Senin, 25 Januari 2021

Erick Thohir

 Menteri BUMN (2019-2024)

 








Dari Media, Olah Raga sampai Sarinah

Ditulis Muhammad Anwari SN.

Saat ini Erick Thohir masih menjabat Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) sampai tahun 2024. Ia lahir di Jakarta 30 Mei 1970 beragama Islam dari keluarga pebisnis.

Ayahnya bernama Teddy Thohir, salah seorang pemilik (co-owner) grup Astra International bersama William Soeryadjaja. Teddy Thohir yang membangun sistem Astra International menjadi sangat kuat seperti saat ini. Saudaranya, Garibaldi "Boy" Thohir, adalah seorang bankir investasi.

Tahun 1993 Erick Thohir lulus dari Universitas Nasional California, Amerika Serikat, mendapat gelar Master of Business Administration (MBA). Sebelumnya gelar sarjananya (Bachelor of Arts) diperoleh dari Glendale University.


Awalny Erick tak diperkenankan mengurusi bisnis keluarga. Ayahnya (Teddy Thohir) menginginkan Erick membuka usaha sendiri. Meski ayahnya termasuk salah seorang pengusaha yang disegani di Indonesia, tapi Erick tidak langsung menerima warisan aset dari orang tuanya.

Mahaka Group

Seperti yang diharapkan ayahnya, pulang dari Amerika Erick Thohir bersama Muhammad Lutfi, Wisnu Wardhana dan R. Harry Zulnardy mendirikan perusahaan Mahaka Group. Perusahaan ini bergerak di bidang media. Tahun 2001 bersama kawan-kawannya Erick bersama mengakuisisi harian Republik. Ia berani mengambil kesempatan saat media tersebut mengalami krisis keuangan. Waktu itu Republika di ambang kebangkrutan. Menyadari belum berpengalaman di bisnis media, Erick di samping minta bimbingan pada ayahnya juga mendapat bimbingan dari Jakob Oetama dari Kompas dan Dahlan Iskan dari Jawa Pos.

Selain itu Erick menerbitkan ulang Harian Indonesia dengan nama Sin Chew-Harian Indonesia dengan konten editorial dan pengelolaan dari Sin Chew Media Corporation  Berhad yang berbasis di Kuala Lumpun, Malaysia. Media ini kemudian dikelola secara independen oleh PT Emas Dua Ribu, mitra perusahaan Mahaka Media.

Erick menjadi Presiden Direktur PT Mahaka Media hingga 30 Juni 2008. Tahun 2009 Group Mahaka telah berhasil menguasai beberapa majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest. Sedangkan untuk bisnis stasiun TV PT Mahaka Media memiliki dan mengelola JakTV dan Alif TV. Selain itu PT Mahaka Media juga mengelola stasiun radio yaitu Jak Fm, GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio.

Sekarang Erick masih menjabat Komisaris PT Mahaka Media sejak Juni 2010. Selain di bidang media, ia memiliki usaha di bidang periklanan, jual beli tiket, dan desain situs web. Ia juga mendirikan organisasi amal "Darma Bakti Mahaka Foundation" dan "Dompet Dhuafa Republika".

Pemilik restoran Hanamasa dan Pronto ini juga sudah menerbitkan buku berjudul Pers Indonesia di Mata Saya yang diluncurkan pada 2011 oleh Penerbit Republika.

KADIN

Sebagai pengusaha, Erick Thohir menjalin hubungan dengan jaringan pemerintah, antara lain pernah menjabat Ketua Komite Konten dan Industri Aplikasi untuk Kamar Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Selain itu menjadi Presiden Direktur Viva Group dan Beyond Media.

Tahun 2018 Indonesia sukses menggelar Asian Games 2018 yang dipuji seantero Asia dan belahan dunia lain menjadikan nama Indonesia kian membahana.

Erick Thohir pernah memimpin Panitia Pelaksana Asian Games 2018 (INASGOC = Indonesian Asian Games Organizing Committe) membuat pesta olahraga bangsa Asia tersebut meraih kesuksesan yang luar biasa. Sehingga seantero Asia dan belahan dunia lain memuji Indonesia. Berkat pencapaian tersebut majalah Forbes Indonesia memberikan penghargaan “Man of The Year” tahun 2018. Anugerah tersebut terasa pas dan kian melengkapi, karena dirinya ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan capres-cawapres Jokowi – Ma’ruf Amin di Pilpres 2019.

Bola basket

Erick Thohir menggemari olah raga bola basket. Berbagai jabatan di bidang olah raga pernah dipegangnya, antara lain pernah menjabat Ketua Umum Perbasi (Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia) periode 2006-2010. Selain itu pernah menjabat Presiden Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA = Southeast Asia Basketball Association) selama dua kali, yaitu periode 2006-2010 dan 2010-2014. Tahun 2012 ia dipercaya sebagai Komandan Kontingen Indonesia pada Olimpiade London 2012.

Di tahun 2012 Erick dan Levien menjadi pemilik saham mayoritas sebuah klub Major League Soccer, DC United. Klub sepak bola profesional asal Amerika Serikat ini berbasis di Washington, DC. Klub ini kerap berkompetisi di Major League Soccer. Transaksi ini membuat nama Erick dikenal sebagai orang Asia pertama yang memiliki Tim Basket NBA setelah ia membeli saham dari Philadelphia 76ers. Namun pada bulan Agustus 2018 Erick melepas semua saham kepemilikannya di DC United.

Erick pernah mendirikan klub Bola Basket Mahaka Satria Muda Jakarta dan Mahaputri Jakarta. Pendirian ini dilatarbelakangi cita-cita lamanya yang ingin menjadikan olahraga sebagai kebutuhan, selain sebagai lahan bisnis yang menjanjikan bagi atlet dan pemilik klub. Intinya, ia ingin menciptakan hubungan simbiosis mutualisme antar semua elemen olahraga. Adapun kepemilikan Erick Thohir di klub bola basket dalam negeri adalah Satria Muda BritAma dan Indonesia Warriors.

Inter Milan

Pada tahun 2013 Erick Thohir menawarkan dana sejumlah 250 hingga 300 juta Euro (2,8 sampai 3,2 triliun rupiah) untuk membeli 80 persen saham dari klub sepak bola Italia Internazionale Milano atau yang lebih dikenal dengan nama Inter Milan setelah berdiskusi dengan pemiliknya, Massimo Moratti.

Meskipun Erick dan Moratti saat itu tidak mengakui bahwa pertemuan mereka berkaitan tentang rencana pembelian saham Inter Milan, namun sejumlah media di Italia mengabarkan bahwa Erick sudah selangkah lagi mendapatkan 70 persen saham Inter Milan. Selasa 15 Oktober 2013 Inter Milan sudah resmi milik Erick, meskipun secara efektif ia hanya menguasai 35 persen, Moratti 30 persen, dan sisanya dibagi yang lainnya.

Lewat pembelian tersebut, Erick menjadi pemilik klub sepakbola besar Eropa terbaru yang berasal dari negara berkembang. Kepemilikannya atas Inter Milan menambah nama dalam daftar pengusaha negara berkembang yang berhasil mengakuisisi klub sepakbola yang populer di mata dunia. Maka Jumat, 15 November 2013, ia resmi menjabat Presiden klub Inter Milan yang baru, menggantikan Massimo Moratti yang telah menjabat selama 18 tahun di Inter Milan. Pemilihan ini dilakukan melalui rapat luar biasa klub Inter Milan.


Namun setelah itu, Suning Group, sebuah perusahaan dari China membeli kepemilikan saham mayoritas Inter Milan dari Erick Thohir. Meskipun begitu Erick masih memiliki saham 30 persen di Inter Milan dan masih tetap menjabat sebagai Presiden klub Inter Milan. Baru pada awal tahun 2019 ia menjual keseluruhan saham yang dimiliki di Inter Milan kepada Suning Group.


Setelah sukses sebagai ketua INASGOC dalam menjalankan Asian Games 2018, tanggal 7 September 2018 Erick Thohir ditunjuk sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional Pemenangan Jokowi-Ma'rif Amin dalam Pilpres 2018.


Rabu 23 Oktober 2019 Presiden Joko Widodo menunjuk Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam Kabinet Indonesia Maju untuk periode 2019-2024. Penunjukan ini mengharuskan dirinya melepas sejumlah jabatan di perusahaannya agar bisa menghindari konflik kepentingan.

Rombak Sarinah

Menteri BUMN Erick Thohir merombak Gedung Sarinah menjadi Indonesia Friendly. Artinya, Gedung Sarinah akan menjadi tempat yang berpihak pada merek dan hasil usaha kecil dan menengah (UKM). Gedung pusat perbelanjaan ini dulu proyek yang didirikan Presiden Soekarno.

"Saya rasa Sarinah sebuah proyek yang diciptakan Pak Soekarno yang luar biasa. Sarinah hari ini harus ada Sarinah ke depan. Karena itu Pak Jokowi sendiri bersama saya mendiskusikan bagaimana supaya konsep ritel ini lebih friendly kepada Indonesia, artinya keberpihakan pada merek lokal dan hasil UKM yang dikuratorkan," paparnya dalam wawancara terbatas di Kementerian BUMN Jakarta Pusat, Jumat kemarin (8/5/2020).

Erick menjelaskan, Sarinah akan mengusung konsep Indonesia yang modern. Di dalamnya akan memuat tempat makan, belanja dan tempat terjadi kesepakatan dagang (trading area). Selain itu, Sarinah menjadi tempat pelatihan, duty free hingga tempat berkumpulnya para startup atau perusahaan rintisan.

Erick mengatakan, anggaran yang dibutuhkan untuk merombak Sarinah sekitar Rp 700 miliar. Anggaran tersebut tidak hanya keluar dari Sarinah. Namun, juga dari BUMN lain.

Perombakan PT Sarinah (Persero) melalui Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor SK-247/MBU/07/2020 terkait dengan Pemberhentian, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-anggota Direksi PT Sarinah (Persero). (an).













Referensi :

https://tirto.id/m/erick-thohir-7

https://www.bola.net/profile/erick_thohir/index.html

https://www.biografiku.com/biografi-erick-thohir-pengusaha/

https://bangka.tribunnews.com/2020/02/29/profil-erick-thohir-mulai-dari-silsilah-keluarga-hingga-pendidikan-dan-karir?page=all

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5007836/erick-thohir-buka-bukaan-rencana-besar-rombak-sarinah

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5007836/erick-thohir-buka-bukaan-rencana-besar-rombak-sarinah/2

https://www.minews.id/news/susunan-direksi-sarinah-setelah-dirombak-erick-thohir

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5102939/tancap-gas-erick-thohir-kini-rombak-direksi-sarinah/2

 

Erick Thohir


 

Rabu, 04 November 2020

Auto biografi Muhammad Anwari SN


 Tak Kenal Menyerah

 Direvisi : Jumat, 9 Oktober 2020.

Aku lahir di Rumah Sakit Mardi Waluyo, Semarang, 20 November 1962. Bapakku bernama Soekidjo Parto Atmodjo bin Jiwo Karjo. Beliau sekarang sudah pikun. Sedangkan emakku bernama Ponirah binti Karto Sentono. Emak sekarang banyak mengeluh karena nasibnya yang sakit-sakitan. Suaminya (bapakku) suka merepotkan keluarga dan tetangga. Anak yang serumah (Subiarti) suka stres karena problem ekonomi. Dua orang yang sehari-hari menemaninya ini justru menambah beban masalahnya.


Bapak Pahlawan Keluarga

Saat aku masih dalam kandungan emak, Bapakku (Soekidjo) bekerja menjadi jongos di keluarga Tionghoa. Bapak tidak punya pendidikan tinggi. Ia cuma lulusan SMP. Dari desanya di Gunung Kidul bapak pergi ke Semarang cuma jalan kaki. Cuma berbekal tenaga, bapak mencari pekerjaan di Semarang. Akhirnya ketemu orang China bernama Yok Yang kemudian menjadi juragannya.

Salah satu anaknya Yok Yang (entah siapa namanya) ada yang cacat kakinya sejak lahir. Sampai anak itu tumbuh besar jalannya masih pincang. Saat itu bapakku mungkin sering membatin anak cacat itu. Bapakku tidak menyadari istrinya (Ponirah) tengah hamil tua mengandung aku. Mungkin bapakku tidak tahu, hal ini bisa mengakibatkan anaknya (aku) bisa mengalami serupa anaknya Yok Yang.

Kakiku cacat

Terbukti ketika aku lahir kedua kaki pun cacat. Ketika aku berjalan, kakiku tidak dapat menelapak di lantai dengan sempurna. Rupanya Yok Yang mengetahui hal ini. Untungnya juragannya bapakku ini orang yang baik. Begitu melihat aku lahir cacat, aku langsung dibawa ke RS Elisabeth. Perhatian Yok Yang yang sangat besar terhadap diriku, sering membuat orang lain mengira aku anaknya Yok Yang. Di rumah sakit kedua kakiku digip. Tiap pagi kakiku dijemur di bawah sinar matahari di halaman rumah sakit.

