Sabtu, 12 Januari 2019

Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud MD, SH, SU.


Mengajar
Cita-citanya sejak kecil

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, saat berpose di depan kamera Beritagar.id pada Rabu (26/06/2017) di Kantor MMD Institute, Jakarta Pusat. Beritagar.id /Bismo Agung


Masa kecil di Waru
Nama lengkapnya Mohammad Mahfud MD. Nama “Mahfud” artinya “orang yang terjaga”. Dengan nama itu diharapkan Mahfud senantiasa terjaga dari hal-hal yang buruk. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara. Lahir 13 Mei 1957 di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur dari pasangan Mahmodin dan Siti Khadidjah. Ayahnya, Mahmodin, berasal dari Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang. Mahmodin lebih dikenal dengan panggilan Pak Emmo (suku kata kedua dari Mah-mo-din, yang ditambahi awalan em). Dalam bislit pengangkatannya sebagai pegawai negeri, Emmo diberi nama lengkap oleh pemerintah menjadi Emmo Prawiro Truno.

Sebagai pegawai rendahan, Mahmodin (ayah Mahfud MD) kerap berpindah-pindah tugas. Maka anak-anaknya lahir berceceran di kecamatan atau kabupaten yang berbeda-beda. Mahfud dilahirkan ketika Mahmodin bertugas di Kecamatan Omben. Ketika Mahfud berusia dua bulan, keluarga Mahmodin berpindah lagi ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud menghabiskan masa kecilnya dan memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai belajar dari surau sampai lulus SD. Lingkungan tempat tinggalnya sangat kental dengan budaya Nahdlatul Ulama (NU). Ia menjadi anak yang pintar dan saleh. Ayahnya kerap mengajaknya berkunjung ke rumah para kiai.

Sebenarnya jalan hidup Mahfud sangat jauh dari cita-cita masa kecil. Dulu cita-citanya hanya ingin menjadi guru agama. Tapi yang sudah dicapainya sekarang malah jauh melampaui dari yang dicita-citakan dulu. Ia tak pernah membayangkan jika akhirnya bisa masuk ke pemerintahan.

Tapi Mahfud juga punya jiwa pemberontak. Ketika banyak temannya yang berkutat dengan buku pelajaran, ia memilih membaca buku komik kesukaannya, Kho Ping Hoo. Ia juga suka menonton sandiwara. Padahal menurut sebagian besar orang Madura kala itu, pertunjukan tersebut dilarang agama karena menampilkan laki-laki yang berpakaian perempuan. Tapi ia malah ikut bermain drama dan mengatur adegan para pemainnya.

Cerita ayah tentang Sulaiman
Keluarga Mahmodin adalah keluarga yang sangat sederhana dan secara ekonomi hidup pas-pasan. Penghasilannya sebagai pegawai negeri golongan II tidak mencukupi untuk membiayai kehidupan keluarga sehari-hari. Tetapi ia bekerja keras agar anak-anaknya dapat menempuh pendidikan yang baik.

Mahmodin selalu mengatakan kepada anak-anakanya agar meniru Nabi Sulaiman dalam memilih jalan hidup. Entah dari mana sumbernya, ia selalu bercerita pada anak-anaknya bahwa ketika masih sangat muda Nabi Sulaiman pernah ditawari Allah empat macam yaitu (1) harta, (2) kedudukan, (3) perempuan cantik, dan (4) ilmu. Yang mana pun yang dipilih pasti akan Allah kabulkan. Tapi Nabi Sulaiman malah memilih yang terakhir yaitu ilmu. Nabi Sulaiman minta kepada Allah agar diberi ilmu yang banyak, termasuk ilmu bahasa makhluk-makhluk selain manusia. Kata Mahmodin pada anak-anaknya, pilihan Sulaiman pada ilmu harus ditiru. Sebab dengan memilih dan memiliki ilmu yang banyak Nabi Sulaiman dapat memiliki segalanya. Jabatan sebagai raja diperolehnya, kekayaan yang tak ternilai jumlahnya dimilikinya dan Ratu Balqis yang cantik tunduk ke pangkuannya dan mau menjadi istrinya.

Jadi dalam mendidik anak-anaknya Mahmodin memegang falsafah Nabi Sulaiman bahwa ”ilmu” adalah kunci untuk mendapat segalanya. Karena konteksnya cerita tentang Nabi Sulaiman, tentu ilmu yang dimaksud adalah ilmu berdasarkan pada nilai-nilai keimanan.

Dengan falsafah seperti itulah Mahmodin mau melakukan pekerjaan seberat apa pun demi mendapatkan biaya pendidikan anak-anaknya yang mencari ilmu. Mahmodin sampai harus bertani tembakau siang dan malam, menjadi penyalur pupuk ke petani di desa karena berharap mendapat upah, bahkan sampai harus mencari hutangan ke sana ke mari untuk membiayai anak-anaknya mencari ilmu.

Mahfud melihat kegandrungan ayahnya pada ilmu itu menjadi kekuatannya dalam membesarkan anak-anaknya. Ada pengalaman lucu ketika masih kecil. Ada kalanya ia suka mengambil uang di saku ayahnya tanpa izin. Ayahnya marah-marah setelah mengetahuinya. Ia kemudian mengaku bahwa uang yang diambilnya itu untuk membeli buku agama. Ayahnya langsung berhenti marah. Bagi sang ayah, tak apalah uangnya diambil anaknya secara diam-diam kalau memang digunakan membeli buku keperluan sekolah atau pondok pesantren. Padahal uang itu telah digunakan untuk jajan atau membeli mainan layaknya anak kecil dan remaja tanggung.

Ayah masuk penjara
Kejadian yang cukup membuat Mahfud trauma adalah ketika ayahnya, Mahmodin, masuk penjara. Penyebabnya, Mahmodin mencoblos Partai Nahdlatul Ulama (NU) pada pemilihan umum 1971. Gara-gara peristiwa itu ia jadi kecut hati setiap melihat seragam militer. Tapi tidak dinyana justru ia akhirnya sempat menjadi Menteri Pertahanan. Semua itu tak pernah ia duga sebelumnya. "Jadi menteri untuk Gus Dur memang surprise sekali. Tuhan-lah yang menghendaki hal itu terjadi,” katanya.

SD
Mahfud mengenyam pendidikan agama dan umum. Pendidikan dasar dan agama dijalani di Madrasah Diniyyah di Desa Waru, utara Pamekasan dan di surau di desanya. Masuk usia tujuh tahun, ia sudah sibuk belajar setiap harinya. Pagi menjalani pendidikan Sekolah Dasar, siang istirahat, sorenya belajar di Madrasah Ibtidaiyah, dan malam hingga pagi dihabiskan waktunya belajar di surau.

Ponpes
Saat memasuki kelas V Mahfud dikirim ke pondok pesantren (ponpes) di Desa Tagangser Laok untuk mendalami agama. Sehingga ia harus pindah dari SD Waru ke SD Tagangser Laok yang memiliki pondok pesantren bernama Somber Lagah. Ponpes Somber Lagah adalah pondok pesantren salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiai keluaran Ponpes Temporejo atau Temporan. Ponpes ini sekarang berganti nama menjadi Ponpes Al Mardhiyyah, memakai nama pendirinya Kiai Mardhiyyan yang wafat pada pertengahan tahun 1980-an.

SPGA
Setamat dari SD, Mahfud dikirim belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (SPGA) Negeri di Pamekasan, meskipun hasil ujiannya membuka peluang baginya untuk masuk di SMP favorit. Di sana ia menempuh pendidikan empat tahun. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagi orang Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kiai atau guru agama.

Di sinilah awal mula munculnya inisial “MD” di belakang nama Mahfud. Inisial ini singkatan dari nama ayahnya, Mahmodin, bukan nama gelar akademik.

Sebelumnya dari lahir sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Inisial itu baru dipakai setelah memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya setelah masuk SPGA. Sebab di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad Mahfud. Wali kelasnya meminta agar di belakang nama Mahfud diberi tanda A, B, atau C. Berhubung kode tersebut seperti nomer becak, wali kelas meminta untuk menambahkan nama ayahnya di belakang nama Mahfud. Sehingga Mahfud menjadi Mahfud Mahmodin. Sedangkan teman sekelasnya ada yang bernama Mahfud Musyaffa’ dan Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud Mahmodin terdengar kurang keren. Maka Mahmodin disingkat menjadi MD.

Tambahan nama inisial itu semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP (SPGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA, Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari situlah nama resmi Mahfud menjadi Mohammad Mahfud MD.

PHIN
Setelah lulus SPGA 4 tahun (1974) Mahfud terpilih masuk ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama  di Yogyakarta yang merekrut lulusan terbaik dari SPGA dan MTs seluruh Indonesia. Mantan menteri koperasi Zarkasih Noer, mantan menteri sekretaris negara Djohan Effendi, tokoh Majelis Ulama Amidhan, dan wakil ketua DPR Muhaimin Iskandar adalah lulusan dari PHIN yang kemudian diubah menjadi Madrasah Aliyah Program Khusus ini.

UII
Tamat PHIN (1978), kalau mendapatkan beasiswa Mahfud ingin melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an) di Mesir. Sambil menunggu persetujuan beasiswa, ia mencoba kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tapi berhubung telanjur betah di Fakultas Hukum, ia memutuskan meneruskan pendidikan ke Fakultas Hukum UII yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas Sastra dan Budaya UGM Jurusan Sastra Arab. Namun kuliahnya di Fakutas Sastra tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu tidak lebih dari yang didapat di pesantren dulu.

Mengingat kemampuan ekonomi orang tua yang pas-pasan, ia giat mencari biaya kuliah sendiri termasuk gigih mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit baginya. Ia aktif menulis di pers kampus dan koran-koran umum seperti koran Kedaulatan Rakyat dan koran Masa Kini. Tulisan-tulisannya yang dimuat di Kedaulatan Rakyat dan Masa Kini, semua mendapat honorarium.
Ketika menempuh program S1 Mahfud memperoleh tiga beasiswa masing-masing dari Rektor UII, Yayasan Dharma Siswa Madura, dan Yayasan Supersemar.  Ketika menempuh pendidikan S2 di UGM ia mendapat beasiswa penuh dari UII sebagai perguruan tinggi yang mensponsori studinya. Sedangkan pada saat menempuh pendidikan S3 di UGM ia mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mencari beasiswa memang tidak terlalu sulit bagi Mahfud. Sebab nilai hasil studinya tak pernah mengecewakan. Ia pernah dinobatkan dan diberi beasiswa penuh oleh Rektor UII karena terpilih sebagai mahasiswa berprestasi terbaik untuk angkatannya di universitas yang didirikan tahun 1945 itu. Ia juga lulus sebagai sarjana dari UII dengan predikat lulusan terbaik (cum laude).

Konsentrasi studinya di bidang hukum terfokus pada studi bidang Hukum Tata Negara.  Pendidikan pasca sarjananya ditempuh di program pasca sarjana S2 UGM  dalam bidang studi Ilmu Politik dan program pasca sarjana S3 (doktor) dalam bidang studi Ilmu Hukum Tata Negara, juga di UGM.

Sejak SMP Mahfud remaja tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Dari situlah tumbuhnya bibit-bibit kecintaannya pada politik. Setelah kuliah kecintaannya pada politik semakin membuncah. Kemudian disalurkan dengan mengikuti kegiatan di berbagai organisasi kemahasiswaan intra universitas seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa.

HMI
Mahfud pernah aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh pemahamannya terhadap medan politik di UII. Saat itu untuk bisa menjadi pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel sebagai aktivis HMI.

Pers Mahasiswa
Ketika mahasiswa Mahfud aktif di berbagai organisasi mahasiswa seperti senat mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa. Namun yang paling ia tekuni hanya Lembaga Pers Mahasiswa. Sejarah mencatat ia pernah menjadi pimpinan di majalah mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum) dan majalah mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama dibreidel Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel Menteri Penerangan Ali Moertopo (1983). Sejak mahasiswa ia sudah aktif menulis di berbagai media massa terutama yang menyangkut soal politik dan hukum.

Dosen
Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1983), Mahfud kepingin menjadi dosen di almamaternya. Keinginannya itu kesampaian. Tahun 1984 ia mulai merintis karir dosennya di Fakultas Hukum UII dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ia kemudian terpilih sebagai salah seorang Dosen Teladan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pernah juga terpilih sebagai dosen yang paling produktif menulis ilmiah selama tiga tahun berturut-turut.

S2 Ilmu Politik
Setelah sekian waktu menggeluti ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, ia menilai hukum selalu dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, ia termotivasi ingin belajar Ilmu Politik. Menurutnya, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya karena selalu diintervensi politik. Ia melihat bahwa energi politik selalu lebih kuat dari pada energi hukum. Sehingga ia ingin belajar ilmu politik. Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki Program Pasca Sarjana S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun 1985 di UGM, ia tanpa ragu-ragu segera mendaftar. Di UGM, ia menerima kuliah dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin, Amien Rais, dan lain-lain.

Doktor pertama
Keputusannya mengambil Ilmu Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara bukan tanpa konsekuensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Maka selepas lulus Program S-2 Ilmu Politik, ia menempuh pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.

Dalam sejarah pendidikan doktor di UGM Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan studinya dengan cepat. Pendidikan S3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang studi Ilmu-ilmu Sosial di UGM hampir tidak ada yang dapat menyelesaikan studi secepat itu, rata-rata pendidikan doktor baru dapat diselesaikan di atas 5 tahun. Tentang kecepatannya menyelesaikan studi S3 ia mengaku bukan karena dirinya pandai atau memiliki keistimewaan tertentu, melainkan karena ketekunan dan dukungan dari para promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono, dan Prof. Affan Gaffar.

Selain selalu tekun membaca dan menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut juga mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka tentang politik dan hukum selama satu tahun.

Ketika melakukan studi pustaka di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York, Mahfud berkumpul dengan Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII. Sedangkan ketika menjadi peneliti akademik di Northern Illinois University, Mahfud berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang pernah menjadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi Mallarangeng menjadi Ketua Perhimpunan Muslim di wilayah itu. Sehingga Mahfud diberi satu kamar tanpa menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga mahasiswa muslim di berbagai negara. Perjalanan karier pekerjaan dan jabatannya termasuk langka dan tidak lazim karena begitu luar biasa.

Mahfud tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Ia meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya kemudian menjadi mahasiswanya atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana.

Pada 1986-1988, Mahfud dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara FH UII, dan berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UII dari 1988 hingga 1990.

Berikutnya, jabatan sebagai Direktur Karyasiswa UII dijalani dari 1991 sampai 1993. Pada 1994, UII memilihnya sebagai Pembantu Rektor I untuk masa jabatan 1994-1998. Di tahun 1997-1999, ia tercatat sebagai Anggota Panelis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Ia sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 ia juga menjabat sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.

Guru besar termuda
Didukung karya tulisnya yang sangat banyak, baik berupa buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, Mahfud melompat dari Lektor Madya langsung menjadi guru besar (profesor). Jabatan guru besar ini diperolehnya tanggal 1 November 1999 berdasarkan SK Mendinas Nomor 84193/A2.IV.1/KP/1999. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih gelar guru besar, ia hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Sesuatu yang cukup berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu tersebut, ia memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru Besar. Pencapain itu diraihnya saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak heran jika pada waktu itu, ia tergolong Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra yang juga meraih gelar Guru Besar pada usia muda. Ia adalah guru besar Ilmu Politik Hukum yang  pertama dan satu-satunya di Indonesia.

Dalam  meraih jabatan  guru besar Mahfud meraihnya dengan dua loncatan jabatan akademik, tidak melalui delapan tangga jabatan satu persatu. Oleh sebab itu tidak seperti umumnya dosen lain yang biasanya baru meraih jabatan profesor setelah usia tua. Ia meraih jabatan itu ketika baru melewati usianya yang ke 40 tahun.  Mula-mula ia diangkat menjadi Asisten Ahli Madya tahun 1987. Setelah lulus doktor (1993) langsung meraih jabatan Lektor Madya (melompati jabatan asisten ahli dan lektor muda). Setelah itu langsung meloncat ke guru besar (profesor) tanpa harus singgah dulu di jabatan Lektor, Lektor Kepala Madya, dan Lektor Kepala.

Loncatan-loncatan jabatan seperti itu memang dimungkinkan sejak pertengahan tahun 1990-an bagi para dosen yang mampu menghimpun prestasi yang dapat dinilai dengan sejumlah kum (CCP, Comulative Credit Point) yang meliputi kegiatan perkuliahan, penelitian dan karya tulis, pengabdian pada masyarakat, dan kum penunjang. Sebagai mantan aktivis ia mampu meraih kum tinggi karena sangat aktif mengajar, banyak meneliti, menulis buku,  menulis makalah untuk jurnal ilmiah atau untuk berbagai seminar serta aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Sampai tahun 1999 hanya Yusril Ihza Mahendra dan Mahfud MD yang tercatat memperoleh derajat guru besar termuda dalam bidang ilmu hukum. Setelah itu disusul generasi yang lebih muda seperti Hikmahanto Juwana dan Satya Arinanto, keduanya adalah dosen Fakultas Hukum UI.

Dari PAN pindah ke PKB
Ingin mencoba dunia baru, Mahfud MD terjun ke politik praktis. Ia sempat menjadi Ketua Departemen Hukum dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) di awal-awal partai itu dibentuk dimana dirinya juga turut membidani. Tapi kemudian keluar dari PAN dan kembali ke kampus menekuni dunia akademis.

Meski memulai karier di PAN, Mahfud tak meneruskan langkahnya di partai yang ia deklarasikan itu. Ia memilih bergabung dengan mentornya, Gus Dur, di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tidak menunggu lama, ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005. Di tengah-tengah kesibukan berpolitik, ia dipinang Universitas Islam Kadiri (Uniska) Kediri untuk menjadi Rektor periode 2003-2006. Meski bersedia, namun tidak lama kemudian mengundurkan diri karena khawatir tidak dapat berbuat optimal akibat kesibukan dan domisilinya yang di luar Kediri.

Kiprahnya di dunia politik berlanjut, Mahfud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008. Ia bertugas di Komisi III DPR sejak 2004 bersama koleganya di Fraksi Kebangkitan Bangsa. Namun sejak 2008, ia berpindah ke Komisi I DPR. Di samping menjadi anggota legislatif, sejak 2006 ia juga menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham).

Hakim Konstitusi
Belum puas berkarier di eksekutif dan legislatif, Mahfud pingin mengabdi di ranah yudikatif menjadi hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan bersama 16 calon hakim konstitusi di Komisi III DPR akhirnya ia bersama Akil Mochtar dan Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi hakim konstitusi dari jalur DPR. Ia terpilih menggantikan hakim konstitusi Achmad Roestandi yang memasuki masa purna tugas. Pada 1 April 2008 Mahfud dilantik menjadi Hakim Konstitusi  berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 14/P/Tahun 2008 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2008.

Ketua Mahkamah Konstitusi
Setelah 4,5 tahun di DPR, Mahfud terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011 tepatnya Selasa 19 Agustus 2008. Ia menggantikan ketua sebelumnya, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH (sekarang Ketua Umum ICMI). Pemilihan Ketua MK berlangsung terbuka di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam pemungutan suara, Mahfud menang tipis, satu suara yakni mendapat 5 suara sedang Jimly 4 suara. Secara resmi, Mahfud dilantik dan mengangkat sumpah Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, pada Kamis 21 Agustus 2008.

"Saya merasa mendapat tempat yang cocok di Mahkamah Konstitusi," ujarnya. Gus Dur juga salah satu orang yang menyokongnya untuk mendapat posisi tersebut. Saat menjadi Ketua MK, Mahfud mengatakan, ia mendapat tempat terhormat. Ia tak memiliki atasan dan dapat membuat keputusan yang sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya. Sebaliknya kalau di DPR, ia justru menilai hidupnya paling menderita. Idenya mati. Pikirannya boleh bagus, tapi semua bisa hilang dalam sekejap karena keputusan politik. "Apalagi kalau ketua fraksi sudah memutuskan kebijakan berbeda, pasti kalah kita," katanya.

Mengajar
Di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua MK, Mahfud selalu menyempatkan waktunya untuk mengajar, biasanya di hari Sabtu dan Minggu. Ia terbiasa dengan kondisi demikian, sebab dari awal karier, dirinya memang berkeinginan menjadi pengajar, jiwa yang dimiliki adalah jiwa untuk mengajar. Hal ini sudah tampak sejak dirinya masih kecil bercita-cita ingin menjadi guru ngaji. Setelah kuliah, ia ingin menjadi dosen, karena suka melihat dosen-dosen yang kreatif dan suka berdebat. Bahkan ia sering bolos bila dosen yang mengajar adalah dosen yang tidak kreatif.

Saat ini Mahfud sudah melepas kedudukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tetapi dirinya masih tetap menggunakan kewenangan akademiknya sebagai guru besar untuk tetap mengajar di berbagai perguruan tinggi. Sebab ketika memasuki jabatan-jabatan politik tertentu seorang pegawai negeri memang harus melepas statusnya sebagai pegawai negeri. Tetapi kewenangannya untuk terus mengajar sebagai guru besar tetap diakui oleh negara. Ini sesuai dengan kebijakan bahwa kedudukan sebagai pegawai negeri tidak dapat dirangkap dengan jabatan politik tertentu, tetapi kewenangan  mengajar sebagai cermin keahlian yang telah diraihnya tidak dapat dicabut.

Sampai sekarang Mahfud masih aktif mengajar di berbagai program pasca sarjana seperti di UII (Yogyakarta), UGM (Yogyakarta), UI (Jakarta), Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Jenderal Soedirman (Purwokero), Universitas Mataram (Mataram), UMS (Surakarta), Uniska (Kediri), Unisda (Lamongan),  Unilak dan UIR (Pekanbaru). Selain itu menjadi oponen ahli serta penguji untuk program doktor di Universitas Padjadjaran (Bandung), Universitas Airlangga, UIN Ar Raniry dan University of Malaya.

“Untuk menjadi dosen tidak harus menjadi pegawai negeri. Banyak guru besar yang sudah tidak lagi menjadi pegawai negeri, misalnya karena pensiun, tetapi masih aktif mengajar karena kewenangan sebagai guru besar terus melekat,” jawab Mahfud ketika ditanya alasannya untuk terus mengajar.

Banyak yang bertanya, bagaimana bisa memenuhi tugas-tugas mengajar di banyak univesitas padahal sehari-hari Mahfud adalah politisi anggota DPR. Mahfud menjelaskan, bahwa itu tidak sulit dilakukan. Kegiatan mengajar di universitas dilakukan hari Jum’at sampai Minggu. Sedangkan aktivitasnya sebagai anggota DPR dilakukan pada sidang-sidang hari Senin sampai Kamis sesuai dengan jadwal di DPR. Sekali datang ke kampus biasanya mengajar sampai empat sesi dari pagi sampai malam. Sehingga setiap kampus dapat digilir untuk didatangi sebulan sekali tanpa mengurangi jam yang wajib diisi. Selain itu pada saat ia tak datang ke kampus karena jadwal mengajarnya sudah diropel para asistennya meneruskan pendalaman-pendalaman materi.

Mahfud mengaku menikmati profesi gandanya sebagai akademisi dan politisi, bukan karena uang yang dapat diperolehnya, melainkan karena keasyikan mempertemukan teori di kampus dengan kenyataan praktis di lapangan. Dari kedudukan sebagai akademisi ia bisa bergelut dengan teori-teori dan kajian-kajian bersama para mahasiswa. Tetapi dari kedudukan sebagai politisi ia dapat menggali dan mengenali tuntutan-tuntutan riil di lapangan.

Deputi Menteri negara
Sejak hijrah ke Jakarta, karier Mahfud kian cemerlang. Ia tak hanya memiliki rekam jejak yang bagus di bidang akademik, tetapi juga berhasil masuk ke jajaran birokrasi eksekutif pusat antara tahun 1999-2000. Ia didaulat menjadi Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM (Eselon I B). Sementara itu, di tahun 2000 ia diangkat dengan jabatan Eselon I A sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM. Tugasnya seputar bidang produk legilasi urusan HAM.

Montang-manting Yogya - Jakarta
Mahfud sama sekali tak pernah menduga kejadian di bulan Agustus 2000 di rumah Jalan Irian, Menteng, Jakarta Pusat, tempat Gus Dur menerima para tamu di luar jam kerja.

Tiga hari sebelumnya, Mahfud menerima telepon dari Menteri Sekretaris Negara Djohan Effendi. Pesan di telpon itu jelas. "Gus Dur mau bertemu Bapak. Sabtu ini Bapak ditunggu di Istana jam delapan pagi," kata Djohan.

Esok paginya Mahfud dari Yogyakarta berangkat ke Jakarta dengan pesawat pukul enam pagi. Krisis moneter kala itu membuat kursi pesawat banyak yang kosong. Ia bisa langsung datang ke bandar udara dan membeli tiket. Tapi sampai di Jakarta, ia langsung balik lagi ke Yogyakarta karena ternyata Gus Dur berada di Kota Gudeg tersebut. "Ia mau nonton wayang dengan rektor UGM (Ichlasul Amal) dan Sri Sultan," ujarnya.

Pesan singkat dan telpon ke ajudan Gus Dur tak mendapat respons. Mahfud kembali ke rumahnya yang tak jauh dari Bandara Adi Sucipto dengan rasa penasaran. Ia menduga Sang Presiden akan memberi jabatan. Tapi menjadi menteri tak pernah terlintas dalam benaknya. Ia justru menduga akan diangkat menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Senin pagi ia kembali ke Jakarta untuk menemui Alwi Shihab, atas saran temannya yang anggota DPR, Tari Siwi Utami. Sebenarnya ia ke Jakarta juga untuk menghadiri acara pernikahan anak teman satu kampus di UII Yogyakarta, Henry Yosodiningrat.

"Ente dipanggil Gus Dur?" tanya Alwi di kantor Kementerian Luar Negeri, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat.

Mahfud mengiyakan. Lalu, karena tak punya kartu nama, Mahfud menuliskan namanya di secarik kertas.

"Gini, ente mungkin jadi menteri. Mau jadi menteri apa?" tanya Alwi.
"Saya ini guru besar, bisa jadi Menteri Pendidikan. Saya juga ahli hukum, bisa Menteri Kehakiman juga," ujar Mahfud.

