Jumat, 04 Agustus 2017

Profil DR. dr. Budi Laksono, MHSc





DR. dr. Budi Laksono, MHSc :
Infeksi Menular Usus (Tipus,Diare, cacing dll) masih menjadi penyakit nomor satu di Indonesia.

Di Indonesia sampai sekarang masih ada 96 juta orang atau 24 juta keluarga yang belum punya WC. Di Jawa Tengah saja ada 3 Juta keluarga yang tidak punya WC. Khusus di Semarang, Jawa Tengah, masih ada 35.000 keluarga yang belum punya WC sehat. Gerakan Masyarakat yang distimulasi Dr. Budi Laksono dan LSM nya di Semarang membangun 10 ribuan WC keluarga. Masih puluhan ribu lain yang tahun ini bersama Pemkot akan dientaskan bahkan tahun 2018 berharap Indonesia mempunyai Level Kota yaitu Semarang dan Makasar yang semua keluarganya mempunyai WC Sehat menjadi KOTA SEHAT ODF KATAJAGA. Demikian gerakan yang dilakukan dan akan terus dimimpikan hingga semua keluarga Indonesia mempunyai WC Keluarga.  Dokter ini sampai sekarang masih suka blusukan ke kampung-kampung untuk memotivasi warga, mengajar menyiapkan militan kesehatan masyarakat dan ke kantor pemegang kebijakan negara, dari Walikota, Gubernur, Presiden untuk mengadvokasi GERAKAN WC4ALL (JAMBAN UNTUK SEMUA KELUARGA) nya yang sangat penting bagi bangsa yang beradap dan sehat. 

Dr. dr. Budi Laksono, MHS













































Selepas lulus kuliah di Fakultas Kedokteran Undip, Budi Laksono mendapat tugas di sebuah kecamatan terpencil di Kabupaten Pekalongan. Dari 12 desa, 4 desa adalah terpencil sehingga bila pelayanan ke Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) sampai harus berjalan kaki 3 jam dari desa terakhir yg dilalui sepeda motor. Setelah pelayanan, harus menginap untuk besok pagi ke desa desa berikutnya. Saat itu kecamatan Kandang Serang hanya bisa diases bus sampai Kajen, setelah itu naik mobil colt atau kadang mobil angkutan barang. Karena memang menyukai kepramukaan dan kesukarelaan maka tugas seperti ini dianggap justru menyenangkan. Dasar dokter muda ini memang sudah punya jiwa petualang, menghadapi risiko itu tidaklah mengeluh. Ia malah senang. “Karena saya sengaja memilih Puskesmas yang paling menantang. Ia bangga di tugaskan di desa terpencil karena tidak banyak Dokter mendapat penugasan yang menantang seperti ini. Terlebih cita-citanya untuk ditempatkan di daerah terpencil Papua tidak didapatkan karena sesuatu hal. “Jadi saya ini seperti orang kemah. Tapi kemahnya dengan membawa obat-obatan dan perlengkapan Posyandu untuk masyarakat. Itu sangat saya sukai. Di situ lah yang membuat saya merasa sempurna menjadi seorang dokter,” katanya.

Dua macam
Dokter Budi menggolongkan penyakit menular yang diderita pasiennya menjadi dua macam, yaitu (1) Penyakit yang sulit dicegah dan (2) Penyakit yang mudah dicegah. Pertama, penyakit yang tidak mudah dicegah. Contoh penyakit ini adalah batuk dan pilek. “Kita lagi ngomong-ngomong dengan tetangganya yang batuk, kalau badan kita tidak fit besok kita bisa ketularan,” katanya.

Kedua, penyakit yang sangat mudah dicegah. Contohnya tipes, diare, dan desentri. “Menurut teori penyakit itu memang mudah dicegah. Sebab kita tidak akan kena diare kalau tidak ada kotoran dari orang yang sakit masuk ke mulut kita. Padahal kita tidak suka ada kotoran masuk ke mulut kita. Tapi faktanya di Indonesia masih banyak orang yang makan makanan yang dianggap bersih tetapi sebenarnya kotor, terkontaminasi dan sebagainya, sehingga bagian dari kotoran orang lain bisa masuk ke mulut kita” terangnya. Ironisnya, di desa desa di Pekalongan dan seluruh Indonesia, justru menjadi penyakit yang banyak diderita masyarakat.

Lalat
Di Puskesmasnya, penderita penyakit menular usus (diare, tipus ) termasuk banyak. Beberapa diantaranya harus dirawat karena dehidrasi atau perlu pengawasan. Karena jarak ke Rumah sakit kota sangat jauh dan belum tentu keluarga mau karena tidak ada dana, maka Dokter Budi merawat penderita di rumah dinasnya yang dimodifikasi menjadi rumas sakit kecil. Perawatan ini penting karena bisa menyebabkan kematian bila terlambat merawat. Dari dahulu, bahkan hingga kini Diare dan Tipus termasuk berbahaya dan paling sering menyebabkan orang masuk rumah sakit. Banyak anak-anak mati karena diare. Di Indonesia penyakit diare masih menjadi penyakit nomor satu yang mematikan anak. Penyebabnya adalah makanan yang tercemar kuman yang dibawa lalat, makanan yang kena debu, atau piring sendok yang dicuci dengan air yang terkontaminasi. Kuman masuk ke dalam perut, berkembang, akhirnya menyebabkan diare. Kalau semua orang bisa buang air besar di WC (water closet), penyakit tidak akan menular. Tetapi ironisnya, di Indonesia ini, masih banyak orang tidak punya WC dan buang air di kebun dan sungai. Beginilah siklus penyakit yang menyebabkan penularan terus-menerus hingga kini di sekitar kita.

Dari kiri ke kanan : Dra. Sri Peni Herawati, M.Hum (istri Budi Laksono), Idam Abiyoga (anak pertama), Alfan Budiatma (anak bungsu/ anak keempat), Dhatu Laksita Peni (anak ketiga), Dini Astungkari (anak kedua), dr. Budi Laksono (berkaca-mata).




































Ketika penugasan berpindah ke daerah bawah dekat kota, yaitu Kedung Wuni Timur, ternyata kepemilikan WC keluarga juga masih rendah saat itu. Penyakit Diare dan Tipus masih tinggi. Bahkan riset yang dilakukan terhadap anak menunjukkan penyakit cacingan pada mereka lebih tinggi dari di gunung. Sekali lagi Ia memodifikasi Puskesmasnya agar mampu melayani perawatan terutama untuk orang miskin. Riset terhadap alasan ketidak-punyaan WC keluarga menunjukkan bahwa masyarakat tidak tahu bahwa mereka bila BAB sembarangan berarti mengeluarkan milyaran kuman dari tubuh dan sebagaian bisa menulari orang lain. Alasan tidak punya WC karena tidak ada air setiap saat, untuk membuat WC seperti percontohan itu mahal, mereka tidak punya uang dll.

WC sederhana
Melihat kondisi yang memprihatinkan itu dr. Budi timbul gagasan untuk mendidik masyarakat bahwa membuatkan WC sehat itu tidak harus mahal, bahkan bisa mudah dan cepat. Pada waktu itu di tahun 1998, Ia mendemonstrasikan bahwa dengan uang Rp. 36.000 sudah bisa membuat WC sehat. Didemokan juga, semua keluarga bisa membuatnya karena mudah, bahkan bila pagi membuatnya, sore sudah jadi untuk selamanya. Dokter Budi menyebut jamban yang dikenalkannya sebagai  jamban ampibi, karena bisa menggunakan air maupun tisu. Kalau tidak ada air pembersihnya bisa pakai tisu. WC-nya itu dibuat seperti cemplung tetapi sehat, di mana serangga, termasuk lalat, tidak bisa keluar masuk. Sebab lubangnya ada penutupnya. Kalau ingin menggunakan closet, closet-nya tinggal ditanam. Itulah kelebihan WC ampibi. Setelah didemonstrasikan cara membuat WC yang murah akhirnya mereka mau membuat WC sendiri. Konsep WC ini bahkan dijadikan thesis Dr. Budi sewaktu sekolah master di Queensland University of Technology (QUT) Australia. Oleh Pembimbingnya, konsep ini disebut BALATRINE singaktan dari Budi Amphibian Latrine. Bahkan oleh pembimbingnya konsep ini dibiayai risetnya hingga saat ini diterima sebagai pendekatan jamban murah di Indonesia dan internasional.





























Katajaga
Dokter Budi selalu memotivasi para pasiennya maupun warga yang belum punya jamban agar supaya membuat jamban. Mulanya hanya satu dua orang yang mau membuat jamban. Tetapi kalau satu kampung itu beberapa keluarga saja yang punya jamban, sementara lainnya tidak punya, maka hal ini percuma dalam mencegah penyakit menular. Sebab satu keluarga saja tidak BAB yang benar, maka sudah cukup mencemari se kampungnya. Berdasarkan itu maka Ia mengembangkan konsep Katajaga (Kampung Kota Jamban Keluarga). Konsep ini mewajibkan semua orang di Kelurahan harus mempunyai jamban keluarga semua dan menggunakannya. Rantai penyakit bisa terputus bila satu kampung harus berjamban semuanya. Dari konsep ini, maka Ia mencoba memotivasi keluara sekampung untuk punya jamban serentak. Ternyata motivasi masalnya selalu direspon positif sehingga lebih dari 14 kampung (dusun) yang serentak membangun jamban bagi semua yang belum punya dengan biaya stimulan dari dirinya sendiri.

Setelah kampung-kampung banyak berjamban, dr. Budi ingin mengembangkan level yang lebih tinggi, yaitu kelurahan. Makanya programnya ini disebut Kelurahan Kota Jamban Keluarga. Kelak kemudian program ini akan dikembangkan ke atas lagi menjadi Kecamatan Kota Jamban Keluarga. Tetapi dana untuk level kelurahan tidak sedikit. Beruntunglah Prof Donald, supervisornya, mencari dana Internasional untuk membiayai riset dan pengembangan level kelurahan. Jadilah kelurahan Cepoko Gunung pati merupakan kelurahan pertama di Indonesia yang serempak membangun jamban bagi semua. Ini merupakan rekor MURI pertamanya untuk Semarang.

Dokter Budi tampil di Kick Andy.


Semarang

Beberapa kelurahan sejak itu berhasil di-jambanisasikan. Selain dari Prof Donald, ada donasi dari sahabatnya di Rotary club, lab Cito, PLN, dan Alumni Maria Goreti. Dari kolaborasi inilah, Kecamatan Gunung pati menjadi kecamatan pertama di Indonesia yang ber ODF KATAJAGA dengan biaya masyarakat. Walikota Semarang yang melihat gerakan masyarakat ini, ikut bersemangat. Panglima Kodam saat itu, Jendral Sunindyo ikut menyemangati sehingga dengan dana hibah Pemkot, 3 kecamatan di Semarang yaitu, Tembalang, Banyumanik dan Ngalian secara serempak digerakan bersama Kodim Semarang membangun jamban bagi semua keluarga yang belum punya. 3449 keluarga secara serempak membangun jamban keluarga masing masing di bawah pengawasan Kodim dan Yayasan dr.Budi dalam 6 minggu selesai. Ini merupakan rekor nasional MURI untuk pembangunan serempak jamban keluarga. Semua kegiatan ini dilakukan Dr. Budi yang saat itu masih pegawai PNS di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah walau kegiatan ini di luar tugas utamanya. Dukungan dari sahabat dan atasannya sangat menyemangati perjuangan ini.  


Ketika ditanyakan, bagaimana perhatian pemerintah terhadap masalah ini, menurut dr. Budi, pemerintah sudah memperhatikan. Hanya perlu penguatan aksi yang lebih nyata. “Sementara ini di bidang kesehatan masih banyak yang diprioritaskan, sedangkan jamban ini merupakan kegiatan lintas sektor  sehingga kurang terkoordinasi dengan baik. Karena saya memperhatikan jamban merupakan titik kunci kesehatan masyarakat, maka saya mati-matian memperjuangakan hingga kegiatan kantor terbengkelai. Akhirnya tugas di kantor saya korbankan, karena tantangan yang harus dikerjakan ke depan makin besar untuk Indonesia, maka saya minta pensiun dini, karena saya pingin total terjun ke masyarakat,” jelasnya.
 
Budi Laksono menggendong anak kecil, salah satu korban gempa Tsunami di Aceh yang selamat.


Menurut catatannya, saat ini di Indonesia yang belum punya jamban ada 24 juta keluarga. Di Jawa Tengah yang belum punya jamban masih ada 3 juta keluarga. Khusus di Semarang, Jawa Tengah, ada kurang lebih 35.000 keluarga yang tidak punya jamban sehat.  Ternyata keluarga yang tidak punya jamban itu tidak hanya mereka yang tinggal di pinggir-pinggir hutan saja. Ia melihat di Kota Semarang pun ternyata masih banyak keluarga yang belum punya jamban. “Sehingga mereka buang air besar di sungai, bahkan ada yang di selokan. Ada juga yang buang air besar di rumah, tapi kotorannya langsung masuk selokan. Begitu nanti musim kering, tidak ada air, baru tetangganya bengok-bengok,” ungkapnya.



Empat faktor

Menurut dr. Budi ada 4 faktor yang menyebabkan warga belum punya WC. Pertama, memang dari internal orang itu. Pendidikan yang rendah, informasi kesehatan yang kurang sehingga pengetahan kesehatan dan sanitasi serta kesadaran yang rendah. Banyak orang tidak punya pengetahuan. “Saya tanya, tahu nggak kalau kotoran itu mengandung bibit penyakit? Ia menjawab tidak tahu, apalagi kira-kira berapa kuman, virus di kotoran?. Tahu nggak kalau makanan yang dihinggapi lalat nanti bisa menimbulkan penyakit? Jawabannya banyak yang tidak tahu. Bahkan saya tanya, penyakit tipus itu karena apa? Warga banyak salah dan tidak tahu,” katanya. Menurut dr. Budi, tipes itu adalah penyakit menular yang ditimbulkan dari kuman dari kotoran yang masuk ke mulut kita lewat cemaran air, lalat dll. Itu mereka pada tidak tahu. Bagaimana mencegah tipus? Warga juga tidak tahu. Jadi warga tidak bisa menjaga kebersihan karena ketidaktahuan.



Kedua, ekonominya. Banyak keluarga tidak punya wc karena tidak mampu membuat jamban. faktor ini juga diperberat oleh pemahaman bahwa membuat jamban itu mahal. Hal ini berhubungan dengan faktor ketiga yaitu teknik jamban percontohan.  Sejak dulu teknik jamban dibuat dengan konsep mahal dari pada kemampuan ekonmi masyarakat. Masyarakat tidak dipahamkan konsep dasar sanitasi, septic tank seperti apa yang sehat. Teknik yang dikenalkan pokoknya sesuai dengan apa yang dikatakan orang pemerintah. Padahal untuk membuat jamban sehat  bisa dari tanpa uang hingga jutaan. Ada orang yang sudah sadar, tetapi tidak punya uang untuk membuat jamban. Karena ngertinya biaya membuat jamban atau WC itu mahal, harus berdinding tembok dan sebagainya. Sementara penghasilan mereka untuk makan saja sudah terbatas, apalagi harus bayar angsuran motor dan sebagainya. Uang untuk jamban prioritas terakhir tapi tidak pernah terwujud.



Keempat, kondisi alamnya memungkinkan orang untuk buang air besar sembarangan. Orang-orang kota sekarang ini mudah sekali buang air besar ke selokan, karena selokannya bagus-bagus dan menurut mereka enak buat buang hajat di sana. Apalagi ada sungai dan kebun. Selain itu alamnya kadang-kadang tidak menyediakan air yang cukup. Dari pada buang air besar di WC yang tidak ada airnya mending buang hajatnya di sungai sekalian, di sana sekaligus bisa mandi. Ada orang Semarang yang masih seperti itu.



Kelima, birokrasi. Saat ini jajaran birokrasi belum mampu melihat pentingnya sanitasi dalam pembangunan. Akibat dari itu, anggaran sanitasi masih rendah, standart hukum sanitasi tidak ada. Ketidakadanya peraturan yang memaksa perubahan perilaku sehat membuat masyarakat tidak berubah perilakunya dari buang air sembarangan ke yang baik. Di negara yang baik, orang buang air semabrangan bisa dihukum. Tetapi secara bersamaan, fasiltitas sanitasi dibiayai tinggi dan disediakan di banyak tempat.


Belum dianggap kriminal
Orang buang air besar sembarangan di Indonesia belum dianggap kriminal, meskipun itu sudah menyakiti, bahkan membunuh orang banyak. Padahal di negara lain orang buang air besar sembarangan bisa dihukum. Orang tidak punya WC di rumah bisa dihukum. Di Indonesia banyak orang yang tidak punya WC, tidak ada yang dihukum. Di Singapura buang air sembarangan langsung didenda.

Tahun 2016 kemarin, beberapa saat setelah pensiun, Dr. Budi mengkampanyekan jamban bagi semua keluarga dengan jalan kaki 450 km dari Semarang ke Jakarta. 17 hari dilalui di jalanan sambil kampanyekan jamban bagi semua. Di setiap kota, Ia singgah di Bupati dan Walikota untuk memaparkan banyaknya jamban yang belum dimiliki keluarga di kota dan kab tersebut, dampak dan solusinya. Dr. Budi pensiun dini karena ingin fokus menggeluti jamban ini untuk masyarakat. “Alhamdulillah, sekarang sudah menjadi gerakan nasional,” jelasnya. Sekarang di TNI AD (Angkatan Darat) gerakan jamban ini sudah menjadi gerakan TNI AD di seluruh Indonesia. Sekarang kementerian-kementerian tertentu sudah mengabdosi gerakan ini. Beberapa kabupaten dan kota sekarang sudah melihat pentingnya punya jamban.
 





























Muhammad Anwari SN
Budi Laksono diwawancarai penulis buku "Kisah Inspiratif Orang Indonesia" Muhammad Anwari SN pada Kamis, 8 Juni 2017. Muhammad Anwari SN melayani penulisan biografi dan profil company untuk dimuat di internet dan dibuat buku. Hubungi 081390070083 atau 087731383338.



Biodata Budi Laksono


Nama lengkap + gelar : DR. dr. Budi Laksono, MHSc.




Nama panggilan : Dokter Budi.






Tempat, tgl lahir : Semarang, 6 Maret 1963.





Agama
: Islam.







Ayah
: Bits Sutrasno (almarhum).





Ibu

: Sulastri.







Istri

: Dra. Sri Peni Herawati, M.Hum




Anak :










1. Idam Abioga.









2. Dini Astungkari.









3. Datu Laksita Peni.








4. Alfan Budiatma.






















Riwayat pendidikan :








* SD Kanisius Kobong II  Semarang.






* SMP Kanisius  Raden Patah Semarang.






* SMA  3 Semarang.








* Dokter FK Undip Semarang.







* Master Kesh Reproduksi Queensland Univ of Tech Australia.



* Doktor Undip.






















Pengalaman kerja :









* Dokter Puskesmas.








* Staf dinas Kesehatan Kab Pekalongan.






* Staf Dinas Kesehatan Proivinsi Jateng.






* Dosen Pasca sarjana Undip.







* Dosen Pasca sarjana Unnes.







* Dosen tamu Griffith University.



















Penghargaan :









1 Dokter teladan Kab Pekalongan.






2 Dokter teladan karesidenan Pekalongan.





3 Dokter teladan jateng 1997.







4 Dokter berprestasi IDI.







5 Donor darah sukarela 25 dan 50 kali.






6 Relawan bencana alam Aceh.







7 Relawan bencana alam Bantul.






8 Relawan bencana alam Tacloban Philipina.





9 MDGS AWARD FOR HIV/AIDS prevention and care 2012.




10 MDGS AWARD FOR SANITATION 2014.






11 Rotary change maker 2013.







12 BNN (NATIONAL BOARD ANTI-DRUG BEREAU) Award for drug use prevention and care services 2013.
13 Pemkot Semarang : Dokter peduli kemasyarakatan.




14 KALPATARU NATIONAL ENVIRONMENT AWARD 2014.




15 MURI PEMBANGUNAN JAMBAN 3 KALI.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Erick Thohir

  Menteri BUMN (2019-2024)   Dari Media, Olah Raga sampai Sarinah Ditulis Muhammad Anwari SN. Saat ini Erick Thohir masih menjabat Menteri B...