datang ke rumah kontrakanku. Ia menyambut baik perkenalanku. Bahkan aku sempat jalan-jalan berduaan di Pasar Johar di kotaku, Semarang. Tak kuduga cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku cuma diperas dan selanjutnya dikhianati.
Kerja di Jembawan.
Indah masih membuntutiku. Kami sempat berpapasan di jalan. Tapi aku tidak tahu dan Indah tidak menyapa dan tidak berkata apapun. Cuma membuntuti. Barangkali cuma sekedar ingin tahu keberadaan setelah habis-habisan diperas olehnya.
Ke Jakarta
Suatu hari aku baca koran bekas. Di sana aku menemukan berita Ir. Azwar Lubis menjabat Manajer PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang. Berita ini, meski kutemukan di koran bekas, bagiku menjadi berita yang sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan. Sebab kabar terakhir yang aku tahu, setelah bertugas di PLN Pekalongan dimutasi ke Bali. Aku sempat beberapa kali mewawancarai Azwar di kantornya (PLN Pekalongan) sebelum dimutasi ke pulau Dewata, Bali. Waktu itu aku masih bekerja di majalah milik PLN, majalah Media Elektrika. Aku masih ingat, sebelum dimutasi ke Pulau Bali, pernah aku dimintai tolong untuk menulis biografinya. Tapi sebelum penulisan buku biografinya itu dimulai, ia sudah harus pindah ke pulau Dewata. Sejak itu kami tak lagi pernah ketemu. Tak diduga lewat koran bekas yang kubaca itu aku mendapat kabar dirinya sudah ada di Jakarta.
Buku karya Muhammad Anwari

Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Aku coba telepon ke kantornya di Jakarta. Ternyata benar, Azwar bertugas di sana. Lalu aku mencoba untuk mengingatkan, jadi nggak membuat buku biografi. Alhamdulillah ia masih ingat. Ia setuju rencana pembuatan buku biografi itu dilanjutkan. Aku dipanggil untuk datang ke kantornya di Jakarta. Inilah pertemuanku yang pertama setelah beberapa tahun berpisah. Dari sini nasibku mulai berubah. Aku mulai mendapat penghasilan tiap bulan. Selama proses penulisan buku, sebulan sekali aku datang ke Jakarta. Aku mendapat uang transport dan honorarium penulisan yang cukup buat kebutuhan tiap bulannya. Aku sudah tidak pernah kelaparan lagi. Azwar Lubis orangnya sangat sibuk. Tidak setiap saat bisa ditemui. Aku diberi kesempatan mewawancarai hanya sebulan sekali. Itupun harus telepon dulu sebelum berangkat ke Jakarta.
Perkenalanku dengan Debora Indah Sulityawarni membuatku seperti orang gila. Karena aku menjadi korban penipuan dan pemerasan janda dua anak yang licik itu.
Di pagi subuh waktu menuju masjid di Perum Pondok Indo Permai aku melihat bola berpijar melintas tak jauh di atasku.
Doaku terkabul. Allah masih melindungi aku. Sebelum kontrakanku habis, aku sudah mendapatkan tempat tinggal baru di Jl. Jembawan. Di sini aku tinggal sekaligus bekerja di PT Widha. Perusahaan yang menjadi konsultan pembangunan jembatan layang (play over) Kalibanteng. Aku dikontrak selama dua tahun. Tapi sebelum kontrak habis aku sudah mengundurkan diri.
Citra Mandiri Utama
Keluar dari PT Widha aku pulang ke orang tuaku di Puspowarno. Aku sempat nganggur selama beberapa minggu. Tanpa ada pemasukan, tapi pengeluaran terus mengalir. Untungnya saat makan aku masih bisa ikut orang tua. Tapi soal nyuci baju nggak mungkin dilakukan di rumah orang tuaku, karena tidak punya tempat buat jemur pakaianku. Terpaksa pakaianku yang kotor kubawa ke laundry.
Ketika uangku hampir habis aku tidak tahu lagi harus cari kerja di mana. Yang jelas aku tidak bisa kerja kasar. Iseng-iseng aku menghubungi temanku di Citra Almamater dulu, namanya Tohar Tokasapu, siapa tahu bisa membantu. Aku disarankan menghubungi Didik Muhtadi, temanku juga di Citra Almamater. Aku diterima bekerja di Penerbit Citra Mandiri Utama (CMU) milik Didik Muhtadi. Gajiku pertama kali hanya Rp. 600.000. Tugasku mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat. Hasil wawancara saya buat profil. Terus disusun menjadi buku. Tugas mewawancarai tokoh bagiku mudah/ gampang. Yang sulit itu bagaimana merayu narasumber yang diwawancarai supaya mau pasang iklan dibuku yang ingin kuterbitkan. Kedua, yang tidak mudah adalah menyusun naskahnya. Harus konsentrasi betul. Dan itu tidak bisa selesai dalam sehari dua hari. Ketika otakku sedang tidak mud, tidak konsen menghadapi naskah, aku keluar ke warung soto di sebelah kantor untuk beli secangkir kopi hitam. Sambil bekerja di depan komputer, sebentar-sebentar kopi itu kusruput. Tak lama kemudian pekerjaan pun kelar.
Buku karya Muhammad Anwari SN dan kawan-kawan

