Pengurus Ponpes Bayt Alquran
Tak mau dipanggil habib
Nama lengkapnya Quraish Shihab. Lahir 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Sekarang usianya sudah lebih dari 76 tahun. Dikenal sebagai ulama, cendekiawan muslim dan mufasir (ahli tafsir) Alquran yang mampu menerjemahkan dan menyampaikan Alquran dalam konteks masa kini dan masa modern.
Ayahnya bernama Prof. KH. Abdurrahman Shihab, keturunan keluarga Arab Hadhrami golongan Alawiyyin bermarga Aal Shihab Uddin. Abdurrahman Shihab sudah lebih dulu dikenal sebagai ulama dan guru besar bidang tafsir, pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977.
Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang didatangkan ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Sejak kecil Quraish sudah diwanti-wanti ayahnya (Abdurrahman Shihab) agar jangan sekali-kali mengandalkan garis keturunan. "Tidak perlu memperkenalkan diri sebagai sayid atau sebagai habib. Kalau mau dikenal, dikenallah dengan akhlakmu dan hatimu. Jangan permalukan leluhurmu dengan perbuatanmu yang buruk," katanya.
Qiraish Shihab termasuk salah seorang dari sekiyan banyak keturunan Nabi yang memilih menanggalkan gelar “habib” karena merasa tidak begitu berhak.
"Sebenarnya ada orang-orang yang punya garis keturunan dari Nabi dan punya pengabdian besar, tapi tidak dikenal sebagai sayid," kata Quraish Shihab.
“Kalau ilmu tidak memadai, akhlak tidak luhur, tidak mencerminkan akhlak rasul, maka tidak wajar dipanggil habib. Ilmu saya belum dalam, akhlak saya belum sesuai dengan yang diajarkan agama. Jadi tidak usah panggil saya habib. Biar saya berjuang dulu,” kata Qiraish Shihab.
Itulah yang membuat Quraish sejak kecil selalu berusaha menunjukkan diri bahwa ia bisa seperti sekarang bukan karena keistimewaan garis keturunannya, melainkan karena kerja keras, perilaku sehari-hari, dan pemikiran-pemikirannya yang mencerahkan dan meneduhkan.
Quraish Shihab lebih suka dipanggil ustad saja dari pada habib. Ia mengaku, kalau dipanggil habib tidak banyak dampaknya buat dirinya dan masyarakat. Malah lebih baik kalau tidak dipanggil apa-apa.
Media seringkali memberi gelar-gelar terhormat kepada orang-orang yang belum layak diberi gelar. Parahnya lagi, langsung dipanggil kiai hanya karena sorban. Banyak yang dinamai kiai, padahal bukan kiai. Ada juga yang mendapat gelar kiai karena pandai berbicara agama tapi bicaranya sering keliru. Banyak yang dinamai habib tidak mencerminkan akhlak yang baik.
Sekarang sayid itu ada yang tidak mengerti agama tapi orangnya sangat keras. Kata Quraish Shihab, “Kita keras terhadap orang kafir, tapi keras itu dalam pengertian tegas. Tegas itu tidak harus dalam bentuk makian, apalagi kekerasan fisik. Salah satu ciri Alawiyyin dari Hadramaut adalah mematahkan pedang. Artinya tidak akan bersikap keras. Kita tidak bersikap keras, apalagi antar-sesama muslim. Kita bersikap keras terhadap penjajah. Tapi intinya kita berdakwah dengan akhlak, dengan kalimat-kalimat yang indah dan lain sebagainya.”
Masa kecil
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir langsung dari ayahnya. Sang ayah sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat Alquran. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap Alquran sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian Alquran yang diadakan ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca Alquran, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam Alquran. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada Alquran mulai tumbuh.
Pendidikan formal Quraish Shihab dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di Pondok Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah di kota Malang, Jawa Timur. Berkat kecerdasannya dalam menguasai bahasa Arab, ia berhasil menyelesaikan sekolah menengahnya hanya dalam waktu dua tahun. Kemudian mendalami studi keislamannya di Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah.
