Mengajar
Cita-citanya sejak kecil
Masa kecil di
Waru
Nama lengkapnya Mohammad
Mahfud MD. Nama “Mahfud” artinya “orang
yang terjaga”. Dengan nama itu diharapkan Mahfud senantiasa terjaga dari
hal-hal yang buruk. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara. Lahir 13 Mei
1957 di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur dari pasangan Mahmodin dan Siti
Khadidjah. Ayahnya, Mahmodin, berasal dari Desa Plakpak, Kecamatan Pangantenan yang
sehari-hari bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor Kecamatan Omben,
Kabupaten Sampang. Mahmodin lebih dikenal dengan panggilan Pak Emmo (suku kata
kedua dari Mah-mo-din, yang ditambahi awalan em). Dalam bislit pengangkatannya
sebagai pegawai negeri, Emmo diberi nama lengkap oleh pemerintah menjadi Emmo
Prawiro Truno.
Sebagai pegawai rendahan,
Mahmodin (ayah Mahfud MD) kerap berpindah-pindah tugas. Maka anak-anaknya lahir
berceceran di kecamatan atau kabupaten yang berbeda-beda. Mahfud dilahirkan
ketika Mahmodin bertugas di Kecamatan Omben. Ketika Mahfud berusia dua bulan,
keluarga Mahmodin berpindah lagi ke daerah asalnya yaitu Pamekasan dan
ditempatkan di Kecamatan Waru. Di sanalah Mahfud menghabiskan masa kecilnya dan
memulai pendidikan sampai usia 12 tahun. Dimulai belajar dari surau sampai
lulus SD. Lingkungan tempat tinggalnya sangat kental dengan budaya Nahdlatul
Ulama (NU). Ia menjadi anak yang pintar dan saleh. Ayahnya kerap mengajaknya berkunjung
ke rumah para kiai.
Sebenarnya jalan hidup Mahfud
sangat jauh dari cita-cita masa kecil. Dulu cita-citanya hanya ingin menjadi
guru agama. Tapi yang sudah dicapainya sekarang malah jauh melampaui dari yang
dicita-citakan dulu. Ia tak pernah membayangkan jika akhirnya bisa masuk ke
pemerintahan.
Tapi Mahfud juga punya jiwa
pemberontak. Ketika banyak temannya yang berkutat dengan buku pelajaran, ia
memilih membaca buku komik kesukaannya, Kho
Ping Hoo. Ia juga suka menonton sandiwara. Padahal menurut sebagian besar
orang Madura kala itu, pertunjukan tersebut dilarang agama karena menampilkan
laki-laki yang berpakaian perempuan. Tapi ia malah ikut bermain drama dan
mengatur adegan para pemainnya.
Cerita ayah tentang Sulaiman
Keluarga Mahmodin adalah
keluarga yang sangat sederhana dan secara ekonomi hidup pas-pasan. Penghasilannya
sebagai pegawai negeri golongan II tidak mencukupi untuk membiayai kehidupan
keluarga sehari-hari. Tetapi ia bekerja keras agar anak-anaknya dapat menempuh
pendidikan yang baik.
Mahmodin selalu mengatakan
kepada anak-anakanya agar meniru Nabi Sulaiman dalam memilih jalan hidup. Entah
dari mana sumbernya, ia selalu bercerita pada anak-anaknya bahwa ketika masih
sangat muda Nabi Sulaiman pernah ditawari Allah empat macam yaitu (1) harta, (2)
kedudukan, (3) perempuan cantik, dan (4) ilmu. Yang mana pun yang dipilih pasti
akan Allah kabulkan. Tapi Nabi Sulaiman malah memilih yang terakhir yaitu ilmu.
Nabi Sulaiman minta kepada Allah agar diberi ilmu yang banyak, termasuk ilmu
bahasa makhluk-makhluk selain manusia. Kata Mahmodin pada anak-anaknya, pilihan
Sulaiman pada ilmu harus ditiru. Sebab dengan memilih dan memiliki ilmu yang
banyak Nabi Sulaiman dapat memiliki segalanya. Jabatan sebagai raja
diperolehnya, kekayaan yang tak ternilai jumlahnya dimilikinya dan Ratu Balqis yang
cantik tunduk ke pangkuannya dan mau menjadi istrinya.
Jadi dalam mendidik anak-anaknya
Mahmodin memegang falsafah Nabi Sulaiman bahwa ”ilmu” adalah kunci untuk
mendapat segalanya. Karena konteksnya cerita tentang Nabi Sulaiman, tentu ilmu
yang dimaksud adalah ilmu berdasarkan pada nilai-nilai keimanan.
Dengan falsafah seperti itulah
Mahmodin mau melakukan pekerjaan seberat apa pun demi mendapatkan biaya
pendidikan anak-anaknya yang mencari ilmu. Mahmodin sampai harus bertani
tembakau siang dan malam, menjadi penyalur pupuk ke petani di desa karena
berharap mendapat upah, bahkan sampai harus mencari hutangan ke sana ke mari
untuk membiayai anak-anaknya mencari ilmu.
Mahfud melihat kegandrungan
ayahnya pada ilmu itu menjadi kekuatannya dalam membesarkan anak-anaknya. Ada
pengalaman lucu ketika masih kecil. Ada kalanya ia suka mengambil uang di saku
ayahnya tanpa izin. Ayahnya marah-marah setelah mengetahuinya. Ia kemudian mengaku
bahwa uang yang diambilnya itu untuk membeli buku agama. Ayahnya langsung
berhenti marah. Bagi sang ayah, tak apalah uangnya diambil anaknya secara diam-diam
kalau memang digunakan membeli buku keperluan sekolah atau pondok pesantren.
Padahal uang itu telah digunakan untuk jajan atau membeli mainan layaknya anak
kecil dan remaja tanggung.
Ayah masuk penjara
Kejadian yang cukup membuat
Mahfud trauma adalah ketika ayahnya, Mahmodin, masuk penjara. Penyebabnya,
Mahmodin mencoblos Partai Nahdlatul Ulama (NU) pada pemilihan umum 1971.
Gara-gara peristiwa itu ia jadi kecut hati setiap melihat seragam militer. Tapi
tidak dinyana justru ia akhirnya sempat menjadi Menteri Pertahanan. Semua itu
tak pernah ia duga sebelumnya. "Jadi menteri untuk Gus Dur memang surprise
sekali. Tuhan-lah yang menghendaki hal itu terjadi,” katanya.
SD
Mahfud mengenyam pendidikan
agama dan umum. Pendidikan dasar dan agama dijalani di Madrasah Diniyyah di Desa
Waru, utara Pamekasan dan di surau di desanya. Masuk usia tujuh tahun, ia sudah
sibuk belajar setiap harinya. Pagi menjalani pendidikan Sekolah Dasar, siang
istirahat, sorenya belajar di Madrasah Ibtidaiyah, dan malam hingga pagi dihabiskan
waktunya belajar di surau.
Ponpes
Saat memasuki kelas V Mahfud dikirim
ke pondok pesantren (ponpes) di Desa Tagangser Laok untuk mendalami agama. Sehingga
ia harus pindah dari SD Waru ke SD Tagangser Laok yang memiliki pondok
pesantren bernama Somber Lagah. Ponpes Somber Lagah adalah pondok pesantren
salaf yang diasuh Kiai Mardhiyyan, seorang kiai keluaran Ponpes Temporejo atau
Temporan. Ponpes ini sekarang berganti nama menjadi Ponpes Al Mardhiyyah,
memakai nama pendirinya Kiai Mardhiyyan yang wafat pada pertengahan tahun
1980-an.
SPGA
Setamat dari SD, Mahfud dikirim
belajar ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (SPGA) Negeri di Pamekasan, meskipun
hasil ujiannya membuka peluang baginya untuk masuk di SMP favorit. Di sana ia
menempuh pendidikan empat tahun. Pada masa itu, ada kebanggaan tersendiri bagi orang
Madura kalau anaknya bisa menjadi guru ngaji, ustadz, kiai atau guru agama.
Di
sinilah awal mula munculnya inisial “MD” di belakang nama Mahfud. Inisial ini singkatan
dari nama ayahnya, Mahmodin, bukan nama gelar akademik.
Sebelumnya
dari lahir sampai lulus SD tidak ada inisial MD di belakang nama Mahfud. Inisial
itu baru dipakai setelah memasuki sekolah lanjutan pertama, tepatnya setelah masuk
SPGA. Sebab di kelas I sekolah tersebut ada tiga murid yang bernama Mohammad
Mahfud. Wali kelasnya meminta agar di belakang nama Mahfud diberi tanda A, B, atau
C. Berhubung kode tersebut seperti nomer becak, wali kelas meminta untuk
menambahkan nama ayahnya di belakang nama Mahfud. Sehingga Mahfud menjadi Mahfud
Mahmodin. Sedangkan teman sekelasnya ada yang bernama Mahfud Musyaffa’ dan
Mahfud Madani. Dalam perjalanannya, Mahfud merasa bahwa rangkaian nama Mahfud
Mahmodin terdengar kurang keren. Maka Mahmodin disingkat menjadi MD.
Tambahan nama inisial itu
semula hanya dipakai di kelas, tetapi pada waktu penulisan ijazah kelulusan SMP
(SPGA), inisial itu lupa dicoret sehingga terbawa terus sampai ijazah SMA,
Perguruan Tinggi, dan Guru Besar. Hal itu disebabkan karena nama pada ijazah di
setiap tingkat dibuat berdasarkan nama pada ijazah sebelumnya. Berangkat dari
situlah nama resmi Mahfud menjadi Mohammad Mahfud MD.
PHIN
Setelah lulus SPGA 4 tahun
(1974) Mahfud terpilih masuk ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), sebuah
sekolah kejuruan unggulan milik Departemen Agama di Yogyakarta yang
merekrut lulusan terbaik dari SPGA dan MTs seluruh Indonesia. Mantan menteri
koperasi Zarkasih Noer, mantan menteri sekretaris negara Djohan Effendi, tokoh
Majelis Ulama Amidhan, dan wakil ketua DPR Muhaimin Iskandar adalah lulusan
dari PHIN yang kemudian diubah menjadi Madrasah Aliyah Program Khusus ini.
UII
Tamat PHIN (1978), kalau
mendapatkan beasiswa Mahfud ingin melanjutkan sekolah ke PTIQ (Perguruan Tinggi
Ilmu al-Qur’an) di Mesir. Sambil menunggu persetujuan beasiswa, ia mencoba
kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan
Fakultas Sastra (Jurusan Sastra Arab) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Tapi berhubung telanjur betah di Fakultas Hukum, ia memutuskan meneruskan
pendidikan ke Fakultas Hukum UII yang dirangkapnya dengan kuliah di Fakultas
Sastra dan Budaya UGM Jurusan Sastra Arab. Namun kuliahnya di Fakutas Sastra
tidak berlanjut karena merasa ilmu bahasa Arab yang diperoleh di jurusan itu
tidak lebih dari yang didapat di pesantren dulu.
Mengingat kemampuan ekonomi
orang tua yang pas-pasan, ia giat mencari biaya kuliah sendiri termasuk gigih
mendapatkan beasiswa. Hal itu tidak sulit baginya. Ia aktif menulis di pers
kampus dan koran-koran umum seperti koran Kedaulatan
Rakyat dan koran Masa Kini. Tulisan-tulisannya
yang dimuat di Kedaulatan Rakyat dan Masa Kini, semua mendapat honorarium.
Ketika menempuh program S1 Mahfud
memperoleh tiga beasiswa masing-masing dari Rektor UII, Yayasan Dharma Siswa
Madura, dan Yayasan Supersemar. Ketika menempuh pendidikan S2 di UGM ia
mendapat beasiswa penuh dari UII sebagai perguruan tinggi yang mensponsori
studinya. Sedangkan pada saat menempuh pendidikan S3 di UGM ia mendapat
beasiswa dari Yayasan Supersemar dan dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mencari beasiswa memang tidak
terlalu sulit bagi Mahfud. Sebab nilai hasil studinya tak pernah mengecewakan. Ia
pernah dinobatkan dan diberi beasiswa penuh oleh Rektor UII karena terpilih
sebagai mahasiswa berprestasi terbaik untuk angkatannya di universitas yang
didirikan tahun 1945 itu. Ia juga lulus sebagai sarjana dari UII dengan
predikat lulusan terbaik (cum laude).
Konsentrasi studinya di bidang
hukum terfokus pada studi bidang Hukum Tata Negara. Pendidikan pasca
sarjananya ditempuh di program pasca sarjana S2 UGM dalam bidang studi
Ilmu Politik dan program pasca sarjana S3 (doktor) dalam bidang studi Ilmu Hukum
Tata Negara, juga di UGM.
Sejak SMP Mahfud remaja
tertarik menyaksikan hingar bingar kampanye pemilu. Dari situlah tumbuhnya bibit-bibit
kecintaannya pada politik. Setelah kuliah kecintaannya pada politik semakin
membuncah. Kemudian disalurkan dengan mengikuti kegiatan di berbagai organisasi
kemahasiswaan intra universitas seperti Senat Mahasiswa, Badan Perwakilan
Mahasiswa, dan Pers Mahasiswa.
HMI
Mahfud pernah aktif di
organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pilihannya pada HMI didorong oleh
pemahamannya terhadap medan politik di UII. Saat itu untuk bisa menjadi
pimpinan organisasi intra kampus harus berstempel sebagai aktivis HMI.
Pers Mahasiswa
Ketika mahasiswa Mahfud aktif
di berbagai organisasi mahasiswa seperti senat mahasiswa dan Badan Perwakilan
Mahasiswa. Namun yang paling ia tekuni hanya Lembaga Pers Mahasiswa. Sejarah
mencatat ia pernah menjadi pimpinan di majalah mahasiswa Keadilan (tingkat fakultas hukum) dan majalah mahasiswa Muhibbah (tingkat universitas). Karena
begitu kritis terhadap pemerintah Orde Baru, Majalah Muhibbah yang dipimpinnya pernah dibreidel sampai dua kali. Pertama
dibreidel Pangkopkamtib Soedomo (tahun 1978) dan terakhir dibreidel Menteri
Penerangan Ali Moertopo (1983). Sejak mahasiswa ia sudah aktif menulis di
berbagai media massa terutama yang menyangkut soal politik dan hukum.
Dosen
Lulus dari Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1983), Mahfud kepingin menjadi dosen di
almamaternya. Keinginannya itu kesampaian. Tahun 1984 ia mulai merintis karir
dosennya di Fakultas Hukum UII dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Ia kemudian
terpilih sebagai salah seorang Dosen Teladan di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Pernah juga terpilih sebagai dosen yang paling
produktif menulis ilmiah selama tiga tahun berturut-turut.
S2 Ilmu Politik
Setelah sekian waktu menggeluti
ilmu hukum, Mahfud menemukan berbagai kegundahan terkait peran dan posisi
hukum. Kekecewaannya pada hukum mulai terungkap, ia menilai hukum selalu
dikalahkan oleh keputusan-keputusan politik. Berangkat dari kegundahan itu, ia termotivasi
ingin belajar Ilmu Politik. Menurutnya, hukum tidak dapat bekerja sebagaimana
mestinya karena selalu diintervensi politik. Ia melihat bahwa energi politik
selalu lebih kuat dari pada energi hukum. Sehingga ia ingin belajar ilmu
politik. Oleh sebab itu, ketika datang peluang memasuki Program Pasca Sarjana
S-2 dalam bidang Ilmu Politik pada tahun 1985 di UGM, ia tanpa ragu-ragu segera
mendaftar. Di UGM, ia menerima kuliah dari dosen-dosen Ilmu Politik terkenal
seperti Moeljarto Tjokrowinoto, Mochtar Mas’oed, Ichlasul Amal, Yahya Muhamin,
Amien Rais, dan lain-lain.
Doktor pertama
Keputusannya mengambil Ilmu
Politik yang notabene berbeda dengan konsentrasinya di bidang hukum tata negara
bukan tanpa konsekuensi. Sebab sebagai dosen (PNS), bila mengambil studi lanjut
di luar bidangnya tidak akan dihitung untuk jenjang kepangkatan. Maka selepas
lulus Program S-2 Ilmu Politik, ia menempuh pendidikan Doktor (S-3) dalam Ilmu
Hukum Tata Negara di Program Pasca Sarjana UGM sampai akhirnya lulus sebagai
doktor (1993). Disertasi doktornya tentang “Politik Hukum” cukup fenomenal dan
menjadi bahan bacaan pokok di program pascasarjana bidang ketatanegaraan pada
berbagai perguruan tinggi karena pendekatannya yang mengkombinasikan dua bidang
ilmu yaitu ilmu hukum dan ilmu politik.
Dalam sejarah pendidikan doktor
di UGM Mahfud tercatat sebagai peserta pendidikan doktor yang menyelesaikan
studinya dengan cepat. Pendidikan S3 di UGM itu diselesaikannya hanya dalam
waktu 2 tahun 8 bulan. Sampai saat itu (1993) untuk bidang studi Ilmu-ilmu
Sosial di UGM hampir tidak ada yang dapat menyelesaikan studi secepat itu,
rata-rata pendidikan doktor baru dapat diselesaikan di atas 5 tahun. Tentang
kecepatannya menyelesaikan studi S3 ia mengaku bukan karena dirinya pandai atau
memiliki keistimewaan tertentu, melainkan karena ketekunan dan dukungan dari
para promotornya yaitu Prof. Moeljarto Tjokrowinoto, Prof. Maria SW Sumardjono,
dan Prof. Affan Gaffar.
Selain selalu tekun membaca dan
menulis di semua tempat untuk keperluan disertasinya, ketiga promotor tersebut
juga mengirim Mahfud ke Amerika Serikat, tepatnya ke Columbia University (New
York) dan Northern Illinois University (DeKalb) untuk melakukan studi pustaka
tentang politik dan hukum selama satu tahun.
Ketika melakukan studi pustaka
di Pusat Studi Asia, Columbia University, New York, Mahfud berkumpul dengan
Artidjo Alkostar, senior dan mantan dosennya di Fakultas Hukum UII. Sedangkan
ketika menjadi peneliti akademik di Northern Illinois University, Mahfud
berkumpul dengan Andi A. Mallarangeng yang pernah menjadi juru bicara Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu Andi Mallarangeng menjadi Ketua
Perhimpunan Muslim di wilayah itu. Sehingga Mahfud diberi satu kamar tanpa
menyewa di sebuah kamar yang dijadikan masjid dan tempat berkumpulnya keluarga
mahasiswa muslim di berbagai negara. Perjalanan karier pekerjaan dan jabatannya
termasuk langka dan tidak lazim karena begitu luar biasa.
Mahfud tercatat sebagai dosen
tetap Fakultas Hukum UII pertama yang meraih derajat Doktor pada tahun 1993. Ia
meloncat mendahului bekas dosen dan senior-seniornya di UII, bahkan tidak
sedikit dari bekas dosen dan senior-seniornya kemudian menjadi mahasiswanya
atau dibimbingnya dalam menempuh pendidikan pascasarjana.
Pada 1986-1988, Mahfud
dipercaya memangku jabatan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara FH UII, dan
berlanjut dilantik menjadi Pembantu Dekan II Fakultas Hukum UII dari 1988
hingga 1990.
Berikutnya, jabatan sebagai
Direktur Karyasiswa UII dijalani dari 1991 sampai 1993. Pada 1994, UII
memilihnya sebagai Pembantu Rektor I untuk masa jabatan 1994-1998. Di tahun
1997-1999, ia tercatat sebagai Anggota Panelis Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi. Ia sempat juga menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UII
pada 1998-2001. Dalam rentang waktu yang sama yakni 1998-1999 ia juga menjabat
sebagai Asesor pada Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Guru besar termuda
Didukung karya tulisnya yang
sangat banyak, baik berupa buku, jurnal, maupun makalah ilmiah, Mahfud melompat
dari Lektor Madya langsung menjadi guru besar (profesor). Jabatan guru besar
ini diperolehnya tanggal 1 November 1999 berdasarkan SK Mendinas Nomor
84193/A2.IV.1/KP/1999. Jika dihitung dari awal menjadi dosen sampai meraih
gelar guru besar, ia hanya membutuhkan waktu 12 tahun. Sesuatu yang cukup
berkesan baginya. Sebab umumnya seseorang bisa merengkuh gelar Guru Besar
minimal membutuhkan waktu 20 tahun sejak awal kariernya. Dengan rentang waktu
tersebut, ia memegang rekor tercepat dalam sejarah pencapaian gelar Guru Besar.
Pencapain itu diraihnya saat usianya baru menginjak 41 tahun. Tidak heran jika
pada waktu itu, ia tergolong Guru Besar termuda di zamannya. Satu nama yang
dapat disejajarkan adalah Yusril Ihza Mahendra yang juga meraih gelar Guru
Besar pada usia muda. Ia adalah guru besar Ilmu Politik Hukum yang
pertama dan satu-satunya di Indonesia.
Dalam meraih
jabatan guru besar Mahfud meraihnya dengan dua loncatan jabatan akademik,
tidak melalui delapan tangga jabatan satu persatu. Oleh sebab itu tidak seperti
umumnya dosen lain yang biasanya baru meraih jabatan profesor setelah usia tua.
Ia meraih jabatan itu ketika baru melewati usianya yang ke 40 tahun.
Mula-mula ia diangkat menjadi Asisten Ahli Madya tahun 1987. Setelah lulus
doktor (1993) langsung meraih jabatan Lektor Madya (melompati jabatan asisten
ahli dan lektor muda). Setelah itu langsung meloncat ke guru besar (profesor)
tanpa harus singgah dulu di jabatan Lektor, Lektor Kepala Madya, dan Lektor
Kepala.
Loncatan-loncatan jabatan
seperti itu memang dimungkinkan sejak pertengahan tahun 1990-an bagi para dosen
yang mampu menghimpun prestasi yang dapat dinilai dengan sejumlah kum (CCP,
Comulative Credit Point) yang meliputi kegiatan perkuliahan, penelitian dan
karya tulis, pengabdian pada masyarakat, dan kum penunjang. Sebagai mantan
aktivis ia mampu meraih kum tinggi karena sangat aktif mengajar, banyak
meneliti, menulis buku, menulis makalah untuk jurnal ilmiah atau untuk
berbagai seminar serta aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Sampai
tahun 1999 hanya Yusril Ihza Mahendra dan Mahfud MD yang tercatat memperoleh derajat
guru besar termuda dalam bidang ilmu hukum. Setelah itu disusul generasi yang
lebih muda seperti Hikmahanto Juwana dan Satya Arinanto, keduanya adalah dosen
Fakultas Hukum UI.
Dari PAN pindah ke PKB
Ingin mencoba dunia baru,
Mahfud MD terjun ke politik praktis. Ia sempat menjadi Ketua Departemen Hukum
dan Keadilan DPP Partai Amanat Nasional (PAN) di awal-awal partai itu dibentuk
dimana dirinya juga turut membidani. Tapi kemudian keluar dari PAN dan kembali ke
kampus menekuni dunia akademis.
Meski memulai karier di PAN,
Mahfud tak meneruskan langkahnya di partai yang ia deklarasikan itu. Ia memilih
bergabung dengan mentornya, Gus Dur, di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tidak
menunggu lama, ia dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 2002-2005. Di tengah-tengah kesibukan
berpolitik, ia dipinang Universitas Islam Kadiri (Uniska) Kediri untuk menjadi
Rektor periode 2003-2006. Meski bersedia, namun tidak lama kemudian
mengundurkan diri karena khawatir tidak dapat berbuat optimal akibat kesibukan dan
domisilinya yang di luar Kediri.
Kiprahnya di dunia politik
berlanjut, Mahfud terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2004-2008. Ia bertugas
di Komisi III DPR sejak 2004 bersama koleganya di Fraksi Kebangkitan Bangsa.
Namun sejak 2008, ia berpindah ke Komisi I DPR. Di samping menjadi anggota
legislatif, sejak 2006 ia juga menjadi Anggota Tim Konsultan Ahli pada Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Depkumham).
Hakim
Konstitusi
Belum puas berkarier di
eksekutif dan legislatif, Mahfud pingin mengabdi di ranah yudikatif menjadi
hakim konstitusi melalui jalur DPR. Setelah melalui proses uji kelayakan dan
kepatutan bersama 16 calon hakim konstitusi di Komisi III DPR akhirnya ia bersama
Akil Mochtar dan Jimly Asshiddiqie terpilih menjadi hakim konstitusi dari jalur
DPR. Ia terpilih menggantikan hakim konstitusi Achmad Roestandi yang memasuki
masa purna tugas. Pada 1 April 2008 Mahfud dilantik menjadi Hakim Konstitusi berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor
14/P/Tahun 2008 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Maret 2008.
Ketua Mahkamah Konstitusi
Setelah 4,5 tahun di DPR,
Mahfud terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2011
tepatnya Selasa 19 Agustus 2008. Ia menggantikan ketua sebelumnya, Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH (sekarang Ketua Umum ICMI). Pemilihan Ketua MK berlangsung
terbuka di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Dalam pemungutan suara, Mahfud menang
tipis, satu suara yakni mendapat 5 suara sedang Jimly 4 suara. Secara resmi,
Mahfud dilantik dan mengangkat sumpah Ketua Mahkamah Konstitusi di Gedung
Mahkamah Konstitusi, pada Kamis 21 Agustus 2008.
"Saya merasa mendapat
tempat yang cocok di Mahkamah Konstitusi," ujarnya. Gus Dur juga salah
satu orang yang menyokongnya untuk mendapat posisi tersebut. Saat menjadi Ketua
MK, Mahfud mengatakan, ia mendapat tempat terhormat. Ia tak memiliki atasan dan
dapat membuat keputusan yang sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya.
Sebaliknya kalau di DPR, ia justru menilai hidupnya paling menderita. Idenya
mati. Pikirannya boleh bagus, tapi semua bisa hilang dalam sekejap karena
keputusan politik. "Apalagi kalau ketua fraksi sudah memutuskan kebijakan
berbeda, pasti kalah kita," katanya.
Mengajar
Di sela-sela kesibukannya
sebagai Ketua MK, Mahfud selalu menyempatkan waktunya untuk mengajar, biasanya
di hari Sabtu dan Minggu. Ia terbiasa dengan kondisi demikian, sebab dari awal
karier, dirinya memang berkeinginan menjadi pengajar, jiwa yang dimiliki adalah
jiwa untuk mengajar. Hal ini sudah tampak sejak dirinya masih kecil
bercita-cita ingin menjadi guru ngaji. Setelah kuliah, ia ingin menjadi dosen,
karena suka melihat dosen-dosen yang kreatif dan suka berdebat. Bahkan ia sering
bolos bila dosen yang mengajar adalah dosen yang tidak kreatif.
Saat ini Mahfud sudah melepas
kedudukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tetapi dirinya masih tetap
menggunakan kewenangan akademiknya sebagai guru besar untuk tetap mengajar di
berbagai perguruan tinggi. Sebab ketika memasuki jabatan-jabatan politik
tertentu seorang pegawai negeri memang harus melepas statusnya sebagai pegawai
negeri. Tetapi kewenangannya untuk terus mengajar sebagai guru besar tetap
diakui oleh negara. Ini sesuai dengan kebijakan bahwa kedudukan sebagai pegawai
negeri tidak dapat dirangkap dengan jabatan politik tertentu, tetapi
kewenangan mengajar sebagai cermin keahlian yang telah diraihnya tidak
dapat dicabut.
Sampai sekarang Mahfud masih
aktif mengajar di berbagai program pasca sarjana seperti di UII (Yogyakarta),
UGM (Yogyakarta), UI (Jakarta), Universitas Udayana (Denpasar), Universitas
Jenderal Soedirman (Purwokero), Universitas Mataram (Mataram), UMS (Surakarta),
Uniska (Kediri), Unisda (Lamongan), Unilak dan UIR (Pekanbaru). Selain
itu menjadi oponen ahli serta penguji untuk program doktor di Universitas
Padjadjaran (Bandung), Universitas Airlangga, UIN Ar Raniry dan University of
Malaya.
“Untuk menjadi dosen tidak
harus menjadi pegawai negeri. Banyak guru besar yang sudah tidak lagi menjadi
pegawai negeri, misalnya karena pensiun, tetapi masih aktif mengajar karena
kewenangan sebagai guru besar terus melekat,” jawab Mahfud ketika ditanya alasannya
untuk terus mengajar.
Banyak yang bertanya, bagaimana
bisa memenuhi tugas-tugas mengajar di banyak univesitas padahal sehari-hari
Mahfud adalah politisi anggota DPR. Mahfud menjelaskan, bahwa itu tidak sulit
dilakukan. Kegiatan mengajar di universitas dilakukan hari Jum’at sampai Minggu.
Sedangkan aktivitasnya sebagai anggota DPR dilakukan pada sidang-sidang hari
Senin sampai Kamis sesuai dengan jadwal di DPR. Sekali datang ke kampus
biasanya mengajar sampai empat sesi dari pagi sampai malam. Sehingga setiap
kampus dapat digilir untuk didatangi sebulan sekali tanpa mengurangi jam yang
wajib diisi. Selain itu pada saat ia tak datang ke kampus karena jadwal
mengajarnya sudah diropel para asistennya meneruskan pendalaman-pendalaman
materi.
Mahfud mengaku menikmati
profesi gandanya sebagai akademisi dan politisi, bukan karena uang yang dapat
diperolehnya, melainkan karena keasyikan mempertemukan teori di kampus dengan
kenyataan praktis di lapangan. Dari kedudukan sebagai akademisi ia bisa bergelut
dengan teori-teori dan kajian-kajian bersama para mahasiswa. Tetapi dari
kedudukan sebagai politisi ia dapat menggali dan mengenali tuntutan-tuntutan
riil di lapangan.
Deputi Menteri negara
Sejak hijrah ke Jakarta, karier
Mahfud kian cemerlang. Ia tak hanya memiliki rekam jejak yang bagus di bidang
akademik, tetapi juga berhasil masuk ke jajaran birokrasi eksekutif pusat
antara tahun 1999-2000. Ia didaulat menjadi Pelaksana Tugas Staf Ahli Menteri
Negara Urusan HAM (Eselon I B). Sementara itu, di tahun 2000 ia diangkat dengan
jabatan Eselon I A sebagai Deputi Menteri Negara Urusan HAM. Tugasnya seputar
bidang produk legilasi urusan HAM.
Montang-manting Yogya - Jakarta
Mahfud sama sekali tak pernah
menduga kejadian di bulan Agustus 2000 di rumah Jalan Irian, Menteng, Jakarta
Pusat, tempat Gus Dur menerima para tamu di luar jam kerja.
Tiga hari sebelumnya, Mahfud menerima
telepon dari Menteri Sekretaris Negara Djohan Effendi. Pesan di telpon itu
jelas. "Gus Dur mau bertemu Bapak. Sabtu ini Bapak ditunggu di Istana jam
delapan pagi," kata Djohan.
Esok paginya Mahfud dari
Yogyakarta berangkat ke Jakarta dengan pesawat pukul enam pagi. Krisis moneter
kala itu membuat kursi pesawat banyak yang kosong. Ia bisa langsung datang ke
bandar udara dan membeli tiket. Tapi sampai di Jakarta, ia langsung balik lagi
ke Yogyakarta karena ternyata Gus Dur berada di Kota Gudeg tersebut. "Ia
mau nonton wayang dengan rektor UGM (Ichlasul Amal) dan Sri
Sultan," ujarnya.
Pesan singkat dan telpon ke
ajudan Gus Dur tak mendapat respons. Mahfud kembali ke rumahnya yang tak jauh
dari Bandara Adi Sucipto dengan rasa penasaran. Ia menduga Sang Presiden akan memberi
jabatan. Tapi menjadi menteri tak pernah terlintas dalam benaknya. Ia justru
menduga akan diangkat menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Senin pagi ia kembali ke
Jakarta untuk menemui Alwi Shihab, atas saran temannya yang anggota DPR, Tari
Siwi Utami. Sebenarnya ia ke Jakarta juga untuk menghadiri acara pernikahan
anak teman satu kampus di UII Yogyakarta, Henry Yosodiningrat.
"Ente dipanggil Gus
Dur?" tanya Alwi di kantor Kementerian Luar Negeri, Jalan Pejambon,
Jakarta Pusat.
Mahfud mengiyakan. Lalu, karena
tak punya kartu nama, Mahfud menuliskan namanya di secarik kertas.
"Gini, ente mungkin
jadi menteri. Mau jadi menteri apa?" tanya Alwi.
"Saya ini guru besar, bisa
jadi Menteri Pendidikan. Saya juga ahli hukum, bisa Menteri Kehakiman
juga," ujar Mahfud.
Alwi kemudian mengatakan untuk
menunggu kabar dari Gus Dur. Pembicaraan mereka selesai sampai di situ. Mahfud
lalu pergi ke acara mantenan kawannya. Setelah itu ia kembali ke
Yogyakarta.
Malamnya, telpon Mahfud
berdering. Tari menghubunginya dan memintanya kembali ke Jakarta karena Gus Dur
mau bertemu. "Loh, orang kalau dipanggil Presiden ya harus
tunggu, pasti dapat jabatan," kata lawan bicaranya itu.
Esok paginya, Mahfud kembali ke
Jakarta untuk ketiga kalinya dalam empat hari. Sekitar pukul delapan malam, ia
akhirnya bertemu Gus Dur. Perdebatan soal jabatan menteri pertahanan itu pun
terjadi.
"Pak Presiden, Kementerian
Pertanahan kan sudah dibubarkan," kata Mahfud mengingatkan.
"Saya tahu itu
bubar," jawab Sang Presiden. "Kamu bukan jadi Menteri Pertanahan tapi
Menteri Pertahanan,” lanjut Sang Presiden.
Sontak saja Mahfud kaget
mendengar ucapan yang keluar dari mulut presiden keempat Republik Indonesia,
Abdurrahman "Gus Dur" Wahid. Ia merasa bagai mimpi, tapi lawan
bicaranya itu serius mengatakan kabar yang seharusnya membuatnya gembira
tersebut.
"Saya tidak mengerti
militer, tidak pernah belajar soal tentara," kata Mahfud. Ketika itu ia sudah
menjadi guru besar hukum tata negara di UII Yogyakarta.
"Kamu kan profesor,
belajar 1-2 hari pasti bisa. Kamu datang saja ke Yudhoyono (Menteri
Pertambangan dan Energi Susilo Bambang Yudhoyono). Belajar sama dia. Dia
pintar," ujar Gus Dur.
"Lah bagaimana Menteri
Pertahanan belajar sama Mentamben?" ujar Mahfud.
"Dia akan menjadi
Menkopolsoskam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan). Satu
koordinasi dengan Pak Mahfud," kata Gus Dur.
Mahfud tetap ngeyel. Ia
menawar untuk jadi menteri hukum. Gus Dur menolak. "Yusril (Yusril Ihza
Mahendra) sudah senang di sana," katanya.
“Kalau gitu, saya bersedia
menggantikan posisi Marsillam Simanjuntak sebagai Sekretaris Kabinet,” usul
Mahfud.
"Saya lebih cocok dia
(Marsillam)," ujar Gus Dur.
"Jadi menteri negara
urusan HAM (hak asasi manusia) saja karena sekarang saya jadi deputi di
sana," tawar Mahfud lagi.
"Ndak bisa,
kementeriannya mau saya bubarkan," kata Gus Dur.
Mahfud terperangah lagi dengan
perkataan itu. Padahal baru dua hari lalu ia diangkat menjadi Deputi Menteri
HAM yang keputusannya ditandatangani oleh Gus Dur. Bahkan Menteri HAM kala itu
Hasballah M Saad tak tahu rencana pembubaran kementeriannya.
"Pak, saya tidak punya
latar belakang militer. Kalau hukum, sudahlah saya bantu, Pak Presiden,"
lagi-lagi Mahfud mencoba bernegosiasi.
Gus Dur tak kalah ngeyel.
Ia tetap punya dalih untuk menguatkan keputusannya. "Saya yang tidak punya
latar belakang presiden bisa kok jadi presiden," katanya berkukuh. Suasana
langsung cair ketika Gus Dur mengatakan hal setengah guyon tersebut.
Menteri Luar Negeri Alwi Shihab
yang duduk di samping Mahfud lalu memberi isyarat dengan menepuk-nepuk pahanya.
Mahfud kemudian mafhum untuk menghentikan argumentasinya. Ia pun menjadi Menteri
Pertahanan.
Menteri Pertahanan dan Kehakiman
Pengangkatan Mahfud sebagai
Menteri Pertahanan dalam Kabinet Persatuan Nasional hampir tak dapat dipercaya,
bukan saja oleh masyarakat tetapi oleh Mahfud sendiri. Ketika itu ia bukanlah
seorang politisi yang terkenal. Ia hanya dikenal baik sebagai akademisi
terutama di berbagai Fakultas Hukum. Bahkan ia sendiri tidak tahu kalau Gus Dur
benar-benar mengenal dirinya. Pasalnya ia berkenalan secara langsung dengan Gus
Dur hanyalah kira-kira 16 tahun sebelum pengangkatannya sebagai menteri,
tepatnya pada tahun 1983, dan dalam waktu 16 tahun terakhir sejak itu ia tak
pernah lagi ada kontak, apalagi bertemu dengan Gus Dur. Sebelumnya ia menolak
jabatan Jaksa Agung yang diberikan Gus Dur, karena merasa tak memiliki
kemampuan teknis di posisi tersebut.
Pada tanggal 8 Februari 2001,
Presiden Gus Dur memberhentikan Yusril Izha Mahendra yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Maka lowongan posisi tersebut juga
disandangkan ke Mahfud MD. Dua jabatan yang dijalankan Mahfud diakui olehnya
sendiri cukup berat. Publik pun mengakui bahwa Mahfud tak pernah efektif
menjadi Menteri Kehakiman karena diangkat pada 20 Juli 2001, sedangkan pada
Senin 23 Juli Gus Dur lengser. Pada saat itu posisi Mahfud adalah Menteri
Kehakiman dan HAM demisioner.
Pengangkatan Mahfud menjadi
Menteri Pertahanan tidak mendapat respon positif dari banyak pihak. Kritik
terutama tertuju pada latar belakangnya yang berasal dari bidang hukum, tak
sesuai dengan jabatan itu. Apalagi sosok yang ia gantikan pada saat reshuffle
kabinet pertama di era Gus Dur tersebut adalah seorang guru besar bidang
hubungan internasional, Juwono Sudarsono. Media tak kalah kejam pada dirinya.
Ia dianggap memiliki kedekatan tertentu pada Gus Dur sehingga bisa terpilih
menjadi menteri. "Media menyebut kami yang akrab dengan beliau sebagai all
the president's men," ujarnya.
Padahal komunikasi terakhir
Mahfud dengan Gus Dur sebelum peristiwa di Jalan Irian itu terjadi pada 1984.
Kisahnya dimulai tahun 1983
ketika Mahfud lulus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan mulai
membantu-bantu Fakultasnya sebagai asisten dosen. Pada saat itu ia mengundang Gus
Dur beberapa kali ke kampus UII untuk memberikan kuliah umum atau menjadi
pemrasaran diskusi-diskusi. Ia memang sangat mengagumi kecemerlangan otak
dan langkah-langkah Gus Dur sebagai tokoh muda NU. Hampir semua tulisan Gus
Dur, berita tentang Gus Dur, bahkan ulasan-ulasan orang tentang Gus Dur selalu
diikutinya dengan cermat. Kekaguman yang luar biasa itu kemudian mendorongnya mengundang
Gus Dur ke UII. Apalagi UII dulu didirikan oleh tokoh-tokoh Islam lintas
organisasi dan perseorangan termasuk kakek dan ayah Gus Dur yang
tokoh NU yaitu KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim.
Sejak 1983 Mahfud beberapa kali
mengundang Gus Dur untuk memberikan ceramah di kampusnya, UII. Kalau Gus Dur
hadir ke UII Mahfud-lah yang menjemput ke bandara, mengantarkan ke hotel kelas
melati, dan menemaninya makan di warung kecil. Mahfud tak menyangka
perbuatannya yang tampak sepele itu tak pernah terlupakan oleh Gus Dur. Tetapi
sejak tahun 1983/1984 itu ia tak pernah lagi berhubungan langsung dengan Gus
Dur. Ia mengira Gus Dur sudah lupa pada dirinya. Oleh sebab itu sangatlah
mengejutkan ketika Gus Dur menjadi Presiden, tiba-tiba Gus Dur memanggilnya dan
memberinya jabatan Menteri Pertahanan di dalam kabinet yang dipimpinnnya. Gus
Dur bukan hanya ingat pada dirinya tetapi juga cukup tahu perjalanan karier dan
posisinya di kalangan akademisi terutama untuk bidang hukum.
Mahfud sendiri terus meyakini
bahwa Gus Dur adalah seorang pejuang demokrasi, tokoh Islam inklusif, sangat
moderat, anti KKN dan sangat mandiri dalam menentukan keputusan. Buktinya Gus
Dur mengangkat para menterinya dengan berani, tanpa kolusi dan tanpa persyaratan
yang aneh-aneh kecuali meminta janji untuk bekerja dengan sebaik-baiknya.
Ternyata Mahfud tak bisa melaksanakan
jabatan tersebut dengan maksimal. Ia mengaku hanya mengerjakan hal-hal rutin
saja selama setahun menjadi Menteri Pertahanan. Ia lebih banyak mendampingi Gus
Dur. Saat itu suhu politik sangat gaduh. Gonjang-ganjing, kasak-kusuk, saling
ancam kerap terjadi antara Istana Negara dan Gedung Parlemen. Gus Dur banyak
menerima tamu yang kadang membawa informasi sumir. Hal tersebut ditanggapi
Presiden dengan reaktif.
Satu informasi yang sempat
membuat Gus Dur bereaksi adalah soal adanya gerakan untuk menjatuhkan dirinya
yang dipimpin oleh Akbar Tanjung dan didanai oleh Fuad Bawazier. "Dia
langsung pidato, ada gerakan makar," kata Mahfud. Provokasi melalui
informasi itu, menurut Mahfud, sangat tidak baik bagi pemerintahan. Musuh-musuh
politik Gus Dur semakin menguat dan memanaskan suasana.
Akhirnya, Mahfud bersepakat
dengan tiga menteri lainnya yang loyal dengan Gus Dur, yaitu Alwi, Khofifah
Indar Parawansa (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan), dan Zarkasih Nur
(Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah). Gus Dur harus ditemani
dan tidak boleh sembarangan menerima tamu. Keempatnya berbagi tugas menemani
Gus Dur, terutama saat hari masih subuh. Mahfud tak ingat hari apa jatahnya
melakukan hal itu. Ia hanya ingat setelah dirinya adalah Khofifah, lalu Alwi,
kemudian Zarkasih. "Dari situlah kami jadi dekat," kata Mahfud.
Loyalitas mereka kemudian
semakin teruji ketika para menteri lainnya sudah pasang badan untuk
meninggalkan Gus Dur. Ketika itu Gedung Parlemen mengeluarkan ancaman melakukan
Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Di sisi lain, Gus
Dur juga menggertak akan mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan
parlemen. Kedua pihak saling pamer kekuatan dahsyat. Mahfud menilai Gus Dur
kala itu mendapat pengaruh para aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) untuk
melawan DPR. Sampai akhirnya keduanya mengeluarkan senjata pamungkas
masing-masing. Gus Dur tak kuasa menolak desakan untuk lengser. Parlemen
kemudian sepakat menunjuk Megawati Soekarnoputri menjadi presiden pada 23 Juli
2001.
Mahfud tak berada di Jakarta
pada saat terbitnya dekrit tersebut. Ia berada di kampung halamannya, Madura,
Jawa Timur, untuk menyerahkan surat keputusan presiden yang menetapkan
Universitas Madura menjadi perguruan tinggi negeri. Esok paginya ia baru
berjumpa dengan Gus Dur. Gus Dur sedang berbincang-bincang dengan budayawan
Emha "Cak Nun" Ainun Nadjib dan istrinya, Novia Kolopaking. "Gus
Dur ketawa-ketawa dengan mereka waktu saya datang ke Istana pagi-pagi,"
katanya.
Tapi Mahfud tak bisa menutup
rasa iba ketika melihat kondisi Istana yang sepi, tak seperti biasanya yang
ramai dengan tamu. Gus Dur terlihat tenang-tenang saja. Padahal di sebelahnya
ada siaran televisi, para anggota DPR sedang memaki-maki dirinya. Tak lama
setelah Cak Nun dan istrinya pergi, Alwi datang. "Temannya tak ada waktu
itu. Tapi hebatnya, dia tak berwajah tegang, seperti biasa saja," ujar
Mahfud.
DPR tempatnya orang bohong
Tak berada di pemerintahan
bukan berarti keduanya tak lagi dekat. Gus Dur memintanya masuk Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Mahfud sempat kembali ngeyel karena merasa
kariernya di universitas sedang bagus dan tak mau meninggalkan penghasilan
tetapnya. Tapi akhirnya, lagi-lagi, Mahfud kalah beradu argumentasi dengan
Bapak Tionghoa Indonesia itu. Ia masuk PKB. Kemudian ia menjadi anggota DPR,
keputusan yang salah menurut Gus Dur. "DPR tempatnya orang bohong,"
kata Mahfud menirukan ucapan Gus Dur.
Usia 60
Di usianya yang hampir 60
tahun, Mahfud masih sibuk dengan berbagai kegiatan. Ia menjadi pembicara di
berbagai seminar. Ia juga menjabat sebagai anggota dewan pengarah Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
"Ini tak seperti P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dulu," ujar Mahfud. UKP-PIP
justru bekerja dengan mendatangi langsung masyarakat, melalui komunitas dan
lembaga negara. "Kami berbicara apa saja, isu teraktual," kata anak
keempat dari tujuh bersaudara itu.
Karier Mahfud sebenarnya
termasuk cemerlang dalam bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sedikit
orang di Indonesia yang bisa menempati tiga bidang tersebut dengan mulus, tanpa
kasus.
Organisasi
Mahfud aktif di berbagai organisasi,
antara lain pernah menjadi