Soekidjo Parto Atmodjo dan Ponirah







Kebetulan Yok Yang punya rumah di Jl. Puspowarno, di dekat Makam Salaman Mloyo. Rumahnya cukup besar dan halamannya luas. Rumah ini sudah lama tidak ada yang menempati. Mungkin Yok Yang saat itu merasa iba melihat bapakku terus-terusan tinggal di rumah kontrakan. Di samping itu bapakku sudah lama bekerja ikut Yok Yang, pengabdiannya sudah lama. Kemudian bapakku disuruh menempati rumah itu tanpa membayar uang sewa. Kebaikan Yok Yang tidak sampai di situ saja. Bapakku diikutkan kursus montir yang dibiayai Yok Yang. Sehingga bapakku bisa memperbaiki mobil-mobil truk milik Yok Yang yang rusak.

Dihina teman sekolah

Aku baru mau masuk sekolah Taman Kanak-kanak (TK) ketika ayahku pindah dari rumah kontrakan ke rumah Yok Yang di Jl. Puspowarno. Tapi teman-teman sebayaku sudah berlarian ke sana-kemari, aku masih belajar berjalan. Tetangga yang tidak menyukaiku suka mengolok-olokku, meledek, kakiku yang cacat. Ketika teman-teman sebayaku sudah masuk TK, aku masih belajar memakai sandal dan sepatu. Sehingga aku agak terlambat masuk sekolah. Teman-teman sebayaku sudah masuk kelas 1 dan 2 SD sedangkan aku baru masuk TK. Di lingkungan baru, yakni di sekolah TK, aku enjoy saja. Ketika memakai sepatu, aku tidak nampak seperti anak cacat. Jalanku normal.

Aku mulai tidak nyaman setelah masuk SD. Semua tahu di SD  ada pelajaran olah raga. Aku mulai merasakan sakitnya dihina, ketika berlangsungnya pelajaran olah raga. Dulu aku sekolah di SD Negeri Salaman Mloyo di kota kelahiranku, Semarang. Bila ada pelajaran olah raga, di mana aku harus lari, aku sering jadi bahan tertawaan teman-teman. Caraku berlari dianggap lucu. Beban berat kurasakan ketika harus berlari mengelilingi komplek sekolah sampai lima kali.

Lulus SD aku melanjutkan pendidikan ke SMP Panti Pemuda (sekarang sudah lama bubar) di kota kelahiranku juga. Untungnya teman-temanku di SMP tidak ada yang menghina dan melecehkan aku, meskipun setiap ada olah raga lari aku selalu jauh tertinggal dengan teman-teman. Meskipun demikian nilai olah ragaku di raport rata-rata 7.

Ditahan di Polrestabes Semarang

Kenangan pahit pernah kualami ketika masih sekolah di SMP Panti Pemuda Semarang. Pada saat itu aku tengah nonton acara peresmian pembukaan Lomba MTQ (Musabakoh Tilawatil Qur’an) tingkat nasional di lapangan Pancasila, Simpang Lima, Semarang. Aku nonton bersama temanku, Nur Fadlan (Bejo). Lomba dibuka oleh Presiden Soeharto. Aku sudah berada di sana sebelum acara dimulai. Sehingga aku dan Bejo bisa mendapat posisi paling depan di antara penonton yang berdiri.

Kami menyaksikan Presiden Soeharto memencet tombol peresmian pembukaan diiringi suara sirine. Ketika tombol dipencet bunga Wijaya Kusuma raksasa mekar. Dari dalam bunga raksasa itu muncul koriah yang kemudian membaca ayat Alquran. Penonton makin antusias. Penonton yang di belakang merangsek/ mendorong-dorong penonton yang ada di depannya karena ingin melihat lebih jelas. Beruntung aku berada di barisan penonton paling depan, bisa melihat semuanya dengan jelas. Namun ini tidak berlangsung lama. Justru kemalangan yang aku terima. Melihat penonton terus merangsek masuk dan tak terkendali, polisi bukannya memerintahkan penonton di depan duduk tapi malah mengayun-ayunkan pentungan. Barisan penonton yang ada di depan, termasuk aku, terhuyung-huyung ke belakang, karena khawatir kena sabetan pentung polisi. Aku terhuyung ke belakang tanpa keseimbangan. Pada saat itulah ada orang yang teriak “Copeet !”. Tiba-tiba ada orang menangkapku. Aku terbengong tanpa tahu apa yang terjadi.

Lulus SMP aku bisa diterima di SMA Negeri 6 Semarang. Tapi di SMA justru guru olah ragaku (Harun) yang brengsek. Teman-temanku tidak ada yang menghina. Tapi Harun tega banget memberi angka merah pada pelajarab olah raga hanya karena aku tak suka olah raga lari.

Lintang Agency

Waktu itu aku main ke rumah kontrakan Setyo Yuwono di dekat tanggul sungai Banjir Kanal Barat Semarang. Aku ngomong mau cari pekerjaan. Lalu aku dibawa ke rumah Bambang Sadono. Di sana aku bekerja di agen koran dan majalah milik Bambang. Waktu itu tahun 1984. Gaji pertama Rp. 25.000. Kerjaku menyiapkan kuitansi yang digunakan untuk menagih pelanggan koran dan majalah. Kadang aku mencari pelanggan baru di Perumnas Krapyak. Setelah beberapa bulan kerja di sana, aku ditawari kuliah. Bambang yang menanggung biayanya. Semula aku menyambut dengan senang hati. Orang tua tidak bisa menguliahkan, ada orang lain yang peduli dengan pendidikanku. Aku sudah mendaftar ke Akademi Publisistik.

Tak lama kemudian aku ada rencana mengadakan pentas drama di Balai Kelurahan Salaman Mloyo. Aku sibuk menyusun skenario drama. Di hari Minggu itu aku sangat sibuk dengan urusan skenario. Tiba-tiba datang karyawan Bambang Sadono ke rumah menjemput aku. Aku disuruh lembur. Dengan malas aku masuk kerja. Kerja pun jadi tak konsentrasi. Aku melakukan kesalahan besar. Bambang marah-marah. Aku pun spontan keluar. Impian untuk kuliah pun buyar.

Tawaran kuliah itu pun terpaksa kutolak. Sebab teman-temanku yang dikuliahkan, tidak ada yang berhasil. Sebab mereka tidak ada yang bisa belajar dengan nyaman. Sehabis bekerja semua kecapekan, tidak ada yang sempat belajar.

Cerpen Gapura

Di rumah aku masih sempat membuat cerpen. Cerpenku Gapura menimbulkan reaksi keras di kampung Salaman Mloyo. Bakul Bakso Tris (Sutrisno) tersinggung setelah membaca cerpenku. Bahkan tidak hanya Tris, para tetangganya di RT 09 juga ikut tersinggung. Mereka marah-marah dan ingin membunuh aku. Berhubung takut dengan ancaman warga, aku lapor ke Bambang Sadono. Laporanku ini oleh Bambang Sadono ditulis menjadi berita di koran Suara Merdeka. Baru kali ini cerpenku rame jadi pembicaraan warga.

Beberapa hari ini aku kehilangan konsentrasiku menulis cerpen. Sehingga cerpenku terbengkelai. Setiap akan memulai untuk mengedit, sepertinya sulit untuk memahami kalimat demi kalimat yang sudah aku ketik di warnet. Akhirnya aku terpaksa harus minum kopi lagi yang sebenarnya sudah harus kuhindari.

Tapi ketika baru akan memulai, istriku tiba-tiba menyuruhkan membelikan es batu. Konsentrasiku buyar lagi. Untuk bisa meneruskan menulis lagi, aku harus mandi keramas dengan menggunakan banyak air. Akhirnya cerpen itu berhasil kurevisi, meski aku harus merevisinya lagi kelak, karena panjangnya sudah melebihi 10.000 karakter.

Aku sangat menyukai hobiku menulis. Mulanya aku hanya hobi menulis puisi saja. Saat itu aku masih sekolah di SMP Panti Pemuda Semarang. Sayangnya gedung almamaterku ini sudah tidak ada. Gedung megah dengan arsitektur Belanda ini sudah lama dirobohkan rata dengan tanah. Aku tidak tahu kapan gedung ini dirobohkan. Tahu-tahu sudah menjadi tanah kosong. Waktu aku masih sekolah di sana, karyaku sering dipajang/ ditempel di majalah dinding sekolah.

Masuk SMA

Ketika masuk SMA Negeri 6 Semarang aku mulai gemar pula membaca cerpen. Akhirnya aku mencoba belajar menulis cerpen sendiri, membuat cerita yang saya karang sendiri. Saya coba mengirim karyaku ke pengelola majalah dinding sekolah. Alhamdulillah dimuat. Di sini aku bertemu teman sekelas, namanya Handry TM seniorku. Aku mengirimkan karyaku ke redaksi koran, siapa tahu bisa dimuat, kalau dimuat bisa mendapat honor. Sebelum ketemu dengan Hendry, aku tidak tahu kalau menulis cerpen di koran bisa mendapat honor. Adanya honor ini menambah semangatku menulis cerpen. Mula-mula aku kirimkan ke koran Kartika dan Bahari.

Akhirnya aku tidak hanya menulis puisi dan cerpen, tapi juga menulis novel dan artikel sastra. Di koran Kartika aku bertemu (kalau tidak salah namanya) bu Heni (sekretaris redaksi). Aku disarankan jangan hanya menulis cerpen dan puisi saja, tapi juga berita. Aku turuti nasehat dan sarannya. Bila ada kegiatan kesenian di kotaku, aku sering hadir dan meliput. Biarpun tidak masuk jadi anggota organisasi wartawan, aku sering menulis berita juga. Tulisan-tulisanku sering muncul di koran Kartika, Bahari, Dharma, Bina, Suara Merdeka, dan Wawasan. Merupakan suatu kebanggaan tersendiri bila tulisanku dimuat di koran. Puisi, cerpen, dan artikel sastra karyaku yang sudah dimuat di koran semua kukliping.

Dari keluarga bapak dan emak cuma aku satu-satunya yang punya hobi menulis. Meskipun tulisanku lebih banyak yang dimuat di koran-koran lokal seperti Kartika, Bahari, Dharma dan Bina, tapi aku bangga. Tambah bangga setelah beberapa karyaku akhirnya juga bisa dimuat di koran Suara Merdeka dan Wawasan. Dengan menulis aku bisa mendapatkan kesenangan dan kebanggaan, tapi di mata bapakku profesi ini tidak ada apa-apanya. Apalagi aku belum bisa beli baju sendiri, apalagi sepeda motor. Apa-apa masih dari orang tua. Maka aku dianggapnya masih nganggur meskipun dalam hal menulis aku semakin kreatif dan produktif. Ironisnya bila ada teman atau tetangga bapak tanya, anak mbarep-mu (Anwari) sudah kerja apa belum, bapak selalu menjawab aku masih nganggur. Profesi menulis dianggapnya bukan pekerjaan.

Bapakku terus-menerus mendesakku untuk mencari pekerjaan meskipun aku sudah berkali-kali menyampaikan tekatku untuk tetap menekuni hobiku menulis. Aku bingung harus kerja apa lagi? Mauku aku ingin tetap menulis. Biarpun penghasilanku sangat kecil, tapi aku menyukai dan menikmatinya. Tapi kalau keinginan bapakku tidak kuturuti ya kasihan. Padahal mencari pekerjaan di Semarang tidak mudah. Yang relatif mudah didapatkan adalah pekerjaan-pekerjaan kasar atau menjadi pelayan di toko, warung, atau rumah makan. Mungkin pekerjaan ini lebih mudah kudapatkan dari pada melamar ke perusahaan. Tapi apa kata tetangga nanti bila pekerjaanku sebagai penulis kutinggalkan. Tetangga tahunya aku menjadi wartawan. Profesi wartawan ditinggalkan malah jadi pekerja rendahan seperti itu. Aku tidak mungkin menjalaninya, males ngelakuin.

Merantau ke Solo

Akhirnya kuputuskan, aku harus meninggalkan Semarang. Supaya aku bisa bebas kerja apa saja. Jika terpaksa harus kerja di kuli bangunan, atau kacung di rumah orang Cina, tak apalah. Yang penting tetangga di Puspowarno tidak ada yang tahu. Terus ke mana? Yang jelas ke kota lain. Ikut-ikutan merantau ke Jakarta tidak mungkin. Di sana cari pekerjaan semakin sulit. Saudara-saudara bapak yang asal Gunung Kidul sudah terlalu banyak yang merantau ke sana. Aku tidak mau ikut-ikutan. Akhirnya pilihanku jatuh ke kota Solo. Solo kupilih karena Solo dikenal sebagai kota budaya. Tapi aku tak mau ke Yogya, karena Yogya dekat dengan kampung halaman bapakku. Aku yang masih merasakan diri sebagai seniman karena profesiku sebagai penulis cerpen, membuatku memilih merantau ke kota Solo. Untuk sementara aku akan kerja apa saja. Yang penting di sana punya tempat buat tidur dan makan sehari-hari. Siapa tahu setelah agak lama menetap di sana (Solo), ada kenalan baru yang bisa mencarikan pekerjaan yang lebih layak. Kemudian aku mengembangkan bakat menulisku.

Kalau aku pamitan berangkat ke Solo sendirian dengan tujuan yang tidak jelas, aku khawatir bapak dan emak tidak mengizinkan. Keduanya mengkhawatirkan keadaanku di sana. Maka aku pergi dengan alasan diajak teman. Bapak dan emak mengizinkan karena mengira ada teman yang mendampingiku.

Aku ke Solo naik bis. Sampai di terminal bis Tirtonadi Solo, aku mencari warung yang agak jauh dari terminal untuk makan. Kucari warung yang kira-kira tarifnya murah. Uangku harus kuhemat betul. Jangan sampai kelaparan karena kehabisan uang. Tidak perlu makan yang terlalu enak. Yang penting cukup membuat perut kenyang. Aku berharap hari itu bisa langsung mendapatkan pekerjaan apa saja yang penting bisa untuk makan, sebagai batu loncatan sebelum menemukan pekerjaan yang lebih layak.

Selesai makan aku meneruskan perjalanan dengan jalan kaki tanpa tahu harus ke mana. Sepanjang perjalanan aku selalu memperhatikan kanan kiri. Hampir tiap ketemu toko aku hampiri pemiliknya untuk menanyakan, apakah aku bisa ikut kerja. Tapi semuanya menggeleng. Menjawab sudah tidak menerima karyawan lagi. Aku sempat melewati pabrik/ perusahaan. Tapi aku tidak berani masuk. Sebab kalau cari kerja ke perusahaan biasanya disuruh membuat surat lamaran dulu. Setelah itu menunggu panggilan. Dipanggilnya kapan tidak tahu. Lamaran ditolak juga tidak diberi tahu. Yang kubutuhkan bisa langsung masuk kerja, tanpa menunggu lama.

Akhirnya kakiku kecapaian, kelelahan. Aku menghentikan langkah. Duduk beristirahat di pinggir jalan di dekat seseorang yang nampaknya juga sedang istirahat. Aku sempat ngobrol dengannya. Ternyata dia tukang becak.

Tukang becak itu menawarkan diri mengantarkan aku ke mbok Jogo. Kutanya mbok Jogo itu siapa? Dijawab, mbok Jogo itu orang yang akan mencarikan pekerjaan. Aku bersedia diantar tukang becak itu ke rumah mbok Jogo.

Mbok Jogo mengirim aku ke pak Mochtar seorang pedagang pakaian, sandal dan sepatu. Sedangkan bu Mochtar jualan nasi gudeg. Aku dipekerjakan di rumah tangga, jadi kacung di keluarga pak Mochtar. Siang bekerja di dapur membantu bu Mochtar memasak. Sore sampai tengah malam membantu bu Mochtar jualan nasi gudeg. Aku mengabari bapak. Tidak kuduga malah bapakku menyusul dua kali, minta uang. Aku malu sama bapak cuma bisa mendapatkan pekerjaan seperti itu. Di samping itu amat lucu. Banyak orang desa bekerja di kota besar. Dua orang temanku, keduanya cewek, datang ke Solo dari pelosok desa. Tapi aku yang dari kota besar, malah cari pekerjaan di kota kecil.

Di kota Solo aku beberapa kali pernah ketemu dengan Wiji Tukul Wijaya.

Merantau ke Surabaya

Setelah dua tahun kerja di Solo, aku pindah ke Surabaya. Kerja di rumah makan.

Sampai malam aku belum mendapatkan pekerjaan. Kuputuskan untuk segera mencari tempat menginap yang aman. Tidak mungkin untuk menginap di losmen apalagi hotel. Uangku harus kuhemat betul. Jangan sampai kelaparan. Maka kucari tempat menginap yang gratis. Aku mampir ke masjid. Supaya aman dan tidak dicurigai orang, aku minta izin pada ketua RT setempat. Akhirnya aku dapat izin tidur di masjid.

Paginya, sehabis shalat subuh aku melanjutkan pengembaraanku menyusuri kota mencari pekerjaan lagi. Siangnya aku sampai di sebuah kios koran di dekat terminal bus Jembatan Merah. Saking sulitnya mencari pekerjaan, penjual koran itu pun aku temui untuk bisa mendapat tumpangan hidup di kiosnya, supaya aku bisa makan tiap hari dan tidak jadi gelandangan di kota buaya ini. Oleh penjual koran aku disarankan untuk datang ke warung Dewi. Bos warung Dewi orang Semarang juga. Siapa tahu mau menolong. Alhamdulillah aku diterima bekerja di warung ini.

Di warung ini aku kerja siang malam. Bakda subuh aku sudah berangkat ke warung yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter dari rumah juragan. Sampai di warung langsung bersih-bersih. Pukul 06.00 dagangan warung yang dikirim dari rumah juragan mulai datang, ada aneka masakan. Saat itu aku mulai sibuk karena tiap hari banyak pengunjung yang datang. Makan siangku sering terlambat karena sibuk melayani pengunjung warung. Sore aku disuruh pulang ke rumah juragan untuk mandi. Habis mandi ke warung lagi sampai tengah malam. Begitu terus-menerus tanpa hari libur. Hidupku seperti katak dalam tempurung. Tidak bisa melihat dunia luar. Tidak bisa cari kerjaan di luar.

Aku lama-lama tidak betah. Akhirnya aku memutuskan keluar. Gajiku selama beberapa bulan kugunakan untuk ngekost. Untuk sementara aku nganggur. Tapi siangnya aku bisa bebas ke mana-mana mencari pekerjaan. Sedangkan malamnya bisa istirahat dengan nikmat.

Tiap hari aku menyusuri jalanan mencari pekerjaan. Tiap toko tiap perusahaan yang kujumpai, aku menanyakan lowongan pekerjaan. Tapi semua tak ada lowongan pekerjaan. Kendati aku sudah merengek-rengek, tetap tidak ada yang mau memberiku pekerjaan.

Aku menghentikan langkahku ketika badanku merasakan capek. Saat itu kaki sudah tidak kuat lagi untuk melangkah. Aku duduk di pinggir jalan. Keringatku bercucuran membasahi baju. Saat melepas lelah itu, aku melihat tak jauh dari tempatku duduk ada sebuah gedung yang tengah dibangun. Mungkin aku bisa kerja di sana. Tak jauh dari gedung yang tengah dibangun itu, ada warung kecil. Spontan aku ke sana untuk makan dan minum. Kebetulan perutku sudah lapar. Sambil makan aku bisa melihat kegiatan proyek itu dari dekat.

Selesai makan dan minum, aku tanya pada pemilik warung itu, kalau aku ikut nggabung kerja di sana kira-kira nggak ya. Tak kuduga pemilik warung itu langsung memanggil mandor, memberi tahu bahwa aku ingin ikut kerja di proyek itu. Ternyata aku diizinkan. Pemilik warung itu bahkan menggratiskan makanan yang sudah kumakan. Aku terus pulang ke rumah kos di Krembangan Bhakti untuk istirahat.

Ternyata kerja jadi kuli bangunan jauh lebih sengsara dari pada pelayan di warung makan. Kerja di bangunan membuat kakiku sakit karena phisikku tidak kuat.

Cari pekerjaan lagi di biro perjalanan. Cuma dibayar Rp. 30.000.

Meninggalkan rumah kost, kerja di warung soto. Tidak betah dibuli, keluar, milih jualan mainan anak-anak. Hasilnya tidak bisa buat makan sehari-hari.

Penerbit Citra Almamater

Setelah lama bekerja di Lintang Agency milik Bambang Sadono, aku dipindahkan ke Penerbit Citra Almamater. Penerbit ini juga miliknya Bambang Sadono. Pada usia 30 tahun aku menikah dengan Wijiyanti. Setelah menikah aku berdua dengan istriku ngekost di Wonodri Baru. Setahun kemudian lahir anakku, Rindang Pandu Buana. Anakku lahir 31 Agustus 1993. Sekarang sudah bekerja di perusahaan mebel.

Rindang Pandu Buana

Tahun kemarin (2019) sebelum lebaran aku diberi tahu anakku, Rindang Pandu Buana, via WA, bahwa lebaran tahun itu tidak bisa menemuiku, karena sedang ada masalah. Masalah apa aku tidak diberi tahu. Ia tidak terbuka.

Maka begitu lebaran tiba, aku sudah tidak mengharapkan kedatangannya. Usai menerima kedatangan beberapa tetangga yang datang ke rumah tahu-tahu aku mendapat WA dari anakku. Rindang menanyakan posisiku saat itu ada di mana. Kujawab aku masih di rumah. Ada apa le? Kalau bapak mau ke Puspowarno tak jemput. Bapak menunggu di rumah saja. Ternyata Rindang datang membawa mobil. Menjemput aku dan istriku untuk diajak ke rumah kakek dan neneknya. Di tengah perjalanan aku tanya, ada masalah apa, mengaku ada masalah dengan temannya.

Sampai di rumah bapak, adik-adikku sudah lebih dulu kumpul di sana. Tiba-tiba adik-adikku (Sunarto, Tejo dan Rina) menanyakan rencana pernikahan Rindang. Padahal jauh sebelumnya Rindang mengaku sudah putus dengan pacarnya. Ternyata tahun itu (2019) Rindang sudah punya pacar lagi. Tanggal 22 Desember 2019 siap menikah. Om-mu (Sunarto dan Tejo Muryanto) dan bulikmu (Rina Murwanti dan Subiarti) semua kau kabari, tapi Bapak kandungmu sendiri tidak. Bapak tidak boleh hadir di pernikahanmu tidak masalah. Sebab memang tidak sudi ketemu ibumu.

Tejo obral janji mau bantu tratag. Sok gaya. Dimintai pinjaman Rp. 150.000 saja tidak menjawab.

Kabar berikutnya, kau sudah putus lagi dengan pacarmu. Aku berpesan, jangan buru-buru menikah. Lebih baik membangun masa depanmu dulu. Kalau jadi orang sukses, jodoh akan datang sendiri.

Rindang dan pespanya di depan rumah kontrakannya






































Anakku (Rindang Pandu Buana) dan menantuku Dewi Wahyuningsih
















Aku sempat beli rumah di Beringin Asri. Di sana dipercaya menjadi Kepala Suku selama delapan tahun. Kemudian tersandung kasus surat kaleng. Kemudian kena PHK. Ditarik ke Koran Mimbar Demokrasi. Tapi tak lama kemudian mengundurkan diri karena dipaksa masuk pada hari Minggu. Aku mulai nganggur lagi.

Pagi aku jarang sarapan. Karena itu belum tiba waktu duhur sering perutku sudah ‘keroncongan’ lapar sekali. Sering pada saat kelaparan begini di dapur aku tidak menemukan makanan, kecuali hanya sega wadang (nasi sisa kemarin) yang sudah dingin. Lauk maupun sayur tidak tersedia. Ini susahnya jadi pengangguran. Untuk sepiring nasi saja tidak bisa mencari sendiri, karena tak pernah pegang uang. Kalau punya uang, di rumah tidak ada makanan bisa makan di luar. Aku menunggu istriku pulang membawakan makanan.

Tidak mampu beli komputer

Nasibku sebagai penulis memang kayak gini. Dulu sebelum booming komputer, wartawan dan penulis rata-rata menulisnya masih pakai mesin ketik. Hampir dipastikan, tiap penulis di rumahnya punya mesin ketik. Beruntung aku punya mesin ketik kuno yang masih bisa kupakai. Mesin ketik kuno ini tidak beli. Tapi pemberian bosnya bapakku. Aku pernah menulis cerpen menggunakan mesin ketik tua dan besar ini. Sampai aku menjadi wartawan freelance masih menggunakan mesin ketik jumbo ini.

Suatu saat keadaan memaksa aku harus mencari pekerjaan lain. Aku merantau ke Solo dua tahun dan ke Surabaya juga dua tahun.

Ketika kutinggal merantau di Surabaya, mesin ketik itu dijual orang-tuaku. Ketika aku pulang ke Semarang, aku nulis pakai mesin ketik pinjaman. Setelah bisa beli mesin ketik sendiri, malah hilang digasak maling waktu merantau di Surabaya. Kini kerja bertahun-tahun di depan komputer, sampai sekarang belum bisa beli komputer.

Setelah kurang lebih dua tahun bekerja di rumah Bambang Sadono, aku dipindah ke Penerbit Citra Almamater, kantornya Bambang Sadono yang ada di Kampung Ngaglik Lama. Kemudian aku menikah dengan Wijiyanti. Berdua tinggal di rumah kost di Wonodri Baru. Terus dua tahun menempati rumah Bambang Sadono di Perumahan Ketileng Indah. Kemudian pindah ke rumah baru di Perumahan Beringin Asri yang kubeli dengan kredit Rp. 50.000 per bulan.

Kadang-kadang aku iri dengan tetanggaku, namanya Eko. Ia senasib dengan aku. Sama-sama pengangguran. Sejelek-jeleknya aku, Eko lebih parah lagi. Selain pengangguran, ia suka menenggak minuman keras. Tiap punya uang selalu dihabiskan untuk membeli minuman keras. Diminum sampai teler. Ia bisa mendapatkan uang dari istrinya, namanya Ratna. Ratna sering memberi uang. Kalau Ratna tidak memberi uang, Eko akan meminta dengan paksa. Sungguh Ratna sangat penyabar. Bagaimanapun buruknya kelakuan/ perbuatan Eko, Ratna masih mengakui Eko sebagai suaminya. Ratna setiap hari masih setia menyiapkan makan untuk suaminya. Setahun minimal sekali dibelikan baju untuk dipakai di hari lebaran dan bepergian.

Aku juga pengangguran. Tapi aku tidak pemabuk. Aku malah rajin salat. Tapi istriku (Wijiyanti) sangat beda jauh bila dibandingkan dengan Ratna. Wijiyanti jarang-jarang memperhatikan aku, sampai aku kelaparan begini. Hanya gara-gara aku pengangguran. Banyak wanita yang tidak memahami, bahwa rezeki keluarga itu tidak selamanya mengalir lewat suami. Rezeki keluarga bisa datang lewat istri, anak atau orang tua.

 

Otw ke warnet

Aku kalau ngetik, merevisi naskah, ngeprint, scan gambar ke warnet di Jl. Anjasmara. Jaraknya dari rumah ke warnet relatif dekat. Sehingga aku lebih sering memilih jalan kaki. Memang kalau dirasakan capek. Belum lagi pandangan orang lain terhadap diriku. Mungkin orang lain melihat hidupku begitu susah, begitu nelangsa. Saat ini memang hidupku susah. Tapi tidak selamanya aku bawa uang pas-pasan. Kadang aku bawa uang cukup, bahkan lebih. Bisa buat bayar angkot dan makan siang di warung padang atau warung soto. Kalau perginya tidak tergesa-gesa dan badan sehat, aku lebih suka pergi ke warnet jalan kaki. Kenapa? Kalau harus naik angkot, untuk menghadang angkot di jalan raya harus jalan kaki dulu dari rumah. Turun dari angkot untuk menuju ke warnet harus jalan kaki lagi. Selain itu hp-ku yang jadul ini tidak bisa dipasang aplikasi ojek online. Sehingga aku lebih memilih jalan kaki. Sekalian olah raga. Aku butuh olah raga untuk menghindari timbulnya penyakit wasir/ ambeyen akibat kebanyakan duduk.

Ada kiat agar perjalanan ini tidak terasa melelahkan. Pertama, jalannya harus santai, tidak buru-buru, dan tidak perlu kemrungsung. Kedua, tiap melangkahkan kaki harus dinikmati betul. Lihat dan nikmati pemandangan di sekeliling sekalipun sudah sering dilihat. Ketiga, berhenti/ istirahat kalau capek. Insya Allah perjalanan ini menjadi terasa ringan dan tidak melelahkan.

Cuma kalau pergi ke warnet yang jauh dari rumah aku harus naik bus. Kalau warnet di Anjasmara penuh atau tutup, atau di Anjasmara sedang berlangsung pemadaman listrik, aku pergi ke cabangnya di Ngaliyan.

Media Elektrika

Tahun 2000 masih banyak yang belum punya hp. Sehingga usaha wartel (warung telekomunikasi) masih bisa berkembang di mana-mana. Aku salah satu pengguna telepon yang belum punya handphone (hp). Waktu itu aku sedang ada di Simpang Lima. Aku mampir ke wartel di Plaza Simpang Lima. Keluar dari wartel aku ketemu Ajang. Ajang dan Kartiko ternyata masih meneruskan usaha bosku dulu, Bambang Sadono, menerbitkan majalah Media Elektrika. Ajang dan Kartikop adalah temanku sekantor ketika kami masih sama-sama bekerja di Penerbit Citra Almamater. Aku ditawari untuk bergabung menjadi wartawannya. Kantornya ada di Perumahan Graha Mukti. Tawaran itu aku terima. Aku dibayar hanya Rp. 400.000 per bulan. Tapi aku diperbolehkan menerima amplop dari pejabat-pejabat PLN yang aku wawancarai.

Jarak dari rumah cukup jauh. Waktu itu aku masih tinggal di rumah sendiri, di Perumahan Beringin Asri. Bila berangkat ngantor, dari rumah aku naik ojek menuju jalan raya di Karanganyar. Bila uangku tidak cukup, harus jalan kaki sampai jalan raya. Di jalan raya aku naik angkot dua kali. Setelah itu disambung jalan kaki lagi baru sampai kantor.

Suatu hari printer kantor rusak membuat pekerjaanku terganggu, karena tiap selesai ngetik, ngeprintnya harus di rental komputer. Dari pada mondar-mandir dari kantor ke rental komputer kemudian ke kantor lagi, akhirnya aku ngetiknya sekalian di rental komputer. Sejak itu aku ngantornya di rental komputer Pleburan. Sebelum ada warnet di Pleburan banyak sekali rental komputer. Pulangnya malam. Dari Pleburan ke perempatan bangjo dekat Jl. Thamrin jalan kaki lagi karena tidak ada angkot. Sepanjang jalan aku selalu berdoa, “Ya Allah, mudah-mudahan anak-cucuku tidak ada yang mengalami seperti aku ini”. Di perempatan bangjo ini aku baru bisa mendapatkan angkot jurusan Kaliwungu. Tapi aku turun di Karanganyar. Kemudian dilanjut naik ojek ke rumah.

Setelah semua naskah jadi, saya kirim ke Ajang di Perumahan Pandana Merdeka. Pulangnya jalan kaki lagi dari Pandana ke Jrakah. Dari Jrakah naik angkot sampai Karanganyar. Dari Karanganyar naik ojek sampai rumah.

Perlakuan Ajang yang tidak adil, membuat aku pilih mengundurkan diri. Tapi aku diam-diam melakukan wawancara ke pejabat-pejabat PLN di kantor ranting untuk penerbitanku sendiri.

Suatu saat istriku (Wijiyanti) kehabisan uang. Wiji dengan seenaknya memaksa aku minta uang pada Azwar Lubis. Tentu saja aku menolak. “Memangnya Azwar punya hutang pada kita?” Jawabanku ini membuat Wiji marah-marah. Sebenarnya aku tahu maksudnya. Aku disuruh minta bayaran lagi. Tapi belum waktunya masak harus minta bayaran lagi. Apalagi naskah hasil wawancara kemarin belum selesai. Aku menyuruh Wiji untuk sabar menunggu naskahku selesai dulu. Setelah selesai, baru menyiapkan bahan untuk wawancara lagi. Setelah naskah selesai dan bahan untuk wawancara siap baru aku berani menelepon Azwar Lubis untuk ketemu wawancara lagi. Tapi memang tidak semudah itu untuk menulis hasil wawancara. Kalau tergesa-gesa hasilnya tidak baik. Malah bisa mengecewakan narasumber. Apalagi wawancaranya satu jam lebih. Kadang hampir dua jam. Tentu naskahnya panjang. Ia terus memaksa aku harus berangkat ke Jakarta menemui Azwar Lubis.

Ternyata begini jadinya setelah aku kerja. Padahal waktu aku nganggur, istriku apa-apa bisa sendiri. Dulu aku bisa cuek dengan apapun yang dihadapi istriku. Setelah aku kerja aku menjadi tidak tega melihat istri ditagih hutang depcolektor bank titil. Dengan terpaksa aku berangkat ke Jakarta. Seharusnya, seperti biasanya, sebelum berangkat aku nelepon Azwar dulu untuk kencan. Kali ini tidak aku lakukan, khawatir ditolak. Di tengah guyuran hujan dan petir yang menyambar-nyabar Bumi Beringin Asri, aku berteduh di emper rumah kosong di Kampung Gendruwo. Aku menangis di sana. Bagaimana tidak? Kebutuhan biologisku tidak pernah dilayani. Aku hanya disuruh cari uang, cari uang, dan cari uang. Seperti sapi perah. Hanya dimanfaatkan uangnya saja, orangnya tidak. Tidak lagi pernah dilayani sebagaimana suami-suami yang lain pada umumnya.

Jual rumah

Ketika anakku, Rindang Pandu Buana, lulus SMP, rumah terpaksa kujual untuk membiayai Rindang masuk ke SMK. Semula aku ingin memasukkannya ke SMK Negeri 4 Semarang. Ketika aku mendengar SMK Negeri 4 Kendal membangun gedung baru, ada perluasan sekolah, aku menjadi tertarik memilih memasukkan anakku ke SMK Negeri 4 Kendal. Di sana pasti membutuhkan siswa cukup banyak untuk mengisi kelas-kelas baru. Sedangkan di SMK Negeri 4 Semarang persaingannya cukup ketat. Melihat nilai ijasah SMP anakku yang pas-pasan, membuat aku sangsi, jangan-jangan tidak bisa lolos seleksi. Lebih besar kemungkinan untuk diterima, kalau mendaftar di SMK Negeri 4 Kendal. Maka aku daftarkan ke SMK Negeri 4 Kendal.

Dipersulit Bambang Sadono.

Diperas Supardi.

Dipermainkan janda

Merasa tidak dihargai dan diremehkan istri membuatku mencari pelarian pada wanita lain. Pilihanku jatuh pada janda dua anak, namanya Debora Indah Sulistyowati. Aku bisa kenal karena janda itu sering datang ke rumah kontrakanku. Ia menyambut baik perkenalanku. Bahkan aku sempat jalan-jalan berduaan di Pasar Johar di kotaku, Semarang. Tak kuduga cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku cuma diperas dan selanjutnya dikhianati.

Pagi itu takbir berkumandang di mana-mana. Suara petasan bersahut-sahutan kadang terdengar menggelegar memekakkan telinga. Banyak orang mempersiapkan diri untuk berangkat shalat Idul Fitri. Tapi aku tidak. Pagi-pagi aku sudah menunggu di depan rumah Indah. Ingin mengajak Indah pergi ke Puspowarno untuk kukenalkan pada orang tuaku. Ternyata Indah sudah lebih dulu mudik ke Surabaya. Akhirnya aku ke Puspowarno sendirian. Aku menangis di depan kedua orang tuaku.

Kerja di Jembawan

Aku ingin kerja di sekolahan sekaligus numpang tidur di sana. Tapi tidak diizinkan. Aku disuruh melamar ke PT Widha. Diterima. Aku bekerja di Jembawan menjadi office boy.

Indah masih membuntutiku. Kami sempat berpapasan di jalan. Tapi aku tidak tahu dan Indah tidak menyapa dan tidak berkata apapun. Cuma membuntuti. Barangkali cuma sekedar ingin tahu keberadaan setelah habis-habisan diperas olehnya.

Ke Jakarta

Suatu hari aku baca koran bekas. Di sana aku menemukan berita Ir. Azwar Lubis menjabat Manajer PLN Distribusi Jakarta dan Tangerang. Berita ini, meski kutemukan di koran bekas, bagiku menjadi berita yang sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan. Sebab kabar terakhir yang aku tahu, setelah bertugas di PLN Pekalongan Azwar Lubis dimutasi ke Bali.

Aku sempat beberapa kali mewawancarai Azwar di kantornya (PLN Pekalongan) sebelum dimutasi ke pulau Dewata, Bali. Waktu itu aku masih bekerja di majalah milik PLN, majalah Media Elektrika. Aku masih ingat, sebelum Azwar Lubis dimutasi ke Pulau Bali, aku pernah menawarkan diri untuk menulis biografinya. Tapi belum sempat aku mewawancarainya lagi untuk penulisan buku biografinya, ia sudah harus pindah ke pulau Dewata. Tak mungkin aku memburunya ke sana. Akan menghabiskan banyak biaya. Sejak itu kami tak lagi pernah ketemu. Keinginan untuk menulis biografinya harus kulupakan. Tak diduga lewat koran bekas yang kubaca itu aku mendapat kabar dirinya sudah ada di Jakarta.

Buku karyaku, biografi Ir. Azwar Lubis "Merestas Lintas Menggapai Asa"

















Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Aku coba telepon ke kantornya di Jakarta. Waktu itu aku neleponnya lewat wartel, karena aku belum punya handphone. Ternyata benar, Azwar bertugas di sana. Lalu aku mencoba untuk mengingatkan, bahwa waktu ia masih bertugas di Pekalongan, aku pernah nawari untuk menulis biografinya. Waktu itu ia menerima tawaranku. Kemudian saya tanyakan, jadi nggak, diteruskan nggak rencana itu. Alhamdulillah ia masih ingat dengan rencana itu. Ia tetap bersedia untuk kutulis biografinya. Selanjutnya kami membuat kencan. Akhirnya aku bisa datang ke kantornya di Jakarta. Inilah aku pertama kali datang ke Jakarta, sekaligus pertemuanku yang pertama dengan Azwar Lubis setelah beberapa tahun berpisah. Dari sini nasibku mulai berubah. Aku mulai mendapat penghasilan tiap bulan. Selama proses penulisan buku, sebulan sekali aku datang ke Jakarta. Aku mendapat uang transport dan honorarium penulisan yang cukup buat kebutuhan tiap bulannya. Aku sudah tidak pernah kelaparan lagi. Azwar Lubis orangnya sangat sibuk. Tidak setiap saat bisa ditemui. Aku diberi kesempatan mewawancarai hanya sebulan sekali. Itupun harus telepon dulu sebelum berangkat ke Jakarta.

Jual rumah

Aku memasukkan Rindang ke SMK Negeri 4 Kendal. Pindah ke rumah kontrakan tabiat istriku (waktu itu), Wijiyanti, semakin memuakkan. Aku berniat meninggalkannya. Lantas aku tertarik dengan seroang janda yang sering datang ke rumah.

Perkenalanku dengan Debora Indah Sulityawarni membuatku seperti orang gila. Karena aku menjadi korban penipuan dan pemerasan janda dua anak yang licik itu.

Di pagi subuh waktu menuju masjid di Perum Pondok Indo Permai aku melihat bola berpijar melintas tak jauh di atasku.

Pindah ke Jembawan

Doaku terkabul. Allah masih melindungi aku. Sebelum kontrakanku habis, aku sudah mendapatkan tempat tinggal baru di Jl. Jembawan. Di sini aku tinggal sekaligus bekerja di PT Widha. Perusahaan yang menjadi konsultan pembangunan jembatan layang (play over) Kalibanteng. Aku dikontrak selama dua tahun. Tapi sebelum kontrak habis aku sudah mengundurkan diri.

Citra Mandiri Utama

Keluar dari PT Widha aku pulang ke orang tuaku di Puspowarno. Tidurku di ruang tamu. Karena sudah tidak ada kamar lagi buat aku. Aku sempat nganggur selama beberapa minggu. Tanpa ada pemasukan, tapi pengeluaran terus mengalir. Terutama untuk beli pulsa dan nyuci baju, itu pengeluaran rutin yang tidak sedikit. Nyuci baju tidak mungkin dilakukan di rumah orang tuaku, karena tidak punya tempat buat jemur pakaianku. Terpaksa pakaianku yang kotor kubawa ke laundry.

Kalau bulan-bulan sebelumnya aku masih sempat  memberi uang buat belanja emak, saat menganggur itu malah emak yang menanggung makanku tiap hari. Padahal emakku tidak punya penghasilan. Bapak sudah lama tidak bekerja lagi. Orang tuaku bisa menyiapkan makan tiap hari berkat bantuan adikku, Rina Murwanti, yang memberi uang belanja tiap hari.

Tahu-tahu uangku hampir habis. Aku tidak tahu lagi harus cari kerja di mana. Yang ada mungkin pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan ijasah. Tapi aku tidak bisa kerja kasar. Phisikku tidak kuat. Tapi kalau cuma diam saja di rumah, uangku bisa habis, tidak ada lagi buat loundry dan beli pulsa, dan makin memberatkan emak. Mumpung masih ada pulsa, iseng-iseng aku menghubungi temanku, namanya Tohar Tokasapu, siapa tahu bisa membantu. Aku dan Tohar pernah satu kantor waktu bekerja di Citra Almamater. Tohar menyarankan aku supaya aku menghubungi Didik Muhtadi. Didik juga temanku di Citra Almamater. Aku diterima bekerja di Penerbit Citra Mandiri Utama (CMU) milik Didik Muhtadi. Gajiku pertama kali hanya Rp. 600.000. Tugasku mewawancarai tokoh-tokoh masyarakat. Hasil wawancara saya buat profil. Terus disusun menjadi buku. Tugas mewawancarai tokoh bagiku mudah/ gampang. Yang sulit itu bagaimana merayu narasumber yang diwawancarai supaya mau pasang iklan dibuku yang ingin kuterbitkan. Kedua, yang tidak mudah adalah menyusun naskahnya. Harus konsentrasi betul. Dan itu tidak bisa selesai dalam sehari dua hari. Ketika otakku sedang tidak mud, tidak konsen menghadapi naskah, aku keluar ke warung soto di sebelah kantor untuk beli secangkir kopi hitam. Sambil bekerja di depan komputer, sebentar-sebentar kopi itu kusruput. Tak lama kemudian pekerjaan pun kelar.















 









Tiap malam aku tidur di kantor. Hanya hari Sabtu aku pulang ke rumah orang tuaku di Puspowarno, tidur di sana. Pulangnya aku naik bus dari Jl. S. Parman (Selatan RSUP Dr. Kariadi) turun di Jl. Pamularsih (depan Alfamart). Terus jalan kaki sebentar ke arah utara sudah sampai di rumah orang tuaku di samping makam Salaman Mloyo. Seperti biasa di sana tidurku di kursi ruang tamu. Tiap Senin pagi aku berangkat ke kantor lagi. Selama bekerja di CV Citra Mandiri Utama aku sempat menulis dua buah buku : Inspirator Sukses Jawa Tengah 2017 dan Walikota Hendi di Mata Warga Semarang.

Ketidak-nyamanan mulai muncul sejak Siswanto (kakaknya bosku, Didik Muhtadi) mulai membuat ulah. Manajer SDM yang merangkap sopir perusahaan itu suka tidur di dekat toilet. Seperti biasa, sebelum masuk waktu Subuh aku sudah bangun, terus ke toilet untuk wudlu. Tapi Siswanto masih tidur pulas. Ia terbangun tiap aku wudlu. Ia bukannya senang karena ada teman (aku) yang tanpa sengaja membangunkannya. Tapi malah marah-marah, karena tidurnya terganggu. Maklum, meski agamanya Islam selama aku di Ngaglik ia tak pernah shalat Subuh. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di rumah orang tuaku saja. Sejak kejadian itu aku tidak mau tidur di kantor lagi. Tiap sore jam 16.00 aku pulang ke rumah orang tuaku di Puspowarno. Teman-temanku jemaah masjid Al-Ikhlas menyayangkan kejadian itu. Ada yang nawari untuk tidur di masjid saja. Tapi aku tidak mau, apalagi masjidnya tidak ada WC-nya.

Ketemu jodoh

Siang itu seperti biasa bila kurang mood waktu menulis atau mengedit naskah, aku keluar ruangan meninggalkan kantor untuk beli segelas kopi di warung sebelah. Seperti biasa pak Parman yang membuatkan kopinya. Bekerja sebagai penulis naskah sambil sesekali menyeruput segelas kopi hitam terasa nikmat. Sebab akan membuat aku mudah konsentrasi. Saat itu moodku jalan. Menulis seperti mengalirnya air tanpa hambatan. Ketika segelas kopi hitam sudah ada di tanganku, untuk kuseruput di depan komputer mbah Joko yang biasanya sibuk memasak di warung itu memanggil dan menghampiriku. Aku disuruh duduk sebentar. Ternyata mbah Joko ingin menjodohkan aku dengan saudaranya namanya Siti Noordjanah (istriku sekarang). Kalau mau aku akan diperkenalkan. Spontan saja aku jawab, “Mau”. Soal nanti apakah ada kecocokan apa tidak, urusan belakang. Yang penting kenalan dulu. Setelah saling mengenal baru nanti bisa memutuskan, apa perlu dilanjutkan apa tidak. Setelah aku bersedia diperkenalkan dengan Noordjanah mbah Joko akan mengundang saudaranya itu ke warungnya.

“Besok orangnya tak suruh ke sini. Kalau sudah sampai sini tak kasih tahu,” kata mbah Joko.

Aku kemudian kembali ke kantor meneruskan pekerjaanku sambil membawa segelas kopi hitam.

Selang dua minggu, di suatu siang (hari dan tanggalnya aku lupa), teman sekantorku memberitahu aku dipanggil pak Parman di warung soto sebelah. Kontan aku ke warung pak Parman. Sampai di sana aku melihat ada gadis semok duduk di warung. “Apa ini yang namanya Noordjanah yang ingin diperkenalkan padaku” pikirku. Ternyata benar dugaanku. Mbah Joko memperkenalkan aku dengan gadis itu. Mbah Joko mau memperkenalkan aku dengan gadis itu karena tahu aku sudah pisah dengan istriku (Wijiyanti).

Noordjanah sempat mikir setelah kuberi tahu, bahwa gajiku cuma Rp. 1 juta sebulan. “Apa cukup ya mas?” Setelah kuyakinkan pasti cukup, akhirnya aku bisa mengambil hatinya. Hampir tiap malam aku atau dia menelepon. Akhirnya aku bisa mengajaknya jalan-jalan di taman dan nonton bioskop di Mall Citraland Simpang Lima.

Setelah Noordjanah siap kunikahi aku mulai mendaftarkan gugatan cerai pada mantan istriku di Pengadilan Agama Semarang.

Surat undangan

Sebenarnya aku menginginkan pernikahanku dilangsungkan secara sederhana saja. Tidak perlu ada resepsi. Aku merasa tidak pantas duduk di pelaminan mengingat aku sudah tua. Cukup akad nikah (ijab) di depan penghulu saja. Tidak perlu ada resepsi. Tidak perlu mengundang orang banyak. Cukup tetangga satu RT dan temanku sekantor. Itu bagiku sudah cukup. Tapi calon istriku (Siti Noordjanah) menghendaki harus ada resepsi. Soalnya, ia baru kali ini menikah. Akhirnya aku diharuskan membuat surat undangan. Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Akad nikah Jumat pagi 10 Maret 2016. Resepsinya siang setelah shalat Jumat. Kemudian timbul masalah. Pernikahan tinggal seminggu lagi tapi akte cerai belum jelas kapan jadinya. Membuat aku tak berani menyebar undangan banyak-banyak. Yang kukasih undangan hanya teman sekantor dan tetangga Puspowarno. Teman-teman dekat aku kabari lewat WA. Setumpuk undangan yang belum beredar sebagian kubuang ke sungai banger di perbatasan Gisik Drono dan Puspowarno, sebagian yang lain kubuang di depan SMA Negeri 6 Semarang, dan kuceburkan di sungai Banjir Kanal Barat.

Aku rajin menelepon Pengadilan Agama untuk menanyakan kapan akta cerai-ku bisa kuambil. Akhirnya aku mendapat surat dari Pengadilan Agama untuk mengambil akta cerai.

Undangan pernikahan














Pernikahan kedua

Jum’at pagi, 18 Maret 2016 aku melangsungkan akad nikah di hadapan penghulu di Jl. Madukoro Semarang. Hadir saudara-saudaraku dan sebagian tetangga di Puspowarno. Mereka tidak bisa mengikuti sampai selesai. Menjelang Jum’atan mereka pulang.

Resepsi pernikahannya berlangsung setelah salat Jum’at. Hadir teman-teman kantor Citra Mandiri Utama dan sebagian tetangga dari Puspowarno.














Setelah menikah dengan Siti Noordjanah, aku tinggal di rumah mertuaku (Hj. Noor Salamah). Bapak mertua sudah lama meninggal jauh sebelum aku menikahi anaknya (Siti Noordjanah). Selain kami bertiga (aku, istri dan mertua) di rumah mertua ada dua kakak ipar yaitu Saud dan Mustofa. Saud sudah beristri. Nama istrinya Juwarsih. Pasangan ini (Saud dan Juwarsih) punya dua orang anak, namanya Bagus dan Nabil. Sehingga kami semua di rumah ini ada tujuh orang. Kumpul jadi satu tiap hari.

Juwarsih dan Nabil tidurnya di kamar belakang. Sedangkan Saud dan Bagus tidur di lantai ruang tamu. Ibu mertua tidurnya sekamar dengan Mustofa di kamar depan. Meskipun orangnya tidak normal (mengalami keterbelakangan mental sejak kecil) pernah berumah tanggal juga. Tapi perkawinannya tidak berlangsung lama. Istrinya kabur ke Jakarta tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Sehingga sampai sekarang sendirian lagi. Sedangkan aku dan istriku tidurnya di kamar tengah.

Salah seorang kakak ipar (Mustofa) punya cacat mental sejak kecil.

Pernikahanku dihadiri teman-teman sekantor





 






Mertuaku punya tiga rumah yang letaknya berdampingan. Kami tujuh orang menempati rumah paling timur. Rumah paling barat ditempati Kustinah (anaknya mertuaku) beserta keluarganya. Rumah yang di tengah ditempati Yasin (anak mertuaku juga) beserta keluarganya.

Kurang lebih dua tahun setelah aku menikah, ada pembagian waris. Rumah yang kami tempati (rumah sebelah timur) dijual. Hasilnya dibagikan ke anak-anaknya mertuaku, kecuali istriku dan Mustofa. Dua orang yang kusebutkan terakhir tidak mendapatkan bagian hasil jual rumah, karena mendapat jatah rumah yang ada di tengah. Rumah yang kami tempati dijual. Dibeli seorang pengusaha bengkel bubut, namanya Harto. Rumah itu kemudian dibongkar dan oleh Harto dibangun lagi menjadi bengkel bubut. Sa’ud dan keluarganya setelah menerima uang warisan pindah ke Kabupaten Kendal. Yasin setelah menerima uang warisan pindah ke Perumahan Jatisari, Mijen dengan membawa seluruh keluarganya. Kami berempat (ibu mertua, aku, Siti Noordjanah, dan Mustofa) pindah ke rumah yang sebelumnya ditempati Yasin dan keluarganya.

Kedatangan saudara

Setiap musim liburan sekolah tiba, keponakan istriku yang di Kendal (Bagus dan Nabil) datang. Kadang bersama bapaknya (Sa’ud) dan/ atau ibunya (Juwarsih). Suasana rumah yang semula tenang, berubah menjadi ramai dan berisik. Aku menjadi kurang nyaman. Pekerjaanku menulis menjadi terganggu, karena hiruk-pikuk dan kegaduhan mereka. Apalagi kalau ada yang menyalakan televisi keras-keras. Aku tambah tersiksa bila mereka datang menginap sampai berhari-hari menghabiskan waktu liburannya.

Sebab pekerjaanku membutuh konsentrasi tinggi dan suasana tenang. Aku sulit konsentrasi bila mereka tiduran di kasur yang ada di kamarku sambil main hp. Kamar tidurku yang sekaligus menjadi ruang kerjaku menjadi berantakan disebabkan ulah mereka yang belum punya perasaan, karena masih anak-anak.

Untuk duduk di ruang tamu saja, rasanya susah. Sebab kursi satu-satunya di ruang tamu sudah mereka duduki. Ruang tamu yang sempit itu akan terasa makin sumpek kalau kedua orang tuanya ikut datang. Kalau sudah kesal dan stres, inginnya mau istirahat tidur, tapi tidak bisa, karena kasurku sudah lebih dulu dipakai tidur mereka.

Rabu, 1 Mei 2019. Aku beruntung bisa pergi ke warnet di Ngaliyan. Istriku sangat baik, tahu aku cuma membawa uang Rp. 50.000, istriku nambahi uang transpot Rp. 15.000. Coba seandainya aku tidak bisa bepergian, bisa pusing kepala ini. Sebab hari itu Zaenal Abidin dan keluarganya, termasuk cucunya, datang ke rumah. Suasana rumah pasti jadi ramai. Ini yang aku tidak suka. Aku lebih suka rumah itu dalam keadaan sepi tenang, tidak gaduh. Sehingga yang lagi kerja atau lagi tidur tidak terganggu.

Tapi seandainya aku saat itu ada di rumah, aku harus kuat. Tidak boleh terus-menerus mengeluh. Toh keadaan tidak nyaman ini tidak setiap hari terjadi. Percuma mengeluh. Mengeluh kayak apapun tidak akan bisa menyelesaikan masalah, tidak akan merubah keadaan. Zaenal Abidin dan Tri, Sa’ud dan Juwarsih datang ke rumah ini untuk menemui ibunya. Sedangkan Erma, Bagus dan Nabil untuk menemui neneknya. Jadi mereka punya hak untuk datang ke rumah ini.

Ada dua hal yang membuatku bisa bersyukur, meskipun merasakan kurang nyaman tinggal di rumah ini. Pertama, kekurang-nyamanan itu berlangsungnya tidak terlalu lama, hanya terjadi waktu-waktu tertentu saja. Yang repot memang kedatangan mereka sering mendadak, tidak ada kabar sebelumnya. Kalau tahu mereka akan datang, malamnya aku tidak akan lembur. Sehingga pas mereka datang aku tidak ngantuk.

Kedua, dibandingkan tidur di rumah orang tua sendiri, masih enak di sini. Di rumah orang tuaku aku tidurnya di ruang tamu, karena sudah tidak ada kamar buat aku. Selain itu aku pernah tidur di kantor. Tidur di sana tidak nyaman, karena sulit untuk bisa shalat tahajut. Selain itu malamnya tidak bisa tidur dengan nyaman. Sebab sering harus jaga pintu. Maka meski ada kekurang-nyamanan masih enak tinggal ikut mertua, aku harus banyak-banyak bersyukur. Orang lain yang tidak punya rumah, banyak yang harus tinggal di rumah kontrakan. Aku pernah merasakan bagaimana susahnya/ mumetnya kalau gaji pas-pasan, tinggalnya di rumah kontrakan. Sedangkan aku tidak perlu ngontrak rumah, karena bisa ikut tinggal serumah dengan mertua.

Problem kamar mandi

Salah satu persoalan yang pernah kuhadapi di keluargaku adalah soal kamar mandi dan WC (water closet). Di rumah mertuaku tempat mandi dan WC jadi satu di kamar kecil. Jadi kami mandi, buang air kecil maupun be’ol di situ semua. Idealnya sebuah rumah harus memiliki satu kamar mandi dan satu WC yang terpisah. Bukan jadi satu. Lebih nyaman lagi kalau kamar mandi dan WC lebih dari satu. Sehingga yang mau mandi maupun be’ol tidak harus antri. Sebab orang kebelet mandi masih bisa ditahan lama. Tapi kebelet be’ol sulit ditahan. Akan jadi masalah kalau mau be’ol, tempat yang untuk be’ol sudah lebih dulu dipakai orang lain untuk hal yang sama atau mandi. Yang sudah kebelet be’ol menggedor-gedor pintu. Sehingga tidak membuat nyaman yang ada di dalam.

Ketika aku menikah dengan Siti Noordjanah bapak mertua (H. Muhammad Asyik) sudah lama meninggal. Ibu mertua (Hj. Nur Salamah), orangnya tidak sabaran. Beliau tidak mau menunggu. Begitu berasa mau pipis atau be’ol langsung saja ke kamar mandi tak perduli di dalam masih ada orangnya yang sedang mandi atau be’ol. Pernah, waktu aku masih enak-enaknya mandi, tahu-tahu ibu mertuaku sudah pipis di depan kamar mandi. Inilah yang membuatku tak bisa nyaman bila sedang ada di kamar mandi atau WC.

Akut tidur malam biasanya pukul 00.00. Pukul 03.00 sudah bangun untuk salat tahajut. Begitu bunyi alarm, aku langsung bangun. Setelah alarm kumatikan, biasanya ibu mertua panggil aku minta diambilkan minum. Semula aku mengira ibu mertua terbangun karena mendengar bunyi arlm. Ternyata tidak. Pernah aku beberapa kali bangun sebelum alarm menyalak. Aku langsung ke kamar kecil untuk wudhu. Saat melewati kamar mertuaku yang pintunya selalu terbuka, mertuaku memanggilku minta diambilkan minum. Baru aku tahu tiap malam ibu mertuaku jarang tidur.

Selesai shalat tahajut aku lanjutkan wiridan sambil menunggu azan Subuh. Jadi tiap hari aku tidur malam paling cuma tiga jam. Sehabis shalat Subuh kadang aku masih sempat baca Alquran sebelum melepas baju shalatku.

Tiap bangun tidur, inginnya terus mandi. Tapi begitu masuk kamar mandi, baru saja ngising (be’ol), mertuaku tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar mandi. Kalau sampai kelamaan menunggu aku, mertuaku langsung pipis di depan pintu kamar mandi. Aku dibilang mandiku kelamaanlah, menghabiskan airlah. Sejak kejadian itu tiap mau mandi aku menunggu ibu mertuaku bangun dan ke kamar mandir dulu. Setelah ibu mertua keluar dari kamar mandi, baru aku bisa be’ol dan mandi dengan tenang.

Bulan Mei 2019 kemarin kami serumah puasa Ramadhan semua, termasuk ibu mertua yang sudah lanjut usia. Meski usianya sudah 80 tahun lebih dan tubuhnya sudah lemah renta, beliau tetap bersikeras ikut puasa.

Pagi itu sekitar pukul 03.00, masih di bulan Ramadhan (hari dan tanggalnya aku lupa), seperti biasa istriku menyiapkan makanan buat makan sahur. Tiba-tiba terdengar suara gedobrak dari dalam kamar ibu mertua. Kemudian terdengar suara rintihan kakak iparku (Mustofa) yang tidur sekamar dengan ibu mertuaku. Aku agak kesulitan memberikan pertolongan, karena pintu kamar terkunci dari dalam. Ternyata ibu mertuaku kejatuhan almari pakaian. Sejak itu ia sudah tidak bisa ke kamar mandi. Pipis dan be’olnya di kasur. Kami bertiga (aku, istri dan kakak ipar) sudah bisa nyaman bila sedang berada di kamar mandi.

Ibu mertua meninggal

Jum’at malam Sabtu, 6 September 2019 ibu mertua dibawa ke IGD RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sabtu malam, 7 September 2019 ibu mertua meninggal. Dimakamkan hari Minggu 8 September 2019.

Perjuangan istri

Sebelum menikah, dulu aku bercita-cita ingin membelikan kalung dan gelang emas buat istriku (Siti Noordjanah). Tapi sebelum cita-cita itu terwujud, aku malah mengundurkan diri dari perusahaan. Aku memilih menekuni hobiku menulis. Menulis buku dan cerpen. Tapi sampai sekarang buku yang aku tulis, Kisah Inspiratif Orang Indonesia, belum bisa terbit. Cerpen yang aku tulis pun belum ada yang dimuat di koran. Sehingga belum ada yang menghasilkan uang. Istriku cari uang sendiri, menanggung makan kami bertiga (aku, ibu mertua dan kakak ipar yang cacat mental sejak lahir) dan seluruh kebutuhan rumah tangga kami. 

Siti Noordjanah

















Kebetulan sejak sebelum menikah istriku sudah jualan es juice dan es campur di rumah. Warung kecil di rumah inilah yang menjadi sumber penghasilan istriku tiap hari.

Hatiku terasa teriris-iris, tersayat-sayat, setiap melihat istriku kecapekan. Sudah seharusnya ia istirahat. Tapi ia tidak mau istirahat. Pagi ia tetap berangkat ke Pasar Karangayu untuk kulakan, belanja untuk kebutuhan warungnya dan kebutuhan kami serumah. Sampai di rumah terus memasak untuk makan orang serumah. Selesai memasak istriku mulai jualan di warungnya sampai sore. Begitu rutinitas tiap harinya.

Kadang-kadang penyakit migren (sakit kepala sebelah) kambuh. Selain itu tulang kakinya, pundak dan di dekat payudaranya kadang sakit. Mudah-mudahan tidak ada penyakit kanker seperti aku. Meskipun tidak ditemukan benjolan di payudaranya, aku sudah sering menyarankan untuk periksa ke dokter sebelum penyakitnya tambah parah. Aku khawatir itu kanker yang bisa menjalar ke mana-mana. Tapi istriku tidak mau. Mungkin yang dikhawatirkan, bila sampai harus rawat inap di rumah sakit terus siapa yang akan menggantikan merawat ibunya di rumah siapa? Saat itu ibunya masih hidup. Sekarang ibunya sudah meninggal pun istriku  tetap tidak mau periksa ke dokter. Mungkin yang dipikirkan, kalau sampai harus rawat inap, otomatis ia tidak bisa jualan lagi, warungnya harus tutup, terus kami sekeluarga makannya bagaimana?

Tidak menafkahi

Sejak mengundurkan diri dari CV Citra Mandiri Utama sampai sekarang belum bisa menafkahi istriku. Kondisi ini teramat berat ketika ibu mertua (Hj. Nur Salamah) masih hidup. Beliau makannya sedikit. Tapi biaya perawatannya yangtidak sedikit. Selain itu ada kakak ipar yang mengalami keterbelakangan mental sejak kecil. Yang menjadi tulang punggung keluarga justru istriku. Tapi aku menolak kalau dikatakan tidak bertanggung-jawab. Menurutku, rezeki itu dari Allah. Bisa datang lewat aku, istriku, atau siapa saja yang dikehendaki Allah. Kebetulan saat ini rezeki yang berupa makan sehari-hari dan lain-lain datangnya baru lewat istriku. Entah besok, lusa, dan yang akan datang. Sekarang beban istriku agak berkurang setelah ibu mertuaku meninggal.

Untuk masa depanku dan keluarga aku tengah berjuang untuk bisa menerbitkan bukuku, buku “Kisah Inspiratif Ornag Indonesia”. Harapanku dengan menerbitkan buku ini aku akan bisa beli komputer, hp baru dan kendaraan. Dengan perlengkapan baru ini aku akan bisa lebih mudah cari uang.

Ruang kerja

Inilah ruang kerjaku. Ruang kerja di rumah peninggalan mertuaku. Berdinding triplek, beratap asbes. Kalau siang di musim kemarau teramat pamas. Apalagi bila sore atau malamnya akan turun hujan, dipastikan siang sebelumnya panasnya menyengat. Kipas angin kalau baru berupar, malah ikut menambahi hawa panas. Di samping rumah ada bengkel bubut yang bising dan menimbulkan polusi udara. Di depan ruang kerjaku ada warung jus milik istriku (Siti Noordjanah) yang setiap saat tabung blendernya mengeluarkan suara gemuruh. Semakin lengkaplah kebisingan itu. Anak-anak kecil yang membeli es kadang tiba-tiba nyelonong masuk kamarku membuat konsentrasiku saat bekerja buyar.

Bagi yang mengenal aku cuma lewat facebook atau hanya membaca tulisan-tulisanku di blog pribadiku, belum pernah melihat kehidupan keseharianku dari dekat, ada yang mengira hidupku sudah berkecukupan atau mengira aku sudah jadi penulis yang sukses dengan penghasilan yang gede. Buktinya ada saja orang yang menelepon atau kirim pesan inbox yang minta bantuan dana. Padahal kenyataannya, hidupku serba kekurangan. Kurang fasilitas dan kekurangan harta alias miskin amat. Komputer maupun laptok saja belum punya, padahal profesiku sebagai penulis. Ke mana-mana sering jalan kaki dan naik angkot, karena belum punya sepeda motor apalagi mobil. Orang mengira aku yang punya perusahaan penerbit Rindang Pustaka punya duit. Aku punya staf dan karyawan. Semua bekerja di depan komputer di ruangan yang penuh dengan buku-buku dan bacaan yang lain. Itu sebabnya aku pernah beberapa kali ditelepon orang yang minta bantuan.

Penerbit Rindang Pustaka belum punya karyawan seorang pun. Semua pekerjaan aku kerjakan sendiri. Komputer dan laptop sama sekali belum ada. Pengetikan, revisi naskah, print, scan gambar, kirim email, semua aku kerjakan di warnet.

Aku belum punya tempat usaha yang layak. Aku bekerja di ruangan yang sempit. Kok bisa begitu? Karena aku belum punya rumah sendiri. Aku tinggal di rumah mertua. Rumahnya tidak terlalu besar. Selain ruang tamu yang memanjang ada dua kamar tidur. Salah satunya, kamar belakang ditempati Mustofa (kakak iparku). Sedang kamar depan ditempati aku dan istri. Tidak ada kamar lain. Sehingga aku memilih bekerja di kamar tidur. Tidak mungkin aku bekerja di ruang tamu, meskipun aku bisa menempatkan meja kerjaku di sana. Bekerja di kamar tidur saja kadang ada yang mengganggu, apalagi di ruang tamu.

Kamar tidur yang sempit membuat peralatan/ dokumenku sering hilang/ketlisut. Sebenarnya tidak hilang. Cuma karena semua barang-barang itu harus ditumpuk di satu meja kecil, karena tidak punya rak buku, akhirnya sering kesulitan mencari barang (dokumen/ naskah atau alat tulis) yang kubutuhkan. Padahal meja kecilku itu ya meja kerja ya sekaligus untuk menyimpan dokumen-dokumen penting.

Terpaksa ngemis

Untuk kebutuhanku ngetik naskah apapun, aku sering minta uang pada teman-temanku untuk biaya ngetik di warnet, karena sampai detik ini aku belum punya komputer atau laptop sendiri. Aku biasanya minta Rp. 200 ribu atau semampu seikhlas teman-temanku yang penting bisa kuambil lewat ATM.

Berganti-ganti aku minta mereka. Misalnya aku hari ini terima bantuan dari Eko Prihartono Rp. 200.000, aku gunakan uang itu untuk ngetik di warnet, foto copy naskah, beli pulsa, beli batu alkalin untuk tape recorder (alat untuk merekam wawancara), transpot dan lain-lain. Kalau uang itu sudah habis, aku ganti minta bantuan uang pada teman yang lain. Begitu seterusnya.

Sudah beberapa kali juga aku minta bantuan pada anakku, Rindang Pandu Buana. Terakhir aku menghubungi dia (Senin, 14 April 2019) mendapat jawaban, bahwa untuk tahun-tahun ini belum bisa bantu aku lagi. Rindang masih butuh dana banyak. Tapi dia tidak menyebutkan dana banyak yang ia butuhkan itu untuk apa. Ia hanya mengatakan, kalau ndilalah dapat rezeki banyak ia akan langsung transfer.

Setelah uang bantuan teman maupun anak habis untuk kebutuhanku ngetik dan internetan selama beberapa hari di warnet, aku mulai minta lagi. Teman-teman yang pernah/ sering kirim uang ke rekeningku antara lain : Eko Prihartono, Tutik Wiratni, Sunaryo, Iskandar Zurkarnain, Jakyuri, dan lain-lain.

Teman fb-ku Maming Hermawan menulis status di fb begini :

Mohon sedulur semua jika ada yang telepon, WA atau inbox mengatasnamakan nama saya foto-foto saya abaikan dan blokir jangan percaya jika berkaitan dengan pinjam-meminjam, sudah ada korban kerabat tertipu pihak yang tidak bertanggung jawab, jumlahnya lumayan banyak, saya tidak pernah meminta, meminjam ataupun berhutang kapada siapapun.

Sudah kami akan urus kepada pihak kepolisian agar tidak semakin melebar dan segera ditangkap. Mohon sedulur jika ada pihak-pihak yang dengan sengaja memakai nama saya di-creen shoot dan kirim ke inbox saya akun ini untuk tambahan bukti kepada pihak berwajib.

Akun saya cuma satu ini tidak ada akun yang lain.

Terima kasih.

 

Griya Inspirasi

Aku punya impian bisa beli tanah yang agak luas. Pertama, kalau di tanah itu belum ada sumur atau ait PDAM aku akan buat sumur untuk kebutuhan air sehari-hari. Kalau sudah ada sumur atau air PDAM yang mengalir ketika tiba waktunya membangun rumah tidak sampai kesulitan air. Kedua, membuat pagar tembok sekeliling tanah dan pagar halaman depan yang kokoh sehingga tidak semua orang bisa masuk. Ketiga, membangun kamar mandi dua dan WC di lahan paling belakang. Kalau bisa kamar mandi dan WC ada dua supaya tidak ada yang berebutan.

Kalau fasilitas ini sudah ada, sewaktu-kawaktu bangun rumah akan lebih mudah. Tidak perlu minta air pada tetangga. Tukang dan kenek tidak perlu meninggalkan pekerjaannya lama-lama hanya untuk be’ol maupun buang air kecil.

Di tengah-tengah lahan akan kubangun rumah kecil dua lantai. Sengaja aku bangun rumah di tengah lahan, supaya di depan, samping kanan dan kiri, dan belakang ada lahan kosong untuk ventilasi. Tapi itu tidak buru-buru. Yang penting sudah punya tanah resmi bersertifikat Hak Milik (HM). Untuk sementara masih bisa tinggal di rumah mertua.

Di sana aku bekerja. Di sana pula aku bebas memajang karya-karya kebanggaanku. Rumah tersebut dilengkapi dengan (1) ruang tamu sekaligus ruang pamer untuk memajang karya-karyaku, (2) ruang kerja yang luas, (3) kamar tidur dengan toilet di dalam dan (4) dapur. Di sana pula harapanku tiap pagi bisa lebih nikmat dalam menunaikan salat dhuha. Rumahku akan kujadikan rumah ibadah, karena semua aktifitasku akan kuniati dengan niat ibadah. Aku nggak mau lama-lama di rumah mertua. Aku ingin bebas berkarya, bebas tidur jam berapa saja, bebas mandi, dan bebas apa saja.

Selama ini aku merasa terganggu dengan kondisi di rumah yang kurang nyaman untuk salat dan bekerja. Shalatku sering terganggu, bekerja tidak tenang, bahkan Istirahatku pun sering terganggu. Rumah ini terlalu berisik dan banyak orang dan anak-anak lalu lalang bikin ribut. Kalau sudah punya rumah sendiri shalat tidak terganggu, aku bisa bebas bekerja dan istirahatku pun tidak terganggu.

Setelah salat subuh berjamaah di masjid, aku langsung ke rumahku membaca Alquran sebentar sebagaimana yang sering aku lakukan di rumah mertua. Jam 07.00 mulai salat duha. Di belakang rumah akan kubangun kolam ikan dan taman.

Kirim proposal ke Jokowi

Kamis, 11 Oktober 2018 aku kirim proposalnya permohonan bantuan modal untuk menerbitkan buku “Kisah Inspiratif Orang Indonesia” ke Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta. Namun tidak ada jawaban. Maka tahun berikutnya Kamis 11 Juli 2019 aku kirim surat kedua dengan isi yang sama tapi kualamatkan ke Istana Presiden di Bogor. Namun sampai saat ini tetap saja aku belum mendapat jawaban.

Meski aku sangat ingin ketemu dan mendapatkan bantuan dari Presiden, tapi aku tak mau menggantungkan rezekiku dari presiden. Siapa tahu Allah mengirim rezeki buat aku lewat salah satu menteri. Maka aku berusaha ngebut merampungkan profil Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Begitu naskah rampung akan kukonfirmasi ke beliau. Siapa tahu aku dipanggil beliau ke kantornya, bisa mewawancarainya dan mendapatkan bantuan komputer atau laptop.

Mengundurkan diri

Setelah tiga tahun bekerja di Citra Mandiri Utama (CMU), aku merasakan perusahaan itu makin tidak sehat, tidak menunjukkan perkembangan semakin baik, sebaliknya tambah memprihatinkan. Gaji karyawan tidak ada yang naik. Malah pembayarannya sering terlambat. Uang THR yang dibagikan tidak lagi satu gaji penuh. Bahkan ketika aku pinjam uang Rp. 50.000 saja, kantor tidak bisa memberi. Pinjang uang segitu saja tidak diberi, apalagi kalau minta hakku, THR yang belum diberikan. Sejak itu aku mulai ancang-ancang mengundurkan diri.

Begitu keluar dari CMU, aku langsung membuat proposal penerbitan buku “Kisah Inspiratif Orang Indonesia” yang sudah lama aku rencanakan. Aku juga membuat surat permohonan wawancara ke beberapa narsumber yang ada di luar kota lewat email. Sedang yang dalam kota Semarang cukup saya teleponi. Narasumber yang sudah kuhubungi beberapa ada yang sudah berhasil kuwawancarai. Namun kemudian terkendala biaya cetak.

Kamis 11 Oktober 2018 aku kirim surat ke Presiden Jokowi untuk minta bantuan dana biaya cetak bukuku. Tapi sampai saat ini belum ada jawaban. Maka konsen menulis biografi Jokowi. Biografi itu kumuat di blog pribadiku, Biografi Orang Indonesia. Siapa tahu beliau membaca. Kemudian memberi komentar dan koreksi. Siapa tahu beliau bersedia memanggilku ke istananya, memberi kesempatan aku untuk mewawancarainya, dan beliau berkenan memberi bantuan untuk biaya cetaknya.

Kisah Inspiratif

Buku yang sedang kususun berjudul “Kisah Inspiratif Orang Indonesia”. Buku yang keseluruhan isinya kutulis sendiri ini berisi kisah-kisah inspiratif para tokoh nasional dan daerah. Tokoh nasionalnya antara lain Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Polhukam Mahfud MD, Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purna (Ahok), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Ketua DPR Puan Mahari. Tokoh daerahnya antara lain Ketua ICMI Jawa Timur Ismail Nachu. Buku ini sudah siap terbit namun belum bisa dicetak karena belum mendapatkan biaya cetaknya.

Satu-satunya narasumber yang sudah bayar di muka hanya Ketua ICMI Jawa Timur Ismail Nachu, S.Ag. Ia sudah bayar di muka Rp. 1 juta. Uang itu habis kugunakan untuk biaya ngetik naskah di warnet selama satu bulan.

Sedangkan dua narasumber yang lain, dokter Budi Laksono dan Area Director of HR InterContinental Hotels Group Indonesia Agus Sururi, S.Pd, M.MPar  masing-masing bersedia membayar Rp.1 juta kalau buku bisa terbit.

Total order baru Rp. 3 juta. Padahal dana yang kubutuhkan untuk biaya cetak dan distribusi Rp. 50 juta. Oleh karenanya Kamis 11 Juli 2019 aku kirim surat via pos kilat pada Presiden Jokowi untuk minta bantuannya.

















Satu-satunya narasumber yang menunggu-nunggu terbitnya buku ini hanya Agus Sururi. Ia pernah kirim pesan WA menanyakan kapan buku ini terbit. Narasumber lain tidak tahu, masih ingat atau sudah lupa kalau pernah aku wawancarai.

Saudara sejati

Aku gak tahu, harus bagaimana merangkai kata untuk mengungkapkan rasa terima kasihku pada teman-temanku yang selama ini sering memberiku uang. Terlebih-lebih pada Eko Prihartono yang ketika kumintai uang lewat WA, tanpa menunggu waktu lama langsung mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Selain Eko Prihartono, ada Iskandar Zulkarnain, Jakyuri, Tutik Wiratni, dan lain-lain. Yang paling sering kumintai uang Eko Prihartono, karena ia yang paling mudah dan paling dermawan. Kalian semua adalah orang-orang yang sangat luar biasa dermawannya. Maka aku berusaha sering-sering mendoakan mereka, terutama pada saat selesai salat. Mudah-mudahan mereka sekeluarga selalu dalam keadaan sehat, lancar usahanya, selalu sukses, dan mendapat lindungan dari Allah SWT. Aamiin.

Aku terpaksa minta-minta uang pada mereka setiap aku butuh ngetik atau merevisi naskah-nakahku di warnet atau ketika aku butuh uang transport untuk menemui narasumber dan kebutuhan lain untuk penerbitanku. Jasa kalian sangat besar terhadap perjuanganku meraih cita-cita. Kalian semua sahabat sejatiku, terutama Eko Prihartono yang selalu peduli dan mau mengulurkan tangan.

Untuk sementara keadaanku memang masih seperti ini. Aku terima keadaanku saat ini dengan tabah dan ikhlas. Aku terus berjuang untuk bangkit. Aku berusaha tabah dan sabar dalam menghadapi kesulitan, hambatan dan tantangan. Aku terima keadaan ini. Tapi aku yakin suatu saat pasti bisa bangkit, karena aku tidak sendiri, aku bersama Allah. Aku selalu melibatkan Dia dalam setiap kegiatan usahaku.

Jika bukuku terbit, aku pun ingin berbagi seperti kalian. Keuntunganku dari menerbitkan buku ini akan kugunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, terutama pengemis, orang yang suka minta-minta seperti aku.

Sampai mati mungkin aku tak bisa membalas kebaikan kalian. Sebab rejeki dan pati ada di tangan Sang Maha Pencipta. Hanya Dia yang bisa membalas. Dia pula yang mencatat dan membalas amal-amal kalian.

Puasa Senin-Kamis

Mulai 1 Januari 2019 aku rutin puasa Senin-Kamis. Kesadaran itu muncul setelah merasakan semakin beratnya perjuangan untuk menggapai cita-cita. Usaha dan kerja keras saja tidak cukup. Harus disertai doa dan tirakat. Maka aku perlu puasa supaya usaha dan doa-doaku terkabul. Apalagi puasa Senin-kamis manfaatnya besar sekali. Sebelumnya aku tak bisa menjalankan puasa Senin-Kamis karena jika puasa badan menjadi lemas sehingga pekerjaan menjadi terganggu. Apalagi puasa Senin-Kamis adalah puasa sunah. Sehingga kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.

Tapi kemudian muncul kesadaran. Aku sekarang bukan karyawan, bukan pegawai, bukan pembantu, dan aku tidak punya atasan. Aku adalah bos di perusahaanku sendiri, Penerbit Rindang Pustaka. Tidak ada risiko yang aku khawatirkan bila aku puasa. Justru aku akan mendapat manfaat besar.

Kakak ipar

Kakak iparku, Mustofa, kelahiran 11 September 1964, waktu kecil sering sakit panas, step. Pernah meninggal tapi kemudian hidup kembali. Sejak itu ia terdeteksi mengalami keterbelakangan mental. Kondisinya yang seperti itu mestinya anak dimasukkan ke sekolah luar biasa (SLB) kalau sekolah umum tidak bisa mengikuti. Tapi orang tuanya malah tidak mau menyekolahkan. Karena sekolah di SLB kesannya seperti dibuang. Akibatnya, jangankan baca tulis, bicara dengan siapapun tidak bisa menggunakan bahasa yang baik. Sekarang usianya sudah 50-an tahun, tapi kelakuannya masih seperti anak kecil. Kalau makan klepret, nasinya kocar-kacir di meja dan lantai. Penampilannya lusuh, bau dan jorok. Tidak bisa membedakan barang kotor dan bersih. Sehingga aku tidak berani berdekatan dengannya. Kalau be’ol, ceboknya tidak pernah bisa bersih. Kotorannya sering menempel di celananya.

Seandainya dulu dimasukkan ke SLB tentu tidak sebodo ini. Bodo mungkin masih, tapi dengan belajar di SLB akan punya keahlian atau ketrampilan. Rajin/sregep mandi pagi, terus berangkat kerja. Aku tidak tahu apa dan bagaimana kerjanya. Siangnya sudah pulang membawa uang. Yang Rp. 5 ribu ditaruh di kaleng yang sudah disediakan istriku.

Yang menjengkelkan, kalau sore, waktunya mandi malah belum pulang, masih main. Sering aku atau istriku harus mencarinya. Pakai sandal sering terbalik, karena tidak bisa membedakan kanan dan kiri. Tapi ia rajib salat berjamaah di masjid.

Operasi Hernia

Aku pernah mengalami gangguan kencing. Setiap kencing tersendat-sendat. Keluarnya tidak lancar. Sehingga membuatku harus lama berada di toilet setiap kencing (pipis). Selain itu ada rasa kemeng di dekat kemaluan. Berhubung keadaan seperti ini terus berlangsung setiap hari, aku periksakan ke Puskesmas Krobokan. Dokter Puskesmas Krobokan mengatakan, aku kena penyakit Hernia. Aku dirujuk ke dokter bedah RS Roemani Semarang. Tapi aku tidak dioperasi. Cuma diberi obat. Sampai obat dari dokter rumah sakit itu habis, tidak ada perubahan. Malah muncul benjolan di atas kemaluan sebelah kanan.

Sabtu siang, 16 Maret 2019 aku datang lagi ke Puskesmas Krobokan, minta rujukan ke RS Hermina Pandanaran. Aku pilih rumah sakit ini karena jangkauannya dari rumah lebih mudah. Kalau naik angkot cukup sekali saja. Tiga hari kemudian, tepatnya Selasa pagi, 19 Maret 2019 dengan membawa surat rujukan dari Puskesmas Krobokan Semarang Barat dan Kartu Indonesia Sehat aku datang ke RS Hermina Pandanaran Semarang. Setelah antri cukup lama di ruang pendaftaran, siang itu akhirnya aku dipanggil petugas pendaftaran. Aku diberi tahu, bahwa dokter yang akan memeriksa aku adalah dokter Abdul Mugni, SPB-KBD. Tapi beliau datangnya malam. Jam 18.00 aku disuruh datang lagi. Maka siang itu aku pulang dulu ke rumah.

Di rumah aku ceritakan pengalaman antri di rumah sakit ini pada istriku. Kukatakan, kalau nanti malam jadi operasi aku akan ngabari via sms atau telepon. Tapi aku berharap ada jalan lain, jangan operasi.

Malamnya dengan tergesa-gesa aku salat Maghrib, karena pukul 18.00 aku harus datang ke RS Hermina lagi, jangan sampai terlambat. Ternyata e ternyata, tiwas datang dengan terburu-buru karena takut terlambat, sampai di rumah sakit masih harus menunggu lama kurang lebih dua jam, karena pukul 20.00 dokter Abdul Mugni baru datang. Setelah memeriksa aku dokter bedah itu mengatakan, aku harus menjalani operasi. Mau tidak mau aku menyetujuinya, karena itu jalan satu-satunya untuk bisa sembuh.

Aku mengira operasinya akan dilakukan malam itu juga. Ternyata tidak. Berdasarkan kartu BBJS Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat) yang kumilki aku hanya boleh dirawat di kamar kelas III. Berhubung kamar pasien kelas III malam itu sudah penuh semua, aku disuruh pulang dulu. Nanti kalau ada pasien yang pulang, aku akan ditelepon.













Sehari kemudian aku ditelepon Suster Nina, memberi tahu bahwa Kamis, 21 Maret 2019 aku sudah bisa menjalani operasi. Sesuai arahan suster Nina Kamis pagi tanggal tersebut aku ke RS Hermina lagi. Sampai di sana aku langsung mendaftar di loket rawat inap. Setelah lapor aku disuruh duduk dulu nunggu panggilan. Selama beberapa jam menunggu panggilan, istri dan saudara-saudaraku tak ada yang menemani. Aku sendirian. Mungkin antara dua sampai tiga jam kemudian aku baru mendapat panggilan. Aku diantar seorang scurity wanita ke lantai 5 kamar nomor 554. Aku disuruh istirahat di bed pasien yang sudah disiapkan untukku. Scurity itu kemudian meninggalkan aku.

Di sana aku langsung kirim sms ke istriku (Siti Noordjanah), menyampaikan kabar bahwa aku dirawat di lantai 5 kamar nomor 554. Tak lama kemudian seorang perawat datang memasang selang infus di tangan kiriku. Aku diberi tahu, operasi akan dilakukan pukul 18.00. Aku ngabari istriku lagi lewat sms. Baru ia menjawab sms-ku. Ia akan datang menemani aku pukul 16.00. Mungkin sms pertama ia tidak mendengar.

Sekitar pukul 16.00 istriku muncul sendirian. Aku lega sudah ada yang menemani. Jelas akan bingung seandainya tidak ada yang menemani. Sebab tidak ada yang menjaga barang bawaanku. Di dalam tas yang kubawa ada surat-surat penting dan handphone.

Aku dan istriku sempat gelisah. Karena sudah pukul 18.00 lebih aku belum dibawa ke ruang operasi. Baru pukul 19.00 dua orang perawat dan seorang scuriti mendorong bed yang aku tempati menuju ruang operasi di lantai 3. Selesai operasi aku dikembalikan ke lantai 5 kamar 554 lagi. Sabtu siang 23 Maret 2019 aku sudah pulang ke rumah.

Jum’at malam adikku, Rina Murwanti, datang bersama suaminya, Bambang Gunandar.

Sabtu siang, aku sudah diizinkan pulang ke rumah.

1 April 2019, aku kontrol. Perban dibuka.

Operasi kanker

Minggu malam, 5 Januari 2020 aku sudah ngamar di lantai 4 kamar 408 RS Hermina Pandanaran Semarang. Selang infus sudah menancap di tangan kiriku.

Senin siang, 6 Januari 2020 pukul 10.00 aku sudah dibawa ke ruang operasi di lantai 3. Hari itu ada dua pasien yang harus ditangani dokter bedah dr. Radhita Fatma Kamil. Aku dapat giliran nomor dua. Sehingga meski aku pukul 10.00 sudah masuk kamar operasi, sehabis dhuhur aku baru dapat giliran dioperasi. Setelah maghrib seorang suster membangunkan aku yang masih lelap kena obat bius. Begitu terbangun leherku sudah perbanan bekas luka operasi. Selanjutnya aku dikembalikan ke kamar 408 di lantai 4, dirawat di sana.

Rabu malam, 8 Januari 2020, aku sudah diizinkan pulang.

Sekarang aku sudah tak sabar menunggu hari Rabu, 15 Januari 2020, untuk kontrol dan membuka perban yang masih melilit di leherku, sekaligus untuk mengetahui penyakit yang kuderita.

Terima kasih buat RS Hermina Pandanaran Semarang yang telah mengobati dan merawat selama aku sakit. Sungguh luar biasa rumah sakit ini, mulai dari dokter, suster/ perawat, satpam dan pegawai lainnya, semuanya ramah-ramah.

Inilah benjolan di leherku sebelah kanan, setelah diambil lewat operasi di RS Hermina Pandanaran Semarang


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia on line, devinisi kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh tidakteraturan perjalanan homor yang mengakibatkan tumbuhnya daging pada jaringan tubuh yang normal.

Minggu siang, di tanggal yang cantik 02-02-2020 ada teman fb yang datang ke rumah, namanya Slamet Unggul. Datang memberi bantuan kunir putih dan sebuah hp efercros. Ini sungguh tak pernah kuduga. Orang seperti dia bisa punya perhatian istimewa dan khusus buat aku.

Selasa, 3 Maret 2020 : Aku menemui Dr. dr. Selamat Budijitno, MSi.Med, Sp.B (K) Onk. Aku diambil daarahku.

Senin, 16 Maret 2020 : Aku ke warnet mendaftar on line ke dr. Selamat, mendapat nomor 31.

Selasa, 17 Maret 2020 : Rekam jantung dan rontgen di Radiologi IGD.

Kamis, 19 Maret 2020 : Pengalaman hari Selasa, sudah mendaftar on line tidak ketemu dokter, aku pun langsung ke Ruang Kasuari tanpa on line. Dapat nomor 50, tapi diperiksa dokter anestesi. Diberi tahu akan dikemo, disedot kelenjarnya. Dijadwalkan operasi bulan Juli 2020. Disuruh mengurus surat rujukan lagi.


Catatan rawat jalan dan inap

Minggu, 19 Juli 2020 : Dengan diantar istriku aku mendaftar rawat inap di IGD. Langsung opnam di Ruang Rajawali. Istriku menemaniku menginap di Ruang Rajawali lantai 1.

Senin, 20 Juli 2020 : Aku menjalani operasi di Paviliun Garuda.

Selasa, 28 Juli 2020 : Aku sudah diizinkan pulang.

Senin, 3 Agustus 2020 : Kontrol ke Instalasi Kasuari. Sudah didaftar on line oleh perawat. Pukul 12.05 dr Salamat baru datang. Aku dibawa ke Ruang Merpati diperiksa dokter bedah nuklir Nopriwan. Di Paviliun Kasuari buka perban.

Rabu, 19 Agustus 2020 : Aku kontrol lagi.


Erick Thohir

  Menteri BUMN (2019-2024)   Dari Media, Olah Raga sampai Sarinah Ditulis Muhammad Anwari SN. Saat ini Erick Thohir masih menjabat Menteri B...