Alwi kemudian mengatakan untuk menunggu kabar dari Gus Dur. Pembicaraan mereka selesai sampai di situ. Mahfud lalu pergi ke acara mantenan kawannya. Setelah itu ia kembali ke Yogyakarta.

Malamnya, telpon Mahfud berdering. Tari menghubunginya dan memintanya kembali ke Jakarta karena Gus Dur mau bertemu. "Loh, orang kalau dipanggil Presiden ya harus tunggu, pasti dapat jabatan," kata lawan bicaranya itu.

Esok paginya, Mahfud kembali ke Jakarta untuk ketiga kalinya dalam empat hari. Sekitar pukul delapan malam, ia akhirnya bertemu Gus Dur. Perdebatan soal jabatan menteri pertahanan itu pun terjadi.

Negosiasi jabatan menteri
"Pak Presiden, Kementerian Pertanahan kan sudah dibubarkan," kata Mahfud mengingatkan.

"Saya tahu itu bubar," jawab Sang Presiden. "Kamu bukan jadi Menteri Pertanahan tapi Menteri Pertahanan,” lanjut Sang Presiden.

Sontak saja Mahfud kaget mendengar ucapan yang keluar dari mulut presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman "Gus Dur" Wahid. Ia merasa bagai mimpi, tapi lawan bicaranya itu serius mengatakan kabar yang seharusnya membuatnya gembira tersebut.

"Saya tidak mengerti militer, tidak pernah belajar soal tentara," kata Mahfud. Ketika itu ia sudah menjadi guru besar hukum tata negara di UII Yogyakarta.

"Kamu kan profesor, belajar 1-2 hari pasti bisa. Kamu datang saja ke Yudhoyono (Menteri Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono). Belajar sama dia. Dia pintar," ujar Gus Dur.

"Lah bagaimana Menteri Pertahanan belajar sama Mentamben?" ujar Mahfud.
"Dia akan menjadi Menkopolsoskam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan). Satu koordinasi dengan Pak Mahfud," kata Gus Dur.

Mahfud tetap ngeyel. Ia menawar untuk jadi menteri hukum. Gus Dur menolak. "Yusril (Yusril Ihza Mahendra) sudah senang di sana," katanya.

“Kalau gitu, saya bersedia menggantikan posisi Marsillam Simanjuntak sebagai Sekretaris Kabinet,” usul Mahfud.
"Saya lebih cocok dia (Marsillam)," ujar Gus Dur.
"Jadi menteri negara urusan HAM (hak asasi manusia) saja karena sekarang saya jadi deputi di sana," tawar Mahfud lagi.
"Ndak bisa, kementeriannya mau saya bubarkan," kata Gus Dur.

Mahfud terperangah lagi dengan perkataan itu. Padahal baru dua hari lalu ia diangkat menjadi Deputi Menteri HAM yang keputusannya ditandatangani oleh Gus Dur. Bahkan Menteri HAM kala itu Hasballah M Saad tak tahu rencana pembubaran kementeriannya.

"Pak, saya tidak punya latar belakang militer. Kalau hukum, sudahlah saya bantu, Pak Presiden," lagi-lagi Mahfud mencoba bernegosiasi.

Gus Dur tak kalah ngeyel. Ia tetap punya dalih untuk menguatkan keputusannya. "Saya yang tidak punya latar belakang presiden bisa kok jadi presiden," katanya berkukuh. Suasana langsung cair ketika Gus Dur mengatakan hal setengah guyon tersebut.

Menteri Luar Negeri Alwi Shihab yang duduk di samping Mahfud lalu memberi isyarat dengan menepuk-nepuk pahanya. Mahfud kemudian mafhum untuk menghentikan argumentasinya. Ia pun menjadi Menteri Pertahanan.

Menteri Pertahanan dan Kehakiman
Pengangkatan Mahfud sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Persatuan Nasional hampir tak dapat dipercaya, bukan saja oleh masyarakat tetapi oleh Mahfud sendiri. Ketika itu ia bukanlah seorang politisi yang terkenal. Ia hanya dikenal baik sebagai akademisi terutama di berbagai Fakultas Hukum. Bahkan ia sendiri tidak tahu kalau Gus Dur benar-benar mengenal dirinya. Pasalnya ia berkenalan secara langsung dengan Gus Dur hanyalah kira-kira 16 tahun sebelum pengangkatannya sebagai menteri, tepatnya pada tahun 1983, dan dalam waktu 16 tahun terakhir sejak itu ia tak pernah lagi ada kontak, apalagi bertemu dengan Gus Dur. Sebelumnya ia menolak jabatan Jaksa Agung yang diberikan Gus Dur, karena merasa tak memiliki kemampuan teknis di posisi tersebut.

Pada tanggal 8 Februari 2001, Presiden Gus Dur memberhentikan Yusril Izha Mahendra yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Maka lowongan posisi tersebut juga disandangkan ke Mahfud MD.  Dua jabatan yang dijalankan Mahfud diakui olehnya sendiri cukup berat. Publik pun mengakui bahwa Mahfud tak pernah efektif menjadi Menteri Kehakiman karena diangkat pada 20 Juli 2001, sedangkan pada Senin 23 Juli Gus Dur lengser. Pada saat itu posisi Mahfud adalah Menteri Kehakiman dan HAM demisioner.

Gus Dur lengser
Pengangkatan Mahfud menjadi Menteri Pertahanan tidak mendapat respon positif dari banyak pihak. Kritik terutama tertuju pada latar belakangnya yang berasal dari bidang hukum, tak sesuai dengan jabatan itu. Apalagi sosok yang ia gantikan pada saat reshuffle kabinet pertama di era Gus Dur tersebut adalah seorang guru besar bidang hubungan internasional, Juwono Sudarsono. Media tak kalah kejam pada dirinya. Ia dianggap memiliki kedekatan tertentu pada Gus Dur sehingga bisa terpilih menjadi menteri. "Media menyebut kami yang akrab dengan beliau sebagai all the president's men," ujarnya.

Padahal komunikasi terakhir Mahfud dengan Gus Dur sebelum peristiwa di Jalan Irian itu terjadi pada 1984.

Kisahnya dimulai tahun 1983 ketika Mahfud lulus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan mulai membantu-bantu Fakultasnya sebagai asisten dosen. Pada saat itu ia mengundang Gus Dur beberapa kali ke kampus UII untuk memberikan kuliah umum atau menjadi pemrasaran diskusi-diskusi.  Ia memang sangat mengagumi kecemerlangan otak dan langkah-langkah Gus Dur sebagai tokoh muda NU. Hampir semua tulisan Gus Dur, berita tentang Gus Dur, bahkan ulasan-ulasan orang tentang Gus Dur selalu diikutinya dengan cermat. Kekaguman yang luar biasa itu kemudian mendorongnya mengundang Gus Dur ke UII. Apalagi UII dulu didirikan oleh tokoh-tokoh Islam lintas organisasi dan perseorangan termasuk kakek dan ayah  Gus  Dur yang tokoh NU yaitu KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim.

Sejak 1983 Mahfud beberapa kali mengundang Gus Dur untuk memberikan ceramah di kampusnya, UII. Kalau Gus Dur hadir ke UII Mahfud-lah yang menjemput ke bandara, mengantarkan ke hotel kelas melati, dan menemaninya makan di warung kecil. Mahfud tak menyangka perbuatannya yang tampak sepele itu tak pernah terlupakan oleh Gus Dur. Tetapi sejak tahun 1983/1984 itu ia tak pernah lagi berhubungan langsung dengan Gus Dur. Ia mengira Gus Dur sudah lupa pada dirinya. Oleh sebab itu sangatlah mengejutkan ketika Gus Dur menjadi Presiden, tiba-tiba Gus Dur memanggilnya dan memberinya jabatan Menteri Pertahanan di dalam kabinet yang dipimpinnnya. Gus Dur bukan hanya ingat pada dirinya tetapi juga cukup tahu perjalanan karier dan posisinya di kalangan akademisi terutama untuk bidang hukum.

Mahfud sendiri terus meyakini bahwa Gus Dur  adalah seorang pejuang demokrasi, tokoh Islam inklusif, sangat moderat, anti KKN dan sangat mandiri dalam menentukan keputusan. Buktinya Gus Dur mengangkat para menterinya dengan berani, tanpa kolusi dan tanpa persyaratan yang aneh-aneh kecuali meminta janji untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.

Ternyata Mahfud tak bisa melaksanakan jabatan tersebut dengan maksimal. Ia mengaku hanya mengerjakan hal-hal rutin saja selama setahun menjadi Menteri Pertahanan. Ia lebih banyak mendampingi Gus Dur. Saat itu suhu politik sangat gaduh. Gonjang-ganjing, kasak-kusuk, saling ancam kerap terjadi antara Istana Negara dan Gedung Parlemen. Gus Dur banyak menerima tamu yang kadang membawa informasi sumir. Hal tersebut ditanggapi Presiden dengan reaktif.

Satu informasi yang sempat membuat Gus Dur bereaksi adalah soal adanya gerakan untuk menjatuhkan dirinya yang dipimpin oleh Akbar Tanjung dan didanai oleh Fuad Bawazier. "Dia langsung pidato, ada gerakan makar," kata Mahfud. Provokasi melalui informasi itu, menurut Mahfud, sangat tidak baik bagi pemerintahan. Musuh-musuh politik Gus Dur semakin menguat dan memanaskan suasana.

Akhirnya, Mahfud bersepakat dengan tiga menteri lainnya yang loyal dengan Gus Dur, yaitu Alwi, Khofifah Indar Parawansa (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan), dan Zarkasih Nur (Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah). Gus Dur harus ditemani dan tidak boleh sembarangan menerima tamu. Keempatnya berbagi tugas menemani Gus Dur, terutama saat hari masih subuh. Mahfud tak ingat hari apa jatahnya melakukan hal itu. Ia hanya ingat setelah dirinya adalah Khofifah, lalu Alwi, kemudian Zarkasih. "Dari situlah kami jadi dekat," kata Mahfud.

Loyalitas mereka kemudian semakin teruji ketika para menteri lainnya sudah pasang badan untuk meninggalkan Gus Dur. Ketika itu Gedung Parlemen mengeluarkan ancaman melakukan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Di sisi lain, Gus Dur juga menggertak akan mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen. Kedua pihak saling pamer kekuatan dahsyat. Mahfud menilai Gus Dur kala itu mendapat pengaruh para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) untuk melawan DPR. Sampai akhirnya keduanya mengeluarkan senjata pamungkas masing-masing. Gus Dur tak kuasa menolak desakan untuk lengser. Parlemen kemudian sepakat menunjuk Megawati Soekarnoputri menjadi presiden pada 23 Juli 2001.

Mahfud tak berada di Jakarta pada saat terbitnya dekrit tersebut. Ia berada di kampung halamannya, Madura, Jawa Timur, untuk menyerahkan surat keputusan presiden yang menetapkan Universitas Madura menjadi perguruan tinggi negeri. Esok paginya ia baru berjumpa dengan Gus Dur. Gus Dur sedang berbincang-bincang dengan budayawan Emha "Cak Nun" Ainun Nadjib dan istrinya, Novia Kolopaking. "Gus Dur ketawa-ketawa dengan mereka waktu saya datang ke Istana pagi-pagi," katanya.

Tapi Mahfud tak bisa menutup rasa iba ketika melihat kondisi Istana yang sepi, tak seperti biasanya yang ramai dengan tamu. Gus Dur terlihat tenang-tenang saja. Padahal di sebelahnya ada siaran televisi, para anggota DPR sedang memaki-maki dirinya. Tak lama setelah Cak Nun dan istrinya pergi, Alwi datang. "Temannya tak ada waktu itu. Tapi hebatnya, dia tak berwajah tegang, seperti biasa saja," ujar Mahfud.

DPR tempatnya orang bohong
Tak berada di pemerintahan bukan berarti keduanya tak lagi dekat. Gus Dur memintanya masuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mahfud sempat kembali ngeyel karena merasa kariernya di universitas sedang bagus dan tak mau meninggalkan penghasilan tetapnya. Tapi akhirnya, lagi-lagi, Mahfud kalah beradu argumentasi dengan Bapak Tionghoa Indonesia itu. Ia masuk PKB. Kemudian ia menjadi anggota DPR, keputusan yang salah menurut Gus Dur. "DPR tempatnya orang bohong," kata Mahfud menirukan ucapan Gus Dur.

Usia 60
Di usianya yang hampir 60 tahun, Mahfud masih sibuk dengan berbagai kegiatan. Ia menjadi pembicara di berbagai seminar. Ia juga menjabat sebagai anggota dewan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

"Ini tak seperti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dulu," ujar Mahfud. UKP-PIP justru bekerja dengan mendatangi langsung masyarakat, melalui komunitas dan lembaga negara. "Kami berbicara apa saja, isu teraktual," kata anak keempat dari tujuh bersaudara itu.

Karier Mahfud sebenarnya termasuk cemerlang dalam bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedikit orang di Indonesia yang bisa menempati tiga bidang tersebut dengan mulus, tanpa kasus.

Organisasi
Mahfud aktif di berbagai organisasi, antara lain pernah menjadi Ketua Umum Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) se Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (1996-1998), Wakil Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat BKS-PTIS (1998-2003), salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen Hukum Tata Negara se Indonesia (1999), serta pernah memimpin LSM Parliament Watch-Indonesia (ParWI) di Daerah Istimewa Yogyakarta (1999-2000). Pernah juga menjadi redaktur beberapa jurnal ilmiah seperti Unisia, Jurnal Hukum, dan Arena Almamater.

Sebagai pakar dan pengamat Mahfud dikenal sangat dekat dengan pers dan mudah dihubungi oleh wartawan. Sehingga PWI Yogyakarta (seksi Polkam) pernah menganugerahinya sebagai pengamat dan nara sumber paling simpatik tahun 2000 setelah sebelumnya (1999) menjadi runner up pengamat paling simpatik.

*** (Naskah ini disunting dari berbagai sumber di internet).


Referensi :



Biodata














Nama lengkap ˸ Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud MD, SH, SU.







Lahir
˸ Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957.






Agama
˸ Islam.











Pendidikan tertinggi ˸ S3.












Jabatan akademik ˸ Guru besar.











Ayah
˸ Mahmodin alias Emmo Prawiro Truno.








Ibu
˸ Siti Khadidjah.










Istri
˸ Zaizatun Nihayati (Yatie), SH









Anak
˸ 1 Muhammad Ikhwan Zein.













2 Royhan Akbar.














3 Vina Amalia.




























Alamat rumah ˸ Sambilegi Baru Maguwoharjo 29 Yogyakarta.







Alamat kantor ˸ Jl. Kaliurang Km 14.5 Besi, Sleman, Yogyakarta, Kode pos 55584.























Karier
˸ Guru Besar Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1984-sekarang).





Menteri Pertahanan RI (2000-2001).












Menteri Kehakiman dan HAM (2001).












Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (2002-2005).






Rektor Universitas Islam Kadiri (2003-2006).











Anggota DPR-RI, duduk Komisi III (2004-2006).











Anggota DPR-RI, duduk Komisi I (2006-2007).











Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-2008).










Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008).










Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013).











Anggota Dewan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (Juni 2017-sekarang).



















Pendidikan
˸ Madrasah Ibtidaiyah di Pondok Pesantren al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura.






SD Negeri Waru, Pamekasan, Madura.











Sekolah Pendidikan Guru Agama (SPGA) Negeri, SLTP 4 tahun, Pamekasan, Madura.






Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), SLTA 3 tahun, Yogyakarta.








Sarjana Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negera, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.




S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan (Sasdaya) Jurusan Sastra Arab, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.




Magister Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.









Doktor Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.








Profesor Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.




Erick Thohir

  Menteri BUMN (2019-2024)   Dari Media, Olah Raga sampai Sarinah Ditulis Muhammad Anwari SN. Saat ini Erick Thohir masih menjabat Menteri B...