Setelah itu, Quraish Shihab melanjutkan studi ke Universitas Al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Tahun 1967 meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), ia berhasil meraih gelar MA (S2) pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i Al-Qur’an al-Karim (kemukjizatan al-Qur’an al-Karim dari Segi Hukum)”.
Setelah meraih gelar MA (Magister Agama), Quraish Shihab kembali ke tanah air tahun 1973. Kala itu ayahnya masih menjabat rektor di IAIN Alauddin Makassar. Ia diangkat menjadi Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan, sekaligus sebagai tenaga pendidik di IAIN Jakarta mengajar Tafsir dan Ulum Alquran di Program S1, S2 dan S3 hingga tahun 1998. Ia sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Sempat menjabat rektor di kampus tersebut selama dua periode, 1992-1996 dan 1997-1998.
Setelah itu Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, dan pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Tahun 1980 Quraish Shihab mendalami studi tafsir Alquran di almamaternya, Al-Azhar, Kairo. Tahun 1982 ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Ia orang pertama di Indonesia yang mengambil spesialis ilmu Alquran. Ulama yang lain lebih banyak bergelut di bidang fikih atau hukum Islam.
Merasa belum cukup mengabdi ke ummat tahun 2004 Quraish mendirikan Pusat Studi Alquran. Ia berharap tempat studi ini melahirkan penafsir Alquran yang tak lepas pada zamannya. Tujuannya untuk membumikan Alquran kepada masyarakat yang pluralistik. Ia ingin menciptakan kader mufasir (ahli tafsir) Alquran yang profesional.
Dikunjungi Presiden
Pondok Pesantren Bayt Alquran pimpinan Prof. Dr. H. Quraish Shihab Jum’at pagi 25 Januari 2019 dikunjungi Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana Jokowi. Kunjungan Presiden Jokowi di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, itu merupakan pertemuan silaturahmi sekaligus diskusi mengenai moderasi Islam. Dalam kunjungan itu, Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Praktikno, Walikota Tangerang Selatan Arifin Rachmi Diany dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar. Kunjungan berlangsung cukup santai. Jokowi sempat berfoto bersama para santri Ponpes Bayt Alquran. Pertemuan keduanya berlangsung secara terutup. Presiden mengaku mendapat banyak masukan dari Quraish Shihab tentang apa yang perlu dilakukan negara terkait Islam moderat.
Quraish Shihab ingin mewujudkan moderasi Islam di Indonesia. “Kita ini masyarakat plural. Kita tak ingin mewujudkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat tertutup, misal hanya masyarakat Islam. Maka kita perlu ajaran moderasi. Tidak ekstrem ke kiri, tidak ekstrem ke kanan, tapi moderat,” ujarnya.
Jalan moderasi itu membuat Quraish menjalin pertemanan tak hanya dengan ulama-ulama muslim, tapi juga rohaniwan agama lain. Baginya, mewujudkan nilai-nilai Islam tak terbatas hanya pada relasinya dengan muslim.
Tapi jalan moderasi Quraish tidak selalu mulus. Ia sempat dituduh Syiah. Quraish menjawab tegas, seperti yang ia muat dalam biografinya. “Saya bukan NU, Muhammadiyah, Sunni, atau Syiah. Saya berada di tengah. Usahakanlah mempertemukan dua hal yang berbeda bahkan bertolak belakang. Mempertemukan hati dengan akal, iman, dan ilmu,” ujarnya.
Demi menciptakan moderasi, Quraish mendirikan Pusat Studi Alquran (PSQ) 15 tahun lalu. Ini lembaga nonprofit yang bertujuan membumikan Alquran ke tengah masyarakat pluralistik, dan melahirkan kader mufasir (ahli tafsir) profesional.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1998) Quraish Shihab sempat diangkat menjadi Menteri Agama RI. Tapi tidak lama kemudian Soeharto lengser bersamaan berakhirnya rezim Orde Baru. Ia sempat menjabat Menteri Agama hanya sekitar dua bulan di awal tahun 1998.
Saat lahirnya Era Reformasi Quraish Shihab diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Disamping mengajar, Quraish Shihab menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih Alquran Departemen Agama sejak 1989. Ia juga pernah menjabat Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya menjadi Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur ‘an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Menulis buku
Quraish Shihab banyak menulis buku tentang Islam, di antaranya menulis buku Membumikan Alquran. Buku ini terbit 1994. Hingga kini masih populer dan disebut-sebut sebagai karya monumental. Dalam buku tersebut Quraish menyampaikan bahwa Alquran perlu ditafsirkan secara tepat agar dapat diterapkan sesuai kondisi dan masa saat ini.
Yang paling fenomenal buku tafsir Alquran dengan judul Tafsir Almisbah, yaitu tafsir lengkap yang terdiri dari 15 volume dan telah diterbitkan sejak 2003. Ini adalah karya masternya yang orang lain jarang menulis tafsir secara utuh terhadap Alquran.
“Alquran dinamai juga hidangan Tuhan. Ia terdiri dari beragam hidangan. (Isi) Alquran dapat ditafsirkan bermacam-macam. Tapi ada kaidah-kaidah penafsiran. Bisa saja berbeda penafsiran akibat perbedaan kecenderungan seseorang. Selama tafsiran itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah penafsiran, kita terima,” kata Quraish.
Menurut Quraish, pemahaman atas suatu ayat tak bisa lepas dari budaya seseorang dan perkembangan ilmu pada zamannya. Maka bisa saja penafsiran masa lalu berbeda dengan masa kini. Ia menekankan, “Islam bisa menjadi agama yang sesuai di setiap waktu dan tempat karena interpretasinya bisa berbeda-beda dalam rincian ajarannya. Jadi tidak usah tuduh orang lain sesat. Allah yang lebih tahu. Selama tujuan kita ke sana (jalan Allah), insya Allah dirahmati.”
Kegiatan ceramah ini dilakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.
“Hidup ini cinta. Apa pun problema Anda, jawablah dengan cinta. Planet ini beredar di sumbunya karena cinta. Manusia diciptakan Tuhan karena cinta,” kata Quraish saat berbincang dengan Kumparan di Pusat Studi Alquran, Ciputat, Tangerang Selatan. Bahasan soal cinta ini ia ulas panjang lebar di buku barunya, Jawabannya adalah Cinta. Di tahun 2020 buku ini menjadi buku ke-72. Menulis memang jadi bagian lekat dari kehidupan seorang Quraish.
“Hidup saya di tengah buku dan menulis. Bangun tidur saya sudah di depan komputer, menulis. (Setelah berkegiatan di luar lalu) kembali ke rumah dan istirahat sebentar, sore atau malam menulis lagi. Itulah hidup saya,” kata Quraish yang menghabiskan waktu di depan komputer tak kurang dari lima jam setiap harinya.
Pakar Alquran
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Alquran di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan Alquran dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dibandingkan pakar Alquran lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama. Kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut. Selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa Alquran sejalan dengan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual, tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual, agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan Alquran, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku.
Menurut Quraish, penafsiran terhadap Alquran tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan Alquran. Sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat Alquran. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama Alquran. Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan.
Kedudukannya sebagai Pembantu Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain Quraish Shihab adalah seorang ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui sikap dan kepribadiannya yang patut diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru.
Aplikasi Ustaz
Pusat Studi Alquran (PSQ) meluncurkan platform Cari Ustadz, aplikasi untuk membantu masyarakat mencari ustaz sesuai kebutuhan, baik untuk pengajian atau kegiatan rohani lain. Ustaz-ustaz yang terdaftar pada aplikasi itu, menurut Quraish, seluruhnya membawa ajaran moderasi. “Tidak ekstrem ke kiri, tidak ekstrem ke kanan. Moderasi itulah yang terbaik,” tutur Quraish.
Pemimpin CariUstadz.id, Ali Nurdin, mengamini. “Kami berada di tengah dan berpikiran terbuka.” Jalan ini juga disebut Islam Wasathiyah (mengambil jalan tengah atau moderat).
Seiring dengan itu, Quraish selalu berpesan untuk memahami Alquran secara kontekstual, tak sekadar tekstual. “Kita tidak mau Alquran hanya diterapkan di bumi masa lalu. Kita mau menerapkan Alquran di bumi Indonesia. Masyarakat kita beda dengan masyarakat Barat dan Timur Tengah. Maka kita perlu terbuka. Mari bekerja sama,” katanya.
Quraish mengingatkan umat untuk merangkul keragaman, dan tidak sedikit-sedikit menyebut pihak yang berbeda keyakinan dan pandangan sebagai “sesat” atau “salah”.
“Padahal Alquran saja mengajarkan pada Nabi agar kepada orang-orang yang bertentangan dengan prinsip ajaran agama dan mempersekutukan Tuhan, sampaikan, ‘Boleh jadi kamu yang benar, boleh jadi saya yang benar. Kalian tidak akan dimintai pertanggungjawaban mengenai dosa-dosa kami. Kami pun tidak akan dimintai pertanggungjawaban menyangkut apa yang kalian lakukan. Tuhan yang akan putuskan.”
Tutur kata yang baik selalu digunakan Nabi Muhammad saat berdakwah, sehingga selayaknya Islam disebarkan dengan cara demikian—lembut dan ramah.
“Tuhan itu kasih. Jangan gambarkan Tuhan itu kejam. Rahmatnya jauh lebih luas dari dosa kita. Tampilkan kasih, jangan tampilkan dendam dan amarah,” ujarnya.
Pertanyaan untuk wawancara :
1. Semua nama anak dan cucu perempuan Bapak diawali huruf N. Kenapa dibuat begitu? Apa istimewanya huruf N? Ada maksud dan tujuannya?
2. Kenangan paling indah yang tak bisa dilupakan sampai sekarang?
3. Kenangan buruk/ menyedihkan/ mencekam yang tak bisa dilupakan sampai sekarang?
Biodata
Nama lengkap dan gelar : Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, MA.
Nama lengkap dan gelar : Prof. Dr. KH. Quraish Shihab, MA.
Tempat lahir ……………….. : Rappang, Kabupaten Sidenreng, Sulawesi Selatan.
Tanggal lahir ……………….. : 16 Februari 1944.
Ayah …………………………….. : Prof. KH. Abdurrahman Shihab.
Ibu ……………………………….. : Asma Aburisyi.
Istri ………………………………. : Fatmawaty Assegaf.
Anak …………………………….. : 1. Najelaa Shihab,
Istri ………………………………. : Fatmawaty Assegaf.
Anak …………………………….. : 1. Najelaa Shihab,
2. Najwa Shihab,
3. Nasywa Shihab,
4. Ahmad Shihab, dan
5. Nahla Shihab.
Pendidikan
l SD sd SMP di Sulawesi Selatan.
l Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah, Malang, Jatim, 1956-1958.
l Kelas dua I'dadiyah Al-Azhar Mesir, 1958-1963.
l S1, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits, Universitas Al-Azhar, Mesir,1963-1967.
l S2, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits, Universitas Al-Azhar, Mesir, 1967-1969.
l S3, Studi Tafsir Alquran, Universitas Al-Azhar, Mesir, 1980-1982.
Karier
l Dosen IAIN Alauddin, Makassar, Sulsel.
l Wakil Rektor Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Makassar, Sulsel.
l Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur.
l Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam Bidang Pembinaan Mental.
l Dosen, Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-sarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984.
l Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, sejak 1984.
l Anggota Lajnah Pentashbih Alquran Departemen Agama, sejak 1989.
l Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional, sejak 1989.
l Rektor IAIN Jakarta selama dua periode,1992-1996, dan 1997-1998.
l Menteri Agama RI, 1998.
l Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir.
l Direktur Pusat Studi Alquran 2004 - sekarang.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar