Ismail Nachu, S.Ag
Ketua
ICMI Jawa Timur (2015-2020)
Menumbuhkan
Saudagar Muslim
Nama
lengkapnya Ismail Nachu. Kebanyakan orang memanggilnya Ismail. Ia bukan anaknya
orang kaya. Pria ini lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 12 September 1965 dari
keluarga nelayan yang miskin. Bapaknya meninggal ketika ia masih kecil.
Sehingga ia hidup dengan emaknya yang sehari-hari berjualan di warung kecil. Di
situ sang emak menghidupi keluarganya.
Sewaktu
masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Suniah Pasuruan pernah berjualan permen. Sekolah
tempatnya menimba ilmu ini adalah sekolah tradisional yang seragamnya masih
pakai sarung. Lokasinya bersebelahan persis di utara Masjid Agung Al Anwar
Pasuruan.
Pelok
Ismail
kemudian melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Pasuruan. Ia sudah tidak
jualan permen lagi. Ia sekolah sambil bekerja jadi tukang jahit di tailor milik
gurunya. Ketika masih di kelas dua Tsanawiyah ada satu kenangan yang tak
terlupakan sampai sekarang. Malam itu ia silaturahim
ke rumah gurunya yang sekaligus juragannya. Di sana ia disuguhi buah mangga.
Mangga itu dimakan hingga yang tersisa biji mangga yang namanya pelok. Melihat pelok yang ada di atas piring, gurunya memberi komentar, “Il
(panggilan untuk Ismail, red), kalau pelok
itu terus-terusan tergeletak di atas piring sampai tiga bulan kira-kira jadi
apa?”
Waktu
itu usia Ismail sekitar 14 tahun. Anak yatim yang pintar ini sepontan menjawab,
“Tentu peloknya akan kering, busuk dan akhirnya dibuang ke tempat sampah”.
“Betul
sekali,” kata gurunya. “Begitu juga dirimu. Bisa diibaratkan kamu saat ini
masih pelok. Kalau kamu menjadi anak manja seperti pelok di atas piring itu,
memang kelihatannya enak, badannya bersih, nggak merasakan panasnya sinar
matahari, nggak kena hujan, nggak merasakan susahnya cari duit, akhirnya kamu
akan terlena. Kamu lupa berjuang untuk masa depanmu, akhirnya malah akan
menjadi anak yang tak berguna, seperti sampah. Kamu akan tersisih dan akhirnya
terbuang. Tapi sebaliknya kamu saat ini bukan anak manja, sekolah sambil
bekerja. Hidupmu susah seperti pelok yang dibuang ke tanah, kena panas sinar
matahari, kena hujan, kotor, tapi kamu kelak akan tumbuh dan berbuah lagi. Kamu
akan menjadi anak yang berguna dan insya
Allah akan tumbuh jadi orang”. Itu kata-kata gurunya yang masih ia ingat sampai
sekarang. Ini salah satu wejangan yang menginspirasi hidupnya.
Kemudian
Ismail melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) sampai tahun 1985. Waktu
sekolah di Aliyah, Ismail yang lahir di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) aktif
di organisasi sayapnya NU namanya Pelajar Islam Indonesia (PII). Tapi PII ini
bukan underbouw NU. Ia bersyukur bisa
aktif di PII, organisasi yang turut menempa dirinya. Banyak hal yang bisa ia
ambil inspirasi dan pelajaran. Dari situlah proses pembelajaran dirinya di
dalam kehidupan di samping melalui sekolah secara formal. Inilah yang
berakumulasi menjadi bekal hidupnya sekaligus menjadi landasannya untuk
menyikapi hidup sampai detik ini.
Di Undar setahun
Sayangnya
pendidikan Ismail banyak terkendala di biaya. Sehingga lulus MAN tidak bisa
langsung mendaftar di perguruan tinggi. Menunggu kalau sudah punya uang.
Untungnya kepala sekolahnya, Thiras Gultom (almarhum), memberinya pekerjaan
membuat seragam baru MAN. Uang dari hasil memborong pekerjaan membuat seragam
sekolah ia gunakan untuk mendaftar ke perguruan tinggi swasta Universitas Darul
Ulum Jombang (Undar). Kenapa ia memilih kuliah di Jombang? “Jombang dikenal
sebagai Madinah-nya Jawa,” demikian pemuda NU itu memberi alasan. Kebetulan
saat itu ia sudah mengidolakan Nurkholis Majid, Gus Dur, dan Cak Nun. Yang
tiga-tiganya termasuk penulis kolom di Tempo.
Sebenarnya
ia mendapat panggilan masuk ke Universitas Brawijaya Malang tanpa tes. Tapi berhubung
belum punya biaya, panggilan itu tidak dipenuhi.
Namun
kuliah di Undar hanya bertahan setahun karena SPP-nya mahal. Meskipun sudah
diupayakan kuliah sambil njahit di kompeksi Anis di Pasar Besar Jombang tetap berat
menjalaninya.
Masuk IAIN
Keluar
dari Undang Ismail pindah ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Surabaya.
Masuk ke Fakultas Adab. Kenapa pilih Adab? Ia terinspirasi oleh Fachry Ali yang
saat itu sebagai mahasiswa Fakultas Adab IAIN Jakarta yang sudah kerap menulis artikel
di koran Kompas. Sehingga ia ikut masuk
Fakultas Adab.
Lagi-lagi
desakan masalah ekonomi membuat Ismail nekat meninggalkan kuliah pergi merantau
ke Jakarta mencari uang. Padahal saat itu tinggal menyelesaikan skripsi. Di
Jakarta ia bekerja di LSM PKSP (Pusat Kajian Strategi Pembangunan). Tapi di
Jakarta pun tidak bisa bertahan lama. Belum genap satu tahun di Jakarta Ismail pulang
ke Surabaya karena harus menikah dengan pegawai negeri dosen di IAIN Sunan
Ampel Surabaya. Namanya Nurhayati yang sekarang masih menjadi istrinya. Setelah
menikah Ismail mulai aktif di Masika (Majelis Sinergi Kawan), sayap mudanya
ICMI. Ia pernah menjadi Ketua Masika sambil tetap aktif di LSM.
Skripsi
Kemudian
Ismail melanjutkan skripsinya. Ia menulis skripsi dengan judul “Reformulasi
Politik Islam Era Orde Baru”. Pada intinya ia sedang menulis gerakan kaum
cendekiawan di Indonesia. Pada saat melakukan survei pendataan dengan tokoh-tokoh
seperti Nurcholish Madjid (Jakarta), Kuntowijoyo (Yogya), Amin Rais (Yogya),
Fuad Hapsari (Surabaya) dan lain-lain itulah ia mengetahui, bahwa pada saat itu
ada rencana pendirian organisasi ICMI.
“Dalam
rangka menulis skripsi itulah saya akhirnya masuk ke lingkaran orang-orang yang
menggagas berdirinya ICMI. Sehingga pada saat ICMI berdiri 7 Desember 1990 di
kampus Universitas Brawijaya Malang saya tercatat sebagai salah satu
penandatangan berdirinya ICMI. Semenjak itu saya ada keterkaitan dengan ICMI.
Saya sebagai mahasiswa fokus di skripsi. Sehingga saya bisa kenal dengan
tokoh-tokoh cendekiawan. Saya akhirnya diajak untuk aktif di LSM,” kata Ismail.
“Skripsi
saya akhirnya bisa selesai dan lulus. Itupun dideadline. Alhamdulillah
bisa mendapat gelar sarjana agama (S.Ag),” lanjutnya.
Di
Surabaya Ismail mendirikan kantor cabang LSM Puspa Indah (disingkat Puspanda).
LSM atau Yayasan Puspa Indah ini milik Adi Sasono.
Setelah
program di Puspa Indah selesai, Ismail pindah ke LSM Pupuk (Perkumpulan untuk
Peningkatan Usaha Kecil). Sebuah LSM yang kantornya di Bandung. Ketuanya sama,
Adi Sasono. Fokus kegiatannya pendampingan/ pemberdayaan usaha kecil. Ia
ditempatkan di kantor perwakilan Surabaya.
Tahun
1995 Ismail keluar dari LSM Pupuk pindah ke LSM LP3ES (Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan Ekonomi dan Sosial). LSM ini basisnya di Jakarta
kegiatannya konsen di kajian dan sebagainya. Waktu itu direkturnya Dawam
Raharjo. LSM yang sangat terkenal. Boleh dibilang LSM tua yang sangat terkenal
dengan penerbitannya majalah Prisma,
semacam jurnal. Ia mengaku sering membacanya juga.
Tahun
1996 di LP3ES keluar kebijakan, di mana semua perwakilan LP3ES yang ada di
provinsi Surabaya, Makassar, Padang dan sebagainya didorong dan dituntut untuk
berdiri sendiri. Semacam otonomi daerah. Akhirnya Ismail dan kawan-kawannya di
LP3ES Surabaya mendirikan LSM namanya Spektra, singkatan dari Studi dan
Pengembangan Ekonomi Kerakyatan. Hubungannya dengan LP3ES di Jakarta historis.
Tujuannya di antaranya untuk lebih mengefektifkan gerakannya di daerah supaya
tidak nggantung di pusat. Ia menjalaninya sampai tahun 2001.
Tahun
2001 Ismail mulai gelisah karena gajinya bekerja di LSM tidak mencukupi
kebutuhan keluarganya. Motor sudah punya tetapi rumah belum punya, masih ngontrak.
Padahal anak sudah dua pada waktu itu.
Membeli tanah
Didorong
kegelisahan semacam itulah tahun 2001 Ismail mulai merintis usaha dengan
membeli tanah. Saat itu ia baru punya uang tabungan Rp. 20 juta. Hebatnya ia bisa
membeli tanah kapling seharga Rp. 1,5 miliar di Medoro, Sidoarjo. Padahal ia
tidak pinjam bank, karena pada waktu itu dirinya belum dipandang oleh bank. Terus
bagaimana bisa membeli kapling Rp. 1,5 miliar? Ternyata ada sekitar 150 temannya
yang bersedia meminjamkan uangnya pada Ismail. Selebihnya memainkan cash flow dengan termin pembayaran
kepada pemilik tanah. Tanah yang dibeli ia buat usaha kaplingan karena belum
memiliki ketrampilan teknis di bidang perumahan. Jadilah ia mulai bisnis barunya
jual beli kapling tanah di kota kelahirannya, Pasuruan. Meskipun sudah jadi
pengusaha ia masih aktif di LSM. Bisnis jual beli tanah itu ia geluti sampai
kurang lebih tiga tahun.
Tahun
2006 Ismail mulai merintis membangun perumahan sendiri di Kelurahan Kebun Sari,
Ketintang, Surabaya. Nama perumahannya Griya Kebun Sari Baru. Kurang lebih 34
unit rumah. Bisnis ini terus ditekuninya sambil tetap aktif di ICMI. Karena ia terikat
dengan pendirian ICMI. Sebelumnya di awal-awal berdirinya ICMI (1991) kurang
terlibat karena masih bekerja di LSM Jakarta dan sebagainya.
Tahun
2000 ketika Habibie sudah tidak jadi presiden, ICMI kurang aktif, Ismail dipercaya
menjadi Sekretaris ICMI Jawa Timur. Itu periode ICMI tahun 2000 sampai 2005.
Tahun 2005 – 2010 ICMI Jawa Timur dipimpin Latif Burhan. Sedangkan Ismail menjadi
Wakil Ketua.
Tahun
2010 – 2015 Ismail diberi amanah menjadi Ketua ICMI Jawa Timur. Proses
pemilihan ketua dilakukan dalam acara Musyawarah Wilayah (Muswil). Menjelang
berakhirnya masa jabatan ketua, 2015, penyelenggaraan Muswil-nya mundur agak
lama sehingga baru bisa dilaksanakan Minggu, 11 Oktober 2016 di Gedung
Widyaloka Universitas Brawijaya Malang. Di Muswil itu ia terpilih lagi menjadi
Ketua ICMI Jawa Timur periode kedua (2015 – 2020).
Saudagar
muslim
Pada
Muswil 2010 itu selain agendanya pemilihan pengurus, juga diselenggarakan seminar
yang berjudul “Menumbuhkan Saudagar Muslim”. Maka program yang harus
dilaksanakan Ismail agak berbeda dengan ICMI periode sebelumnya. Pertama ia menyadari
dirinya bukan orang kampus dan gelarnya hanya sarjana S1. Di sisi lain ia orang
bisnis. Pada hal jabatan sebagai Ketua ICMI Jawa Timur yang diamanahkan padanya
harus bisa menjawab problem umat.
Program
yang harus dijalankan Ismail sebagai Ketua ICMI Jawa Timur adalah menumbuhkan
saudagar muslim. Sebab problem utama umat Islam di Indonesia adalah ekonomi. Munculnya
problem ekonomi ini bukan disebabkan umat Islam tidak punya potensi dan infrastruktur
ekonomi. Pasar umat Islam itu pasar yang potensial. Umat Islam sebagai
mayoritas di negeri ini tentu memiliki akses pada sumber daya alam. Jadi dalam
kontek kehidupan ekonomi sesungguhnya umat Islam punya potensi. Tetapi kenapa
umat Islam menghadapi problem ekonomi? Karena, menurut Ismail, umat Islam
krisis pengusaha, kekurangan pengusaha. Tidak banyak umat Islam yang jadi
pengusaha. Kalau dikaitkan dengan agama Islam sangat ironi. Kenapa? Karena
Islam itu nabinya saudagar. Para sahabat nabi itu kebanyakan juga saudagar.
Islam di nusantara ini juga dikembangkan oleh kaum saudagar. Tapi kenyataannya
kebanyakan umat Islam bukan saudagar, bukan pengusaha.
Sesuatu
yang hilang dalam tradisi kaum santri atau kaum muslim saat ini adalah tradisi
bisnis. Kenapa hilang? Nabinya, Muhammad SAW, adalah seorang saudagar. Yang
membawa Islam masuk ke Indonesia juga saudagar. Maka kaum muslim yang ingin
jadi pengusaha bisa belajar pada sejarah Kanjeng Nabi, para sahabat nabi dan
para tabi’in. Para penyebar Islam itu semuanya saudagar. Jadi kalau orang Islam
ingin menjadi saudagar/ pengusaha itu bukan sesuatu yang asing.
“Maka
begitu saya dilantik menjadi Ketua periode 2010 – 2015 saya langsung mendeklair/
mendeklarasikan/ merumuskan program prioritasnya menumbuhkan saudagar muslim,” katanya.
Adapun
untuk bisa menumbuhkan saudagar muslim, Ismail melakukan kaderisasi,
persemaian, dan melatih para mahasiswa dan santri-santri pondok pesantren (ponpes)
untuk menjadi saudagar. ICMI sudah melakukan kerjasama dengan berbagai elemen. Misalnya
dengan organisasi TDA (Tangan di Atas), ini komunitas anak-anak muda yang ingin
menjadi pengusaha.
“Kami
kerja sama dengan mereka. Kebetulan saya alumni enter prener university yang
dirintis oleh pak Purdi Candra. Sehingga kami programnya adalah mendorong dan mendidik
kaum muda (mahasiswa dan santri) menjadi saudagar,” jelasnya.
“Para
mahasiswa dan santri kami training selama tiga hari. Setelah itu kami lanjutkan
dengan pendampingan untuk membuat bisnis
land. Dengan bisnis land kami temani
untuk mencari apa-apa yang dibutuhkan di dalam menumbuhkan dan merintis bisnis.
Kalau yang dibutuhkan dana kami coba kerjasama dengan dunia perbankan atau
sumber-sumber dana yang lain, apakah perorangan atau kelembagaan. Kalau
problemnya tehnologi kami lakukan kerjasama ke potensi tehnologi misalnya dunia
kampus dan sebagainya. Kalau problemnya pasar kami coba eksistensi supaya bisa mengakses
pasar,” lanjutnya.
Target
Ismail ingin menumbuhkan 10.000 saudagar. Pada periode pertama ia menjabat
Ketua target itu sudah tercapai secara kuantitatif. Dampak dari program itu
ada. Misalnya bisa menginspirasi banyak anak-anak muda muslim untuk menjadi
pengusaha tanpa rasa takut.
Siaran radio
Selain
itu ICMI Jawa Timur melakukan kerjasama dengan radio Suara Muslim Surabaya. Di
radio tersebut setiap Kamis ICMI Jawa Timur melakukan siaran dalam acara Zona
Saudagar. “Dari situ kami menyemai, mempublis, dan menyemangati kaum muda
muslim untuk menjadi pengusaha. Dari temu di radio itu kita follow-up-i dengan konsultasi klinik
bisnis di Sekretariat ICMI. Jadi program itu ada dampaknya. Selain menumbuhkan
pengusaha baru, kami mendorong pengusaha muslim kelas menengah untuk naik kelas
menjadi pengusaha muslim kelas atas. Misalnya melalui kunjungan bisnis, gathering, kerja sama dengan teman dari
Turki, Malaysia, dan negara-negara lain,” kata Ismail.
Lewat
siaran radio ini akhirnya tidak hanya mahasiswa dan santri saja yang tertarik,
masyarakat di luar kampus dan pesantren juga ikut terjaring.
Korban pendidikan
Belanda
Kalau
sampai hari ini banyak umat Islam tidak menjadi pengusaha, menurut Ismail,
salah satu penyebabnya adalah korban dari dunia pendidikan. Sebab lembaga
pendidikan di Indonesia ini didirikan oleh Belanda memang untuk melahirkan
karyawan, bukan untuk melahirkan pengusaha. Pendidikan yang original umat Islam
itu adalah pesantren. Pesantren itu melahirkan kiai dan saudagar sebagaimana
walisongo itu, semua saudagar. Bahkan tokoh-tokoh pergerakan muslim itu
saudagar. Kiai Hasyim Ashari itu pengusaha.
ICMI
programnya menumbuhkan, bukan mencetak, sebab bibitnya sudah ada. Tinggal
ditumbuhkan. Caranya dengan belajar dari tradisi Islam. Selain itu perlu
belajar dari tradisi orang lain. Tradisi Islam sangat kental dengan semangat bisnis.
Orang Cina
Ada
satu hadist mengatakan, carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Saat hadits
ini lahir memang peradaban Tiongkok sudah maju. “Nabi kita itu hebat,” kata
Ismail. Menurutnya, pada zaman itu Rosulullah sudah mengajak kita untuk open mind. Maka umat Islam kalau ingin
maju harus open mind karena hadist
ini mengajarkan umat Islam harus open
mind. Artinya, cara berpikir kita harus terbuka. Kita harus banyak belajar
pada orang lain, karena ilmu itu sifatnya bukan etnis, bukan pula sifatnya
nasionalistik. Tetapi ilmu itu sifatnya universal. Karena itu harus kita
terima. Orang cerdas itu open mind.
Sehingga cara berpikirnya tidak picik. Cara berpikirnya tidak sempit.
Kenapa
umat Islam Indonesia dalam bisnis kalah dengan orang Tionghoa atau Cina? Orang Tionghoa
atau Cina pandai berdagang bukan karena otaknya cerdas. Bukan karena mereka
pekerja keras. Bisnis mereka bisa sukses, menurut Ismail, karena mereka punya spirit
berjamaah. Mereka rukun dan berjamaah di dalam bisnis. Sementara umat Islam
berjamaahnya hanya di masjid waktu solat. Setelah keluar dari masjid sendiri-sendiri.
Jadi kalau umat Islam pingin membangun kekuatan ekonomi harus berjamaah. Pertama, berjamaah dengan sesama muslim.
Kedua, berjamaah dengan orang lain.
Nabi pun mencontohkan berbisnis dengan orang Yahudi.
Lanjut
Ismail, kecerdasan membaca peluang sangat tergantung dari bagaimana kita men set-up dan mendesain mindset kita. Kalau mentalnya karyawan,
hidup ini tidak akan jadi peluang. Kalau Anda wartawan, hidup ini berita. Kalau
Anda seniman lukis, hidup ini menjadi gambar. Jadi tergantung logika mindset kita. Kebanyakan pribumi muslim
ini radar otaknya disetel jadi karyawan. Sehingga tidak sensitif dan tidak
cerdas melihat peluang bisnis. Teman-teman Tionghoa dasarnya memang pengusaha maka
hidupnya jadi peluang bisnis. Jadi yang perlu ditumbuhkan dari umat Islam
adalah jiwa pengusahanya.
“Menjadi
pengusaha itu sunah rosul, karena Rosul kita adalah saudagar. Kalau kita
mengajari anak kita tidak menjadi pengusaha, kita ingkar sunah, karena Rosul kita
saudagar. Ini sunah rosul yang sering diabaikan oleh kita. Kita hanya
mengedepankan malam Jum’at, justru ini tidak menghargai rosul. Rosul itu seorang
pengusaha bukan tukang kawin. Rosul menjadi pengusaha itu menjadi contoh buat para
sahabat. Itulah sebabnya sembilan dari sepuluh sahabat nabi itu saudagar,”
jelas Ismail.
Bukan partai
politik
Ditegaskan
oleh Ismail, bahwa ICMI secara organisatoris dilahirkan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan partai politik. Bahkan tidak ada hubungannya dengan Soeharto.
Ismail sangat menyangkal kalau ada orang yang mengatakan ICMI didirikan oleh Soeharto.
Sebab ia tahu sendiri proses pembentukannya.
Kalau
ada yang mengatakan, bahwa ICMI hadir bagian dari proses dinamika politik di
negeri ini, Ismail setuju. Salah satu dinamika memang bersinggungan dengan
pusat kekuasaan yang pada waktu itu presidennya adalah Soeharto. “Tapi yang mencetak/
mendirikan bukan Soeharto,” tegas Ismail. Kenapa? Karena kelahiran ICMI adalah
akumulasi dari aspirasi gerakan kaum cendekiawan. Kebetulan skripsi yang
ditulisnya soal pergerakan kaum cendekiawan yang dimulai dengan Persami
(Persatuan Sarjana Muslim Indonesia) pada tahun 1960-an. Akumulasinya dimulai dari
sana. Jadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Golkar. Sampai detik ini ICMI
bukan partai politik. Tapi ia membenarkan bahwa ICMI melakukan gerakan politik.
“Kita
tidak bisa melepas dari dinamika politik. Sebagai Ketua ICMI tentu saya
mengerjakan kerja-kerja politik, tapi bukan politik praktis. Saya tidak ikut nyaleg
DPR. Jadi itu bedanya. Politiknya ICMI politik sumber daya. Bukan politik
praktis yang ujungnya menjadi anggota DPR,” lanjutnya.
Ismail
mengakui, anggota ICMI memang ada yang aktif di partai baik di pusat maupun di daerah
Jawa Timur. Tapi pengurus harian ICMI tidak ada yang aktif di partai. “Kami sepakat
di pengurus harian, Sekretaris dan Bendahara tidak boleh aktif di partai
politik,” jelasnya lagi. (an).
Ismail
Nachu adalah salah satu pengusaha properti kelas nasional. Ia memiliki beberapa
perusahaan di Surabaya, Malang, dan Pasuruan. Bahkan kini memiliki sejumlah
properti kelas 1 di Surabaya.
|
Biodata :
Nama lengkap | : | Ismail Nachu, S.Ag. | ||||||||
Jabatan | : | Ketua ICMI Jawa Timur dua periode (2010-2015 dan 2015-2020). | ||||||||
Istri | : | Nurhayati (dosen UIN Sunan Ampel Surabaya). | ||||||||
Anak | : | 1 | Nadia Qisthi Diadasa. | |||||||
2 | Nada Bening Diadasa (wafat). | |||||||||
3 | Jl. Kebun Sari VII/ 10 Surabaya. | |||||||||
Domisili | : | Jl. Kebun Sari VII/ 10 Surabaya. | ||||||||
Penghargaan : | ||||||||||
Anugerah Pemimpin Puncak Top Leader Annual Awards 2016 kategori bidang ormas. |
Columbia Titanium Boots
BalasHapusColumbia Titanium Boots are available titanium nose jewelry in many sizes dewalt titanium drill bit set from omega titanium T-Shirt titanium stud earrings to Hoodie. Choose from a variety of sizes in size from citizen promaster titanium Black, Down, Casual, T-Shirt,