Buku karya Muhammad Anwari SN dan kawan-kawan

Tidur di kantor. Seminggu sekali aku tidur di rumah orang tuaku di Puspowarno. Tiap sabtu sore aku pulang. Senin pagi aku berangkat ke kantor lagi. Ketidak-nyamanan mulai muncul sejak kehadiran Susanto (kakaknya bosku, Didik Muhtadi). Aku tidak bisa bebas wudlu sebelum salat subuh. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di rumah orang tuaku saja. Sejak kejadian itu aku ada di kantor hanya pada jam kerja saja. Tiap sore jam 16.00 aku pulang ke rumah orang tuaku di Puspowarno.
Ketemu jodoh
Siang itu aku keluar kantor untuk beli segelas kopi di warung sebelah. Seperti biasa pak Parman yang membuatkan kopinya. Mbah Joko yang biasanya sibuk memasak di warung itu ikut menghampiriku. Ternyata mbah Joko ada perlu sama aku. Saat itu aku sudah pisah dengan istriku, tapi aku belum cerai. Aku mau diperkenalkan dengan saudaranya yang mencari jodoh. Spontan saja aku jawab, “Mau”. Soal nanti apakah ada kecocokan apa tidak, urusan belakang. Yang penting kenalan dulu. Setelah saling mengenal baru nanti bisa memutuskan, apa perlu dilanjutkan apa tidak. Setelah aku bersedia diperkenalkan dengan dengan saudaranya mbah Joko berjanji akan mengundang saudaranya itu ke warungnya.
“Besok orangnya tak suruh ke sini. Kalau sudah sampai sini tak kasih tahu,” kata mbah Joko.
Aku kemudian kembali ke kantor meneruskan pekerjaanku sambil membawa segelas kopi hitam.
Selang dua minggu, di suatu siang (hari dan tanggalnya aku lupa), temanku memberitahu aku dipanggil pak Parman di warung soto sebelah. Kontan aku ke warung pak Parman. Sampai di sana aku melihat ada gadis semok duduk di warung. “Apa ini orangnya?” pikirku. Ternyata benar dugaanku. Mbah Joko memperkenalkan aku dengan gadis itu.
Hari berikutnya aku mulai mendaftarkan gugatan cerai pada mantan istriku di Pengadilan Agama Semarang.
Surat undangan
Seminggu lagi harus menikah tapi akte cerai belum kudapatkan. Aku tak berani menyebar undangan banyak-banyak. Yang kukasih undangan hanya tetangga Puspowarno. Teman-teman dekat aku kabari lewat WA. Setumpuk undangan itu sebagian kubuang ke sungai banger di perbatasan Gisik Drono dan Puspowarno, di depan SMA Negeri 6 Semarang, dan di sungai Banjir Kanal Barat.
Kartu Undangan Pernikahanku kubuang di kali

Pernikahan kedua
Jum’at pagi, 18 Maret 2016 aku melangsungkan akad nikah di hadapan penghulu di Jl. Madukoro Semarang. Hadir saudara-saudaraku dan sebagian tetangga di Puspowarno. Mereka tidak bisa mengikuti sampai selesai. Menjelang Jum’atan mereka pulang.
Resepsi pernikahannya berlangsung setelah salat Jum’at. Hadir teman-teman kantor Citra Mandiri Utama dan sebagian tetangga dari Puspowarno.
Resepsi pernikahanku dihadiri teman-teman sekantor

Bulik, adik-adik dan keponakan2 datang di pernikahanku

Setelah menikah dengan Siti Noordjanah, aku tinggal di rumah mertuaku (Hj. Noor Salamah). Bapak mertua sudah lama meninggal jauh sebelum aku menikahi anaknya (Siti Noordjanah). Aku tinggal satu rumah dengan mertua, kakak ipar dan dua keponakan. Kakak iparku, Saud dan Mustofa. Saud dan istrinya (Juwariyah) serta dua anaknya (Bagus dan Nabil) punya satu kemar di belakang. Tapi yang tidur di kamar cuma Juwariyah dan Nabil. Sedangkan Saud dan Bagus tidur di lantai ruang tamu. Ibu mertua tidurnya sekamar dengan Mustofa di kamar depan. Sedangkan aku dan istriku tidurnya di kamar tengah.
Salah seorang kakak ipar (Mustofa) punya cacat mental sejak kecil.
Mertuaku punya tiga rumah yang letaknya berdampingan. Ibu mertua, aku, istriku, Saud, Juwariyah, Bagus, Nabil dan Mustofa menempati rumah paling timur. Rumah paling barat ditempati Kustinah (anaknya mertuaku) beserta keluarganya. Rumah yang di tengah ditempati Yasin (anak mertuaku juga) beserta keluarganya.
Kurang lebih dua tahun setelah aku menikah rumah yang kami tempati dijual. Dibeli Harto. Kemudian rumah itu dibongkar oleh Harto dibangun lagi dijadikan bengkel bubut. Uang hasil penjualan rumah ini dibagikan ke anak-anaknya Hj. Noor Salaman. Sa’ud dan keluarganya setelah menerima uang warisan pindah ke Kabupaten Kendal. Yasin setelah menerima uang warisan pindah ke Perumahan Jatisari, Mijen dengan membawa seluruh keluarganya. Istriku dan Mustofa mendapat bagian rumah yang sebelumnya ditempati Yasin dan keluarganya. Mertuaku tetap bersama istriku. Jadilah tinggal kami berempat (mertua, aku, istri dan Mustofa).
Berisik Bengkel Bubut
Setiap musim liburan sekolah tiba, keponakan istriku yang di Kendal (Bagus dan Nabil) datang. Kadang bersama bapaknya (Sa’ud) dan/ atau ibunya (Juwariah). . Aku menjadi kurang nyaman dan tidak kerasan di rumah. Apalagi bila mereka datang menginap sampai berhari-hari menghabiskan waktu liburannya. Salatku menjadi kurang khusuk karena hilir-mudik dan berisik mereka.

Baca Alquran
Pagi kadang aku membaca Alquran dan terjemahannya. Ini bisa kulakukan bakda subuh itu di rumah tidak ada yang menyalakan tivi. Sebab aku tidak mau bersaing dengan suara tivi. Aku juga malas baca Alquran kalau ada orang lain menginap di rumah. Kerjaanku sehari-hari juga bisa terganggu. Sebab pekerjaanku membutuh konsentrasi tinggi dan suasana tenang. Aku sulit konsentrasi bila melihat tempat tidurku berantakan, karena mereka di belakangku asyik tiduran sambil main hp. Untuk duduk di ruang tamu, rasanya susah. Sebab kursi satu-satunya di ruang tamu sudah mereka duduki. Mau tidur, kadang kasurku sudah lebih dulu dipakai tidur mereka. Ruang tamu yang sempit itu akan terasa makin sumpek kalau kedua orang tuanya ikut datang.
Kondisi seperti ini akan tambah parah ketika hari lebaran tiba. Praktis pada hari libur sekolah dan lebaran seperti ini, kalau pas aku tidak punya uang, aku hanya mengurung diri di rumah.
Kedatangan saudara
Rabu, 1 Mei 2019. Aku beruntung bisa pergi ke warnet di Ngaliyan. Istriku sangat baik, tahu aku cuma membawa uang Rp. 50.000, istriku nambahi uang transpot Rp. 15.000. Coba seandainya aku tidak bisa bepergian, bisa pusing kepala ini. Sebab hari itu Zaenal Abidin dan keluarganya, termasuk cucunya, datang ke rumah. Suasana rumah pasti jadi ramai. Ini yang aku tidak suka. Aku lebih suka rumah itu dalam keadaan sepi tenang, tidak gaduh. Sehingga yang lagi kerja atau lagi tidur tidak terganggu.
Tapi seandainya aku saat itu ada di rumah, aku harus kuat. Tidak boleh terus-menerus mengeluh. Toh keadaan tidak nyaman ini tidak setiap hari terjadi. Percuma mengeluh. Mengeluh kayak apapun tidak akan bisa menyelesaikan masalah, tidak akan merubah keadaan. Zaenal Abidin dan Tri, Sa’ud dan Juwariah datang ke rumah ini untuk menemui ibunya. Sedangkan Erma, Bagus dan Nabil untuk menemui neneknya. Jadi mereka punya hak untuk datang ke rumah ini.
Risiko belum punya rumah sendiri ya seperti ini. Tapi dibandingkan tidur di rumah orang tua sendiri, masih enak di sini. Di rumah orang tuaku aku tidurnya di ruang tamu, karena sudah tidak ada kamar buat aku. Waktu tidur di kantor kalau mau salat tahajut kesulitan. Kalau malam harus jaga pintu. Maka meski ada masalah kenyamanan, masih enak tinggal ikut mertua, aku harus banyak-banyak bersyukur. Orang lain yang tidak punya rumah, banyak yang harus tinggal di rumah kontrakan. Sedangkan aku tidak perlu ngontrak rumah, karena bisa ikut tinggal serumah dengan mertua. Yang namanya tinggal serumah dengan mertua memang banyak tidak enaknya.
Otw ke warnet
Aku kalau ngetik, merevisi naskah, ngeprint, scan gambar ke warnet di Jl. Anjasmara. Jaraknya dari rumah ke warnet relatif dekat. Sehingga aku lebih sering memilih jalan kaki. Memang kalau dirasakan capek. Belum lagi pandangan orang lain terhadap diriku. Mungkin orang lain melihat hidupku begitu susah, begitu nelangsa. Saat ini memang hidupku susah. Tapi tidak selamanya aku bawa uang pas-pasan. Kadang aku bawa uang cukup, bahkan lebih. Bisa buat bayar angkot dan makan siang di warung padang atau warung soto. Kalau perginya tidak tergesa-gesa dan badan sehat, aku lebih suka pergi ke warnet jalan kaki. Kenapa? Kalau harus naik angkot, untuk menghadang angkot di jalan raya harus jalan kaki dulu dari rumah. Turun dari angkot untuk menuju ke warnet harus jalan kaki lagi. Selain itu hp-ku yang jadul ini tidak bisa dipasang aplikasi ojek online. Sehingga aku lebih memilih jalan kaki. Sekalian olah raga. Aku butuh olah raga untuk menghindari timbulnya penyakit wasir/ ambeyen akibat kebanyakan duduk.
Ada kiat agar perjalanan ini tidak terasa melelahkan. Pertama, jalannya harus santai, tidak buru-buru, dan tidak perlu kemrungsung. Kedua, tiap melangkahkan kaki harus dinikmati betul. Lihat dan nikmati pemandangan di sekeliling sekalipun sudah sering dilihat. Ketiga, berhenti/ istirahat kalau capek. Insya Allah perjalanan ini menjadi terasa ringan dan tidak melelahkan.
Cuma kalau pergi ke warnet yang jauh dari rumah aku harus naik bus. Kalau warnet di Anjasmara penuh atau tutup, atau di Anjasmara sedang berlangsung pemadaman listrik, aku pergi ke cabangnya di Ngaliyan.
Problem kamar mandi
Salah satu persoalan yang pernah kuhadapi di keluargaku adalah soal kamar mandi dan WC (water closet). Di rumah mertuaku kamar mandi dan WC jadi satu. Jadi kami mandi, buang air kecil maupun be’ol di situ semua. Idealnya sebuah rumah yang dihuni satu keluarga kamar mandi dan WC ada dua. Sehingga yang mau buang hajat ke WC tidak harus antri. Kalau lahan terbatas, kamar mandi dan WC bisa cukup satu, tapi harus dipisah. Sebab orang kebelet mandi masih bisa ditahan lama. Tapi kebelet be’ol sulit ditahan.
Untung bapak mertua sudah lama meninggal duluan. Istri dan kakak iparku (Mustofa) bisa sabar menunggu bila di kamar mandi masih ada orangnya. Setelah yang di kamar mandi keluar, baru masuk. Tapi ibu mertua, orangnya tidak sabaran. Beliau tidak mau menunggu. Begitu berasa mau pipis atau be’ol langsung saja ke kamar mandi tak perduli di dalam kamar mandi masih ada orangnya yang sedang mandi atau be’ol. Pernah, waktu aku masih enak-enaknya mandi, tahu-tahu ibu mertuaku sudah pipis di depan kamar mandi. Inilah yang membuatku tak bisa nyaman bila sedang ada di kamar mandi atau WC.
Akut tidur malam biasanya pukul 00.00. Pukul 03.00 sudah bangun untuk salat tahajut. Dilanjutkan wiridan sampai terdengar azan Subuh. Jadi tiap hari tidur malam paling cuma tiga jam. Sehabis salat Subuh sering aku baca Alquran dulu sebelum melepas baju salatku. Setelah itu aku kadang tidur lagi. Seisi rumah cuma aku yang sering baca Alquran. Istriku, mertuaku, apalagi kakak iparku, tidak pernah sama sekali. Mereka semua langsung tidur lagi. Biasanya istriku bangun lebih dulu, karena tiap pagi harus kulakan ke Pasar Karangayu.
Tiap bangun tidur, inginnya terus mandi. Tapi begitu masuk kamar mandi, baru saja ngising (be’ol), mertuaku tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar mandi. Kalau sampai kelamaan menunggu aku, mertuaku langsung pipis di depan pintu kamar mandi. Aku dibilang mandiku kelamaanlah, menghabiskan airlah. Sejak kejadian itu tiap mau mandi aku menunggu ibu mertuaku bangun dan ke kamar mandir dulu. Setelah ibu mertua keluar dari kamar mandi, baru aku bisa be’ol dan mandi dengan tenang.
Bulan Mei 2019 kemarin kami serumah puasa Ramadhan semua, termasuk ibu mertua yang sudah lanjut usia. Meski usianya sudah 80 tahun lebih dan tubuhnya sudah lemah renta, beliau tetap bersikeras ikut puasa.
Pagi itu sekitar pukul 03.00, masih di bulan Ramadhan (hari dan tanggalnya aku lupa), seperti biasa istriku menyiapkan makanan buat makan sahur. Tiba-tiba terdengar suara gedobrak dari dalam kamar ibu mertua. Kemudian terdengar suara rintihan kakak iparku (Mustofa) yang tidur sekamar dengan ibu mertuaku. Aku agak kesulitan memberikan pertolongan, karena pintu kamar terkunci dari dalam. Ternyata ibu mertuaku kejatuhan almari pakaian. Sejak itu ia sudah tidak bisa ke kamar mandi. Pipis dan be’olnya di kasur. Kami bertiga (aku, istri dan kakak ipar) sudah bisa nyaman bila sedang berada di kamar mandi.
Jum’at malam Sabtu, 6 September 2019 ibu mertua dibawa ke IGD RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sabtu malam, 7 September 2019 ibu mertua meninggal. Dimakamkan hari Minggu 8 September 2019.
Perjuangan istri
Sebelum menikah, dulu aku bercita-cita ingin membelikan kalung dan gelang emas buat istriku (Siti Noordjanah). Tapi sebelum cita-cita itu terwujud, aku malah mengundurkan diri dari perusahaan. Aku memilih menekuni hobiku menulis. Menulis buku dan cerpen. Tapi sampai sekarang buku yang aku tulis, Kisah Inspiratif Orang Indonesia, belum bisa terbit. Cerpen yang aku tulis pun belum ada yang dimuat di koran. Sehingga belum ada yang menghasilkan uang. Istriku cari uang sendiri, menanggung makan kami bertiga (aku, ibu mertua dan kakak ipar yang cacat mental sejak lahir) dan seluruh kebutuhan rumah tangga kami.
Siti Noordjanah istriku sekarang

Kebetulan sejak sebelum menikah istriku sudah jualan es juice dan es campur di rumah. Warung kecil di rumah inilah yang menjadi sumber penghasilan istriku tiap hari.
Hatiku terasa teriris-iris, tersayat-sayat, setiap melihat istriku kecapekan. Sudah seharusnya ia istirahat. Tapi ia tidak mau istirahat. Pagi ia tetap berangkat ke Pasar Karangayu untuk kulakan, belanja untuk kebutuhan warungnya dan kebutuhan kami serumah. Sampai di rumah terus memasak untuk makan orang serumah. Selesai memasak istriku mulai jualan di warungnya sampai sore. Begitu rutinitas tiap harinya.
Sudah lama istriku kadang-kadang merasakan sakit kepala (migren). Selain itu tulang kakinya juga sering sakit. Akhir-akhir ini pundak dan di dekat payudaranya juga sering sakit. Aku khawatir ada penyakit kanker di suputar pundak dan di atas payudaranya. Meskipun tidak ditemukan benjolan di sana, aku sudah sering menyarankan untuk periksa ke dokter sebelum penyakitnya tambah parah. Aku khawatir itu kanker yang bisa menjalar ke mana-mana. Tapi istriku tidak mau. Mungkin yang dikhawatirkan bila sampai harus rawat inap di rumah sakit. Terus yang akan menggantikan merawat ibunya di rumah siapa? Saat itu ibunya masih hidup. Tapi setelah ibunya meninggal pun istriku  tetap tidak mau periksa ke dokter. Mungkin yang dipikirkan, kalau sampai harus rawat inap, otomatis ia tidak bisa jualan lagi, warungnya harus tutup. Terus kami sekeluarga makannya bagaimana?
Tidak menafkahi
Sejak mengundurkan diri dari perusahaan CV Citra Mandiri Utama aku sampai sekarang belum bisa menafkahi istriku. Padahal di rumah ini ada ibu mertua dan kakak ipar yang mengalami keterbelakangan mental sejak kecil. Yang menjadi tulang punggung keluarga justru istriku. Tapi aku menolak kalau dikatakan tidak bertanggung-jawab. Menurutku, rezeki itu dari Allah. Bisa datang lewat aku, istriku, atau siapa saja yang dikehendaki Allah. Kebetulan rezeki yang berupa makan sehari-hari datangnya lewat istriku. Sekarang beban istriku agak berkurang setelah ibu mertuaku meninggal.
Untuk masa depanku dan keluarga aku tengah berjuang untuk bisa menerbitkan bukuku, buku “Kisah Inspiratif Ornag Indonesia”. Harapanku dengan menerbitkan buku ini aku akan bisa beli komputer, hp baru dan kendaraan. Dengan perlengkapan baru ini aku akan bisa lebih mudah cari uang.
Ruang kerja
Inilah ruang kerjaku. Ruang kerja di rumah peninggalan mertuaku. Berdinding triplek, beratap asbes. Kalau siang di musim kemarau teramat pamas. Apalagi bila sore atau malamnya akan turun hujan, dipastikan siang sebelumnya panasnya menyengat. Kipas angin kalau baru berupar, malah ikut menambahi hawa panas. Di samping rumah ada bengkel bubut yang bising dan menimbulkan polusi udara. Di depan ruang kerjaku ada warung jus milik istriku (Siti Noordjanah) yang setiap saat tabung blendernya mengeluarkan suara gemuruh. Semakin lengkaplah kebisingan itu. Anak-anak kecil yang membeli es kadang tiba-tiba nyelonong masuk kamarku membuat konsentrasiku saat bekerja buyar.
Terpaksa ngemis
Untuk kebutuhanku ngetik naskah apapun, aku sering minta uang pada teman-temanku untuk biaya ngetik di warnet, karena sampai detik ini aku belum punya komputer atau laptop sendiri. Aku biasanya minta Rp. 200 ribu atau semampu seikhlas teman-temanku yang penting bisa kuambil lewat ATM.
Berganti-ganti aku minta mereka. Misalnya aku hari ini terima bantuan dari Eko Prihartono Rp. 200.000, aku gunakan uang itu untuk ngetik di warnet, foto copy naskah, beli pulsa, beli batu alkalin untuk tape recorder (alat untuk merekam wawancara), transpot dan lain-lain. Kalau uang itu sudah habis, aku ganti minta bantuan uang pada teman yang lain. Begitu seterusnya.
Dana bantuan untuk biaya ngetik di warnet

Dana bantuan untuk ngetik di warnet


Sudah beberapa kali juga aku minta bantuan pada anakku, Rindang Pandu Buana. Terakhir aku menghubungi dia (Senin, 14 April 2019) mendapat jawaban, bahwa untuk tahun-tahun ini belum bisa bantu aku lagi. Rindang masih butuh dana banyak. Tapi dia tidak menyebutkan dana banyak yang ia butuhkan itu untuk apa. Ia hanya mengatakan, kalau ndilalah dapat rejeki banyak ia akan langsung transfer.
Setelah uang bantuan teman maupun anak habis untuk kebutuhanku ngetik dan internetan selama beberapa hari di warnet, aku mulai minta lagi. Teman-teman yang pernah/ sering kirim uang ke rekeningku antara lain : Eko Prihartono, Tutik Wiratni, Sunaryo, Iskandar Zurkarnain, Jakyuri, dan lain-lain.
Griya Inspirasi
Aku punya impian bisa beli tanah yang agak luas. Pertama, aku akan buat sumur supaya punya stok air yang melimpah. Sehingga ketika tiba waktunya membangun rumah tidak sampai kesulitan air. Atau berlangganan air PDAM. Kedua, membuat pagar tembok sekeliling tanah dan pagar halaman depan yang kokoh sehingga tidak semua orang bisa masuk. Ketiga, membangun kamar mandi dua dan WC dulu.
Kalau fasilitas ini sudah ada, sewaktu-kawaktu bangun rumah akan lebih mudah. Tidak perlu minta air pada tetangga. Tukang dan kenek tidak perlu meninggalkan pekerjaannya lama-lama hanya untuk be’ol maupun buang air kecil.
Di tengah-tengah lahan akan kubangun rumah kecil dua lantai. Sengaja aku bangun rumah di tengah lahan, supaya di depan, samping kanan dan kiri, dan belakang ada lahan kosong untuk ventilasi. Tapi itu tidak buru-buru. Yang penting sudah punya tanah resmi bersertifikat Hak Milik (HM). Untuk sementara masih bisa tinggal di rumah mertua.
Di sana aku bekerja. Di sana pula aku bebas memajang karya-karya kebanggaanku. Kalau bisa dilengkapi dengan kamar tidur dan ruang tamu. Di sana pula harapanku tiap pagi bisa lebih nikmat dalam menunaikan salat dhuha. Rumahku akan kujadikan rumah ibadah, karena semua aktifitasku akan kuniati dengan niat ibadah. Aku nggak mau lama-lama di rumah mertua. Aku ingin bebas berkarya, bebas tidur jam berapa saja, bebas mandi, dan bebas apa saja.
Selama ini aku merasa terganggu dengan kondisi di rumah yang kurang nyaman untuk salat dan bekerja. Istirahatku juga sering terganggu. Kalau sudah punya rumah sendiri, aku bisa bebas menjalankan semua aktifitasku.
Setelah salat subuh berjamaah di masjid, aku langsung ke rumahku membaca Alquran sebentar sebagaimana yang sering aku lakukan di rumah mertua. Jam 07.00 mulai salat duha. Selesai duha baru ke rumah mertua, menemui istriku kalau-kalau sudah dibuatkan sarapan. Kalau tidak ada yang harus kubantu, aku ke rumahku lagi melanjutkan aktifitasku.
Kirim proposal ke Jokowi
Kamis, 11 Oktober 2018 aku kirim proposalnya permohonan bantuan modal untuk menerbitkan buku “Kisah Inspiratif Orang Indonesia” ke Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta. Namun sampai sekarang belum ada jawaban. Maka Kamis 11 Juli 2019 aku kirim surat kedua dengan isi yang sama tapi kualamatkan ke Istana Presiden di Bogor. Sampai pada saat aku tulis buku ini tetap saja aku belum mendapat jawaban.
Meski aku sangat ingin ketemu dengan Presiden, tapi aku tak mau menggantungkan rezekiku dari presiden. Siapa tahu Allah mengirim rezeki buat aku lewat salah satu menteri. Maka aku berusaha ngebut merampungkan profil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Begitu naskah rampung akan kukonfirmasi ke beliau. Siapa tahu aku dipanggil beliau ke kantornya.
Kantor Kementerian Keuangan
Gedung Juanda I Lantai 3
Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat 10710, telepon (021) 3449230.
Saudara sejati
Aku gak tahu, harus bagaimana merangkai kata untuk mengungkap rasa terima kasihku pada teman-temanku yang selama ini sering kumintai uang. Terlebih-lebih pada teman-teman yang ketika kumintai uang lewat WA atau masenjer, tanpa menunggu waktu lama langsung mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Kalian semua adalah orang-orang yang sangat luar biasa dermawannya. Maka aku berusaha sering-sering mendoakan mereka, terutama pada saat selesai salat. Mudah-mudahan mereka sekeluarga selalu dalam keadaan sehat, lancar usahanya, selalu sukses, dan mendapat lindungan dari Allah SWT. Aamiin.
Uang dari ngemis sering kugunakan untuk bayar warnet, transport menemui narasumber dan kebutuhan lain untuk penerbitanku. Jasa kalian sangat besar terhadap perjuanganku meraih cita-cita. Kalian semua sahabat sejatiku, yang peduli dan mau mengulurkan tangan di saat saudara-saudaraku sendiri dan orang lain banyak yang tak peduli pada diriku, bahkan ada yang mencemoohku.
Untuk sementara keadaanku memang masih seperti ini. Aku terima keadaanku saat ini dengan tabah dan ikhlas. Aku terus berjuang untuk bangkit. Aku berusaha tabah dan sabar dalam menghadapi kesulitan, hambatan dan tantangan. Aku terima keadaan ini. Tapi aku yakin suatu saat pasti bisa bangkit, karena aku tidak sendiri, aku bersama Allah. Aku selalu melibatkan Dia dalam setiap kegiatan usahaku.
Jika bukuku terbit, aku pun ingin berbagi seperti kalian. Keuntunganku dari menerbitkan buku ini akan kugunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, terutama pengemis, orang yang suka minta-minta seperti aku. Aamiin.
Sampai mati mungkin aku tak bisa membalas kebaikanmu. Sebab rejeki dan pati ada di tangan Sang Maha Pencipta. Hanya Dia yang bisa membalas. Dia pula yang mencatat dan membalas amal-amalmu.
Mengundurkan diri
Setelah tiga tahun bekerja di Citra Mandiri Utama (CMU), aku merasakan perusahaan itu makin tidak sehat, tidak menunjukkan perkembangan semakin baik, sebaliknya tambah memprihatinkan. Gaji karyawan tidak ada yang naik. Malah pembayarannya sering terlambat. THR pun tidak dibagikan sepenuhnya. Bahkan ketika aku pinjam uang Rp. 50.000 saja, kantor tidak bisa memberi. Pinjang uang segitu saja tidak diberi, apalagi kalau minta hakku, THR yang belum diberikan. Sejak itu aku mulai ancang-ancang mengundurkan diri.
Begitu keluar dari CMU, aku langsung membuat proposal penerbitan buku “Kisah Inspiratif Orang Indonesia” yang sudah lama aku rencanakan. Aku juga membuat surat permohonan wawancara ke beberapa narsumber yang ada di luar kota lewat email. Sedang yang dalam kota Semarang cukup saya teleponi. Narasumber yang sudah kuhubungi beberapa ada yang sudah berhasil kuwawancarai. Namun kemudian terkendala biaya cetak.
Kamis 11 Oktober 2018 aku kirim surat ke Presiden Jokowi untuk minta bantuan dana biaya cetak bukuku. Tapi sampai saat ini belum ada jawaban. Maka konsen menulis biografi Jokowi. Biografi itu kumuat di blog pribadiku, Biografi Orang Indonesia. Siapa tahu beliau membaca. Kemudian memberi komentar dan koreksi. Siapa tahu beliau bersedia memanggilku ke istananya, memberi kesempatan aku untuk mewawancarainya, dan beliau berkenan memberi bantuan untuk biaya cetaknya.
Kisah Inspiratif
Buku yang sedang kususun berjudul “Kisah Inspiratif Orang Indonesia”. Buku yang keseluruhan isinya kutulis sendiri ini berisi kisah-kisah inspiratif para tokoh nasional dan daerah. Tokoh nasionalnya antara lain Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Polhukam Mahfud MD, Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purna (Ahok), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Ketua DPR Puan Mahari. Tokoh daerahnya antara lain Ketua ICMI Jawa Timur Ismail Nachu. Buku ini sudah siap cetak. Belum bisa terbit karena belum mendapatkan biaya cetaknya.
Satu-satunya narasumber yang sudah bayar di muka hanya Ketua ICMI Jawa Timur Ismail Nachu, S.Ag. Ia sudah bayar di muka Rp. 1 juta. Uang itu habis kugunakan untuk biaya ngetik naskah di warnet selama satu bulan.
Sedangkan dua narasumber yang lain, dokter Budi Laksono dan Area Director of HR InterContinental Hotels Group Indonesia Agus Sururi, S.Pd, M.MPar  masing-masing bersedia membayar Rp.1 juta kalau buku bisa terbit.
Total order baru Rp. 3 juta. Padahal dana yang kubutuhkan untuk biaya cetak dan distribusi Rp. 50 juta. Oleh karenanya Kamis 11 Juli 2019 aku kirim surat via pos kilat pada Presiden Jokowi untuk minta bantuannya.

Bukuku terbaru yang belum bisa terbit karena terkendala dana

Satu-satunya narasumber yang menunggu-nunggu terbitnya buku ini hanya Agus Sururi. Ia pernah kirim pesan WA menanyakan kapan buku ini terbit. Narasumber lain tidak tahu, masih ingat atau sudah lupa kalau pernah aku wawancarai.
Ruang kerja
Bagi yang mengenal aku cuma lewat facebook atau hanya membaca tulisan-tulisanku di blog pribadiku, belum pernah melihat kehidupan keseharianku dari dekat, ada yang mengira hidupku sudah berkecukupan atau mengira aku sudah jadi penulis yang sukses dengan penghasilan yang gede. Buktinya ada saja orang yang menelepon atau kirim pesan inbox yang minta bantuan dana. Padahal kenyataannya, hidupku serba kekurangan. Kurang fasilitas dan kekurangan harta alias miskin amat. Komputer maupun laptok saja belum punya, padahal profesiku sebagai penulis. Ke mana-mana sering jalan kaki dan naik angkot, karena belum punya sepeda motor apalagi mobil. Orang mengira aku yang punya perusahaan penerbit Rindang Pustaka punya duit. Aku punya staf dan karyawan. Semua bekerja di depan komputer di ruangan yang penuh dengan buku-buku dan bacaan yang lain. Itu sebabnya aku pernah beberapa kali ditelepon orang yang minta bantuan.
Penerbit Rindang Pustaka belum punya karyawan seorang pun. Semua pekerjaan aku kerjakan sendiri. Komputer dan laptop sama sekali belum ada. Pengetikan, revisi naskah, print, scan gambar, kirim email, semua aku kerjakan di warnet.
Aku belum punya tempat usaha yang layak. Aku bekerja di ruangan yang sempit. Kok bisa begitu? Karena aku belum punya rumah sendiri. Aku tinggal di rumah mertua. Rumahnya tidak terlalu besar. Selain ruang tamu yang memanjang ada dua kamar tidur. Salah satunya, kamar belakang ditempati Mustofa (kakak iparku). Sedang kamar depan ditempati aku dan istri. Tidak ada kamar lain. Sehingga aku memilih bekerja di kamar tidur. Tidak mungkin aku bekerja di ruang tamu, meskipun aku bisa menempatkan meja kerjaku di sana. Bekerja di kamar tidur saja kadang ada yang mengganggu, apalagi di ruang tamu.
Kamar tidur yang sempit membuat peralatan/ dokumenku sering hilang/ketlisut. Sebenarnya tidak hilang. Cuma karena semua barang-barang itu harus ditumpuk di satu meja kecil, karena tidak punya rak buku, akhirnya sering kesulitan mencari barang (dokumen/ naskah atau alat tulis) yang kubutuhkan. Padahal meja kecilku itu ya meja kerja ya sekaligus untuk menyimpan dokumen-dokumen penting.
Puasa Senin-Kamis
Mulai 1 Januari 2019 aku rutin puasa Senin-Kamis. Kesadaran itu muncul setelah merasakan semakin beratnya perjuangan untuk menggapai cita-cita. Usaha dan kerja keras saja tidak cukup. Harus disertai doa dan tirakat. Maka aku perlu puasa supaya usaha dan doa-doaku terkabul. Apalagi puasa Senin-kamis manfaatnya besar sekali. Sebelumnya aku tak bisa menjalankan puasa Senin-Kamis karena jika puasa badan menjadi lemas sehingga pekerjaan menjadi terganggu. Apalagi puasa Senin-Kamis adalah puasa sunah. Sehingga kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.
Tapi kemudian muncul kesadaran. Aku sekarang bukan karyawan, bukan pegawai, bukan pembantu, dan aku tidak punya atasan. Aku adalah bos di perusahaanku sendiri, Penerbit Rindang Pustaka. Tidak ada risiko yang aku khawatirkan bila aku puasa. Justru aku akan mendapat manfaat besar.
Kakak ipar
Kakak iparku, Mustofa, kelahiran 11 September 1964, waktu kecil sering sakit panas, step. Pernah meninggal tapi kemudian hidup kembali. Sejak itu ia terdeteksi mengalami keterbelakangan mental. Kondisinya yang seperti itu mestinya anak dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB) kalau sekolah umum tidak bisa mengikuti. Tapi orang tuanya malah tidak mau menyekolahkan. Karena sekolah di SLB kesannya seperti dibuang. Akibatnya, jangankan baca tulis, bicara dengan siapapun tidak bisa menggunakan bahasa yang baik. Sekarang usianya sudah 50-an tahun, tapi kelakuannya masih seperti anak kecil. Kalau makan klepret, nasinya kocar-kacir di meja dan lantai. Penampilannya lusuh, bau dan jorok. Tidak bisa membedakan barang kotor dan bersih. Sehingga aku tidak berani berdekatan dengannya. Kalau be’ol, ceboknya tidak pernah bisa bersih. Kotorannya sering menempel di celananya.

Seandainya dulu dimasukkan ke SLB tentu tidak sebodo ini. Bodo mungkin masih, tapi dengan belajar di SLB akan punya keahlian atau ketrampilan. Rajin/sregep mandi pagi, terus berangkat kerja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana kerjanya. Siangnya sudah pulang membawa uang. Yang Rp. 5 ribu ditaruh di kaleng yang sudah disediakan istriku.
Yang menjengkelkan, kalau sore, waktunya mandi malah belum pulang, masih main. Sering aku atau istriku harus mencarinya. Pakai sandal sering terbalik, karena tidak bisa membedakan kanan dan kiri. Tapi ia rajib salat berjamaah di masjid.
Operasi Hernia
Aku pernah mengalami gangguan kencing. Setiap kencing tersendat-sendat. Keluarnya tidak lancar. Sehingga membuatku harus lama berada di toilet setiap kencing (pipis). Selain itu ada rasa kemeng di dekat kemaluan. Berhubung keadaan seperti ini terus berlangsung setiap hari, aku periksakan ke Puskesmas Krobokan. Dokter Puskesmas Krobokan mengatakan, aku kena penyakit Hernia. Aku dirujuk ke dokter bedah RS Roemani Semarang. Tapi aku tidak dioperasi. Cuma diberi obat. Sampai obat dari dokter rumah sakit itu habis, tidak ada perubahan. Malah muncul benjolan di atas kemaluan sebelah kanan.
Sabtu siang, 16 Maret 2019 aku datang lagi ke Puskesmas Krobokan, minta rujukan ke RS Hermina Pandanaran. Aku pilih rumah sakit ini karena jangkauannya dari rumah lebih mudah. Kalau naik angkot cukup sekali saja. Tiga hari kemudian, tepatnya Selasa pagi, 19 Maret 2019 dengan membawa surat rujukan dari Puskesmas Krobokan Semarang Barat dan Kartu Indonesia Sehat aku datang ke RS Hermina Pandanaran Semarang. Setelah antri cukup lama di ruang pendaftaran, siang itu akhirnya aku dipanggil petugas pendaftaran. Aku diberi tahu, bahwa dokter yang akan memeriksa aku adalah dokter Abdul Mugni, SPB-KBD. Tapi beliau datangnya malam. Jam 18.00 aku disuruh datang lagi. Maka siang itu aku pulang dulu ke rumah.
Di rumah aku ceritakan pengalaman antri di rumah sakit ini pada istriku. Kukatakan, kalau nanti malam jadi operasi aku akan ngabari via sms atau telepon. Tapi aku berharap ada jalan lain, jangan operasi.
Malamnya dengan tergesa-gesa aku salat Maghrib, karena pukul 18.00 aku harus datang ke RS Hermina lagi, jangan sampai terlambat. Ternyata e ternyata, tiwas datang dengan terburu-buru karena takut terlambat, sampai di rumah sakit masih harus menunggu lama kurang lebih dua jam, karena pukul 20.00 dokter Abdul Mugni baru datang. Setelah memeriksa aku dokter bedah itu mengatakan, aku harus menjalani operasi. Mau tidak mau aku menyetujuinya, karena itu jalan satu-satunya untuk bisa sembuh.
Aku mengira operasinya akan dilakukan malam itu juga. Ternyata tidak. Berdasarkan kartu BBJS Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat) yang kumilki aku hanya boleh dirawat di kamar kelas III. Berhubung kamar pasien kelas III malam itu sudah penuh semua, aku disuruh pulang dulu. Nanti kalau ada pasien yang pulang, aku akan ditelepon.



 Sehari kemudian aku ditelepon Suster Nina, memberi tahu bahwa Kamis, 21 Maret 2019 aku sudah bisa menjalani operasi. Sesuai arahan suster Nina Kamis pagi tanggal tersebut aku ke RS Hermina lagi. Sampai di sana aku langsung mendaftar di loket rawat inap. Setelah lapor aku disuruh duduk dulu nunggu panggilan. Selama beberapa jam menunggu panggilan, istri dan saudara-saudaraku tak ada yang menemani. Aku sendirian. Mungkin antara dua sampai tiga jam kemudian aku baru mendapat panggilan. Aku diantar seorang scurity wanita ke lantai 5 kamar nomor 554. Aku disuruh istirahat di bed pasien yang sudah disiapkan untukku. Scurity itu kemudian meninggalkan aku.
Di sana aku langsung kirim sms ke istriku (Siti Noordjanah), menyampaikan kabar bahwa aku dirawat di lantai 5 kamar nomor 554. Tak lama kemudian seorang perawat datang memasang selang infus di tangan kiriku. Aku diberi tahu, operasi akan dilakukan pukul 18.00. Aku ngabari istriku lagi lewat sms. Baru ia menjawab sms-ku. Ia akan datang menemani aku pukul 16.00. Mungkin sms pertama ia tidak mendengar.
Sekitar pukul 16.00 istriku muncul sendirian. Aku lega sudah ada yang menemani. Jelas akan bingung seandainya tidak ada yang menemani. Sebab tidak ada yang menjaga barang bawaanku. Di dalam tas yang kubawa ada surat-surat penting dan handphone.
Aku dan istriku sempat gelisah. Karena sudah pukul 18.00 lebih aku belum dibawa ke ruang operasi. Baru pukul 19.00 dua orang perawat dan seorang scuriti mendorong bed yang aku tempati menuju ruang operasi di lantai 3. Selesai operasi aku dikembalikan ke lantai 5 kamar 554 lagi. Sabtu siang 23 Maret 2019 aku sudah pulang ke rumah.
Jum’at malam adikku, Rina Murwanti, datang bersama suaminya, Bambang Gunandar.
Sabtu siang, aku sudah diizinkan pulang ke rumah.
1 April 2019, aku kontrol. Perban dibuka.
Operasi kanker
Minggu malam, 5 Januari 2020 aku sudah ngamar di lantai 4 kamar 408 RS Hermina Pandanaran Semarang. Selang infus sudah menancap di tangan kiriku.
Senin siang, 6 Januari 2020 pukul 10.00 aku sudah dibawa ke ruang operasi di lantai 3. Hari itu ada dua pasien yang harus ditangani dokter bedah dr. Radhita Fatma Kamil. Aku dapat giliran nomor dua. Sehingga meski aku pukul 10.00 sudah masuk kamar operasi, sehabis dhuhur aku baru dapat giliran dioperasi. Setelah maghrib seorang suster membangunkan aku yang masih lelap kena obat bius. Begitu terbangun leherku sudah perbanan bekas luka operasi. Selanjutnya aku dikembalikan ke kamar 408 di lantai 4, dirawat di sana.
Rabu malam, 8 Januari 2020, aku sudah diizinkan pulang.
Sekarang aku sudah tak sabar menunggu hari Rabu, 15 Januari 2020, untuk kontrol dan membuka perban yang masih melilit di leherku, sekaligus untuk mengetahui penyakit yang kuderita.
Terima kasih buat RS Hermina Pandanaran Semarang yang telah mengobati dan merawat selama aku sakit. Sungguh luar biasa rumah sakit ini, mulai dari dokter, suster/ perawat, satpam dan pegawai lainnya, semuanya ramah2.

Benjolan di leher sebelah kanan yang sudah diambil dokter bedah Radhita Fatma Kamil
RS Hermina Pandanaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia on line, devinisi kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh tidakteraturan perjalanan hormon yang mengakibatkan tumbuhnya daging pada jaringan tubuh yang normal.

Erick Thohir

  Menteri BUMN (2019-2024)   Dari Media, Olah Raga sampai Sarinah Ditulis Muhammad Anwari SN. Saat ini Erick Thohir masih menjabat Menteri B...