DR. dr.
Budi Laksono, MHSc :
Infeksi
Menular Usus (Tipus,Diare, cacing dll) masih menjadi penyakit nomor satu di
Indonesia.
Di Indonesia sampai sekarang masih ada 96 juta
orang atau 24 juta keluarga yang belum punya WC. Di Jawa Tengah saja ada 3 Juta
keluarga yang tidak punya WC. Khusus di Semarang, Jawa Tengah, masih ada 35.000
keluarga yang belum punya WC sehat. Gerakan Masyarakat yang distimulasi Dr.
Budi Laksono dan LSM nya di Semarang membangun 10 ribuan WC keluarga. Masih
puluhan ribu lain yang tahun ini bersama Pemkot akan dientaskan bahkan tahun
2018 berharap Indonesia mempunyai Level Kota yaitu Semarang dan Makasar yang
semua keluarganya mempunyai WC Sehat menjadi KOTA SEHAT ODF KATAJAGA. Demikian gerakan
yang dilakukan dan akan terus dimimpikan hingga semua keluarga Indonesia
mempunyai WC Keluarga. Dokter ini sampai
sekarang masih suka blusukan ke
kampung-kampung untuk memotivasi warga, mengajar menyiapkan militan kesehatan
masyarakat dan ke kantor pemegang kebijakan negara, dari Walikota, Gubernur,
Presiden untuk mengadvokasi GERAKAN WC4ALL (JAMBAN UNTUK SEMUA KELUARGA) nya
yang sangat penting bagi bangsa yang beradap dan sehat.
Dr. dr. Budi Laksono, MHS |
Selepas lulus kuliah di
Fakultas Kedokteran Undip, Budi Laksono mendapat tugas di sebuah kecamatan terpencil
di Kabupaten Pekalongan. Dari 12 desa, 4 desa adalah terpencil sehingga bila
pelayanan ke Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) sampai harus berjalan kaki 3 jam
dari desa terakhir yg dilalui sepeda motor. Setelah pelayanan, harus menginap
untuk besok pagi ke desa desa berikutnya. Saat itu kecamatan Kandang Serang
hanya bisa diases bus sampai Kajen, setelah itu naik mobil colt atau kadang
mobil angkutan barang. Karena memang menyukai kepramukaan dan kesukarelaan maka
tugas seperti ini dianggap justru menyenangkan. Dasar dokter muda ini memang
sudah punya jiwa petualang, menghadapi risiko itu tidaklah mengeluh. Ia malah
senang. “Karena saya sengaja memilih Puskesmas yang paling menantang. Ia bangga
di tugaskan di desa terpencil karena tidak banyak Dokter mendapat penugasan
yang menantang seperti ini. Terlebih cita-citanya untuk ditempatkan di daerah
terpencil Papua tidak didapatkan karena sesuatu hal. “Jadi saya ini seperti
orang kemah. Tapi kemahnya dengan membawa obat-obatan dan perlengkapan Posyandu
untuk masyarakat. Itu sangat saya sukai. Di situ lah yang membuat saya merasa sempurna
menjadi seorang dokter,” katanya.
Dua
macam
Dokter Budi menggolongkan
penyakit menular yang diderita pasiennya menjadi dua macam, yaitu (1) Penyakit
yang sulit dicegah dan (2) Penyakit yang mudah dicegah. Pertama, penyakit yang
tidak mudah dicegah. Contoh penyakit ini adalah batuk dan pilek. “Kita lagi ngomong-ngomong dengan tetangganya yang batuk, kalau badan kita tidak fit besok
kita bisa ketularan,” katanya.
Kedua, penyakit
yang sangat mudah dicegah. Contohnya tipes, diare, dan desentri. “Menurut teori
penyakit itu memang mudah dicegah. Sebab kita tidak akan kena diare kalau tidak
ada kotoran dari orang yang sakit masuk ke mulut kita. Padahal kita tidak suka
ada kotoran masuk ke mulut kita. Tapi faktanya di Indonesia masih banyak orang
yang makan makanan yang dianggap bersih tetapi sebenarnya kotor, terkontaminasi
dan sebagainya, sehingga bagian dari kotoran orang lain bisa masuk ke mulut
kita” terangnya. Ironisnya, di desa desa di Pekalongan dan seluruh Indonesia, justru
menjadi penyakit yang banyak diderita masyarakat.
Lalat
Di Puskesmasnya, penderita penyakit
menular usus (diare, tipus ) termasuk banyak. Beberapa diantaranya harus dirawat
karena dehidrasi atau perlu pengawasan. Karena jarak ke Rumah sakit kota sangat
jauh dan belum tentu keluarga mau karena tidak ada dana, maka Dokter Budi merawat
penderita di rumah dinasnya yang dimodifikasi menjadi rumas sakit kecil. Perawatan
ini penting karena bisa menyebabkan kematian bila terlambat merawat. Dari
dahulu, bahkan hingga kini Diare dan Tipus termasuk berbahaya dan paling sering
menyebabkan orang masuk rumah sakit. Banyak anak-anak mati karena diare. Di
Indonesia penyakit diare masih menjadi penyakit nomor satu yang mematikan anak.
Penyebabnya adalah makanan yang tercemar kuman yang dibawa lalat, makanan yang
kena debu, atau piring sendok yang dicuci dengan air yang terkontaminasi. Kuman
masuk ke dalam perut, berkembang, akhirnya menyebabkan diare. Kalau semua orang
bisa buang air besar di WC (water closet),
penyakit tidak akan menular. Tetapi ironisnya, di Indonesia ini, masih banyak
orang tidak punya WC dan buang air di kebun dan sungai. Beginilah siklus
penyakit yang menyebabkan penularan terus-menerus hingga kini di sekitar kita.
Ketika penugasan berpindah ke
daerah bawah dekat kota, yaitu Kedung Wuni Timur, ternyata kepemilikan WC
keluarga juga masih rendah saat itu. Penyakit Diare dan Tipus masih tinggi.
Bahkan riset yang dilakukan terhadap anak menunjukkan penyakit cacingan pada
mereka lebih tinggi dari di gunung. Sekali lagi Ia memodifikasi Puskesmasnya
agar mampu melayani perawatan terutama untuk orang miskin. Riset terhadap
alasan ketidak-punyaan WC keluarga menunjukkan bahwa masyarakat tidak tahu
bahwa mereka bila BAB sembarangan berarti mengeluarkan milyaran kuman dari
tubuh dan sebagaian bisa menulari orang lain. Alasan tidak punya WC karena
tidak ada air setiap saat, untuk membuat WC seperti percontohan itu mahal,
mereka tidak punya uang dll.
WC
sederhana
Melihat kondisi yang memprihatinkan itu dr. Budi timbul
gagasan untuk mendidik masyarakat bahwa membuatkan WC sehat itu tidak harus
mahal, bahkan bisa mudah dan cepat. Pada waktu itu di tahun 1998, Ia
mendemonstrasikan bahwa dengan uang Rp. 36.000 sudah bisa membuat WC sehat. Didemokan
juga, semua keluarga bisa membuatnya karena mudah, bahkan bila pagi membuatnya,
sore sudah jadi untuk selamanya. Dokter Budi menyebut jamban yang dikenalkannya
sebagai jamban ampibi, karena bisa menggunakan air maupun tisu. Kalau tidak
ada air pembersihnya bisa pakai tisu. WC-nya itu dibuat seperti cemplung tetapi
sehat, di mana serangga, termasuk lalat, tidak bisa keluar masuk. Sebab lubangnya
ada penutupnya. Kalau ingin menggunakan closet,
closet-nya tinggal ditanam. Itulah
kelebihan WC ampibi. Setelah didemonstrasikan cara membuat WC yang murah akhirnya
mereka mau membuat WC sendiri. Konsep WC ini bahkan dijadikan thesis Dr. Budi
sewaktu sekolah master di Queensland University of Technology (QUT) Australia.
Oleh Pembimbingnya, konsep ini disebut BALATRINE singaktan dari Budi Amphibian Latrine.
Bahkan oleh pembimbingnya konsep ini dibiayai risetnya hingga saat ini diterima
sebagai pendekatan jamban murah di Indonesia dan internasional.
Katajaga
Dokter Budi selalu memotivasi para
pasiennya maupun warga yang belum punya jamban agar supaya membuat jamban.
Mulanya hanya satu dua orang yang mau membuat jamban. Tetapi kalau satu kampung
itu beberapa keluarga saja yang punya jamban, sementara lainnya tidak punya,
maka hal ini percuma dalam mencegah penyakit menular. Sebab satu keluarga saja tidak
BAB yang benar, maka sudah cukup mencemari se kampungnya. Berdasarkan itu maka Ia
mengembangkan konsep Katajaga
(Kampung Kota Jamban Keluarga). Konsep ini mewajibkan semua orang di Kelurahan
harus mempunyai jamban keluarga semua dan menggunakannya. Rantai penyakit bisa
terputus bila satu kampung harus berjamban semuanya. Dari konsep ini, maka Ia
mencoba memotivasi keluara sekampung untuk punya jamban serentak. Ternyata
motivasi masalnya selalu direspon positif sehingga lebih dari 14 kampung
(dusun) yang serentak membangun jamban bagi semua yang belum punya dengan biaya
stimulan dari dirinya sendiri.
Setelah kampung-kampung banyak
berjamban, dr. Budi ingin mengembangkan level yang lebih tinggi, yaitu
kelurahan. Makanya programnya ini disebut Kelurahan
Kota Jamban Keluarga. Kelak kemudian program ini akan dikembangkan ke atas
lagi menjadi Kecamatan Kota Jamban
Keluarga. Tetapi dana untuk level kelurahan tidak sedikit. Beruntunglah
Prof Donald, supervisornya, mencari dana Internasional untuk membiayai riset
dan pengembangan level kelurahan. Jadilah kelurahan Cepoko Gunung pati
merupakan kelurahan pertama di Indonesia yang serempak membangun jamban bagi
semua. Ini merupakan rekor MURI pertamanya untuk Semarang.
Biodata Budi Laksono
![]() |
Dokter Budi tampil di Kick Andy. |
Semarang
Beberapa kelurahan sejak itu
berhasil di-jambanisasikan. Selain dari Prof Donald, ada donasi dari sahabatnya
di Rotary club, lab Cito, PLN, dan Alumni Maria Goreti. Dari kolaborasi inilah,
Kecamatan Gunung pati menjadi kecamatan pertama di Indonesia yang ber ODF
KATAJAGA dengan biaya masyarakat. Walikota Semarang yang melihat gerakan
masyarakat ini, ikut bersemangat. Panglima Kodam saat itu, Jendral Sunindyo
ikut menyemangati sehingga dengan dana hibah Pemkot, 3 kecamatan di Semarang
yaitu, Tembalang, Banyumanik dan Ngalian secara serempak digerakan bersama
Kodim Semarang membangun jamban bagi semua keluarga yang belum punya. 3449
keluarga secara serempak membangun jamban keluarga masing masing di bawah
pengawasan Kodim dan Yayasan dr.Budi dalam 6 minggu selesai. Ini merupakan
rekor nasional MURI untuk pembangunan serempak jamban keluarga. Semua kegiatan
ini dilakukan Dr. Budi yang saat itu masih pegawai PNS di Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah walau kegiatan ini di luar tugas utamanya. Dukungan dari
sahabat dan atasannya sangat menyemangati perjuangan ini.
Ketika ditanyakan, bagaimana
perhatian pemerintah terhadap masalah ini, menurut dr. Budi, pemerintah sudah
memperhatikan. Hanya perlu penguatan aksi yang lebih nyata. “Sementara ini di
bidang kesehatan masih banyak yang diprioritaskan, sedangkan jamban ini
merupakan kegiatan lintas sektor
sehingga kurang terkoordinasi dengan baik. Karena saya memperhatikan
jamban merupakan titik kunci kesehatan masyarakat, maka saya mati-matian
memperjuangakan hingga kegiatan kantor terbengkelai. Akhirnya tugas di kantor
saya korbankan, karena tantangan yang harus dikerjakan ke depan makin besar
untuk Indonesia, maka saya minta
pensiun dini, karena saya pingin total terjun ke masyarakat,” jelasnya.
![]() |
Budi Laksono menggendong anak kecil, salah satu korban gempa Tsunami di Aceh yang selamat. |
Menurut catatannya, saat ini di
Indonesia yang belum punya jamban ada 24 juta keluarga. Di Jawa Tengah yang
belum punya jamban masih ada 3 juta keluarga. Khusus di Semarang, Jawa Tengah,
ada kurang lebih 35.000 keluarga yang tidak punya jamban sehat. Ternyata keluarga yang tidak punya jamban itu
tidak hanya mereka yang tinggal di pinggir-pinggir hutan saja. Ia melihat di
Kota Semarang pun ternyata masih banyak keluarga
yang belum punya jamban. “Sehingga mereka buang air besar di sungai, bahkan ada
yang di selokan. Ada juga yang buang air besar di rumah, tapi kotorannya
langsung masuk selokan. Begitu nanti musim kering, tidak ada air, baru
tetangganya bengok-bengok,”
ungkapnya.
Empat
faktor
Menurut dr. Budi ada 4
faktor yang menyebabkan warga belum punya WC. Pertama, memang dari internal orang itu. Pendidikan yang rendah,
informasi kesehatan yang kurang sehingga pengetahan kesehatan dan sanitasi
serta kesadaran yang rendah. Banyak orang tidak
punya pengetahuan. “Saya tanya, tahu nggak kalau kotoran itu mengandung bibit
penyakit? Ia
menjawab tidak tahu, apalagi kira-kira berapa kuman,
virus di kotoran?. Tahu nggak kalau makanan
yang dihinggapi
lalat nanti bisa menimbulkan penyakit? Jawabannya
banyak yang tidak tahu. Bahkan saya tanya, penyakit tipus itu karena apa? Warga banyak salah dan tidak tahu,”
katanya. Menurut dr. Budi, tipes itu adalah penyakit menular yang ditimbulkan dari kuman
dari kotoran yang masuk ke mulut kita lewat cemaran air, lalat dll. “Itu mereka
pada tidak tahu. Bagaimana mencegah tipus? Warga
juga tidak tahu. Jadi warga tidak bisa menjaga
kebersihan karena ketidaktahuan”.
Kedua, ekonominya.
Banyak keluarga tidak punya wc karena tidak mampu membuat jamban. faktor ini
juga diperberat oleh pemahaman bahwa membuat jamban itu mahal. Hal ini
berhubungan dengan faktor ketiga yaitu teknik jamban percontohan. Sejak dulu teknik jamban dibuat dengan konsep
mahal dari pada kemampuan ekonmi masyarakat. Masyarakat tidak dipahamkan konsep
dasar sanitasi, septic tank seperti apa
yang sehat. Teknik yang dikenalkan pokoknya sesuai dengan apa yang dikatakan
orang pemerintah. Padahal untuk membuat jamban sehat bisa dari tanpa uang hingga jutaan. Ada orang yang sudah sadar, tetapi
tidak punya uang untuk membuat jamban. Karena ngertinya biaya membuat jamban atau WC itu mahal,
harus berdinding
tembok dan sebagainya. Sementara penghasilan
mereka untuk makan saja sudah terbatas, apalagi harus bayar angsuran motor dan sebagainya. Uang untuk
jamban prioritas terakhir tapi tidak pernah terwujud.
Keempat, kondisi
alamnya memungkinkan orang untuk buang air besar sembarangan. Orang-orang
kota sekarang ini mudah sekali buang air besar ke selokan, karena selokannya bagus-bagus dan menurut mereka
enak buat buang hajat di sana. Apalagi ada
sungai
dan kebun. Selain itu alamnya kadang-kadang tidak menyediakan air yang cukup. Dari pada buang
air besar di WC yang tidak ada airnya mending buang
hajatnya di sungai sekalian, di
sana sekaligus bisa mandi. Ada orang Semarang yang masih seperti itu.
Kelima, birokrasi. Saat
ini jajaran birokrasi belum mampu melihat pentingnya sanitasi dalam
pembangunan. Akibat dari itu, anggaran sanitasi masih rendah, standart hukum
sanitasi tidak ada. Ketidakadanya peraturan yang memaksa perubahan perilaku
sehat membuat masyarakat tidak berubah perilakunya dari buang air sembarangan
ke yang baik. Di negara yang baik, orang buang air semabrangan bisa dihukum.
Tetapi secara bersamaan, fasiltitas sanitasi dibiayai tinggi dan disediakan di
banyak tempat.
Belum
dianggap kriminal
Orang buang air besar
sembarangan di Indonesia belum dianggap kriminal, meskipun itu sudah menyakiti,
bahkan membunuh orang banyak. Padahal di negara lain orang buang air besar
sembarangan bisa dihukum. Orang tidak punya WC di rumah bisa dihukum. Di Indonesia
banyak orang yang tidak punya WC, tidak ada yang dihukum. Di Singapura buang
air sembarangan langsung didenda.
Tahun 2016 kemarin, beberapa
saat setelah pensiun, Dr. Budi mengkampanyekan jamban bagi semua keluarga
dengan jalan kaki 450 km dari Semarang ke Jakarta. 17 hari dilalui di jalanan
sambil kampanyekan jamban bagi semua. Di setiap kota, Ia singgah di Bupati dan Walikota
untuk memaparkan banyaknya jamban yang belum dimiliki keluarga di kota dan kab
tersebut, dampak dan solusinya. Dr. Budi pensiun dini karena ingin fokus menggeluti
jamban ini untuk masyarakat. “Alhamdulillah,
sekarang sudah menjadi gerakan nasional,” jelasnya. Sekarang di TNI AD (Angkatan
Darat) gerakan jamban ini sudah menjadi gerakan TNI AD di seluruh Indonesia.
Sekarang kementerian-kementerian tertentu sudah mengabdosi gerakan ini. Beberapa
kabupaten dan kota sekarang sudah melihat pentingnya punya jamban.
Muhammad Anwari SN
Budi Laksono diwawancarai penulis buku "Kisah Inspiratif Orang Indonesia" Muhammad Anwari SN pada Kamis, 8 Juni 2017. Muhammad Anwari SN melayani
penulisan biografi dan profil company untuk dimuat di internet dan dibuat buku.
Hubungi 081390070083 atau 087731383338.
Biodata Budi Laksono
Nama lengkap + gelar | : | DR. dr. Budi Laksono, MHSc. | ||||||||||
Nama panggilan | : | Dokter Budi. | ||||||||||
Tempat, tgl lahir | : | Semarang, 6 Maret 1963. | ||||||||||
Agama | : | Islam. | ||||||||||
Ayah | : | Bits Sutrasno (almarhum). | ||||||||||
Ibu | : | Sulastri. | ||||||||||
Istri | : | Dra. Sri Peni Herawati, M.Hum | ||||||||||
Anak : | ||||||||||||
1. | Idam Abioga. | |||||||||||
2. | Dini Astungkari. | |||||||||||
3. | Datu Laksita Peni. | |||||||||||
4. | Alfan Budiatma. | |||||||||||
Riwayat pendidikan : | ||||||||||||
* | SD Kanisius Kobong II Semarang. | |||||||||||
* | SMP Kanisius Raden Patah Semarang. | |||||||||||
* | SMA 3 Semarang. | |||||||||||
* | Dokter FK Undip Semarang. | |||||||||||
* | Master Kesh Reproduksi Queensland Univ of Tech Australia. | |||||||||||
* | Doktor Undip. | |||||||||||
Pengalaman kerja : | ||||||||||||
* | Dokter Puskesmas. | |||||||||||
* | Staf dinas Kesehatan Kab Pekalongan. | |||||||||||
* | Staf Dinas Kesehatan Proivinsi Jateng. | |||||||||||
* | Dosen Pasca sarjana Undip. | |||||||||||
* | Dosen Pasca sarjana Unnes. | |||||||||||
* | Dosen tamu Griffith University. | |||||||||||
Penghargaan : | ||||||||||||
1 | Dokter teladan Kab Pekalongan. | |||||||||||
2 | Dokter teladan karesidenan Pekalongan. | |||||||||||
3 | Dokter teladan jateng 1997. | |||||||||||
4 | Dokter berprestasi IDI. | |||||||||||
5 | Donor darah sukarela 25 dan 50 kali. | |||||||||||
6 | Relawan bencana alam Aceh. | |||||||||||
7 | Relawan bencana alam Bantul. | |||||||||||
8 | Relawan bencana alam Tacloban Philipina. | |||||||||||
9 | MDGS AWARD FOR HIV/AIDS prevention and care 2012. | |||||||||||
10 | MDGS AWARD FOR SANITATION 2014. | |||||||||||
11 | Rotary change maker 2013. | |||||||||||
12 | BNN (NATIONAL BOARD ANTI-DRUG BEREAU) Award for drug use prevention and care services 2013. | |||||||||||
13 | Pemkot Semarang : Dokter peduli kemasyarakatan. | |||||||||||
14 | KALPATARU NATIONAL ENVIRONMENT AWARD 2014. | |||||||||||
15 | MURI PEMBANGUNAN JAMBAN 3 KALI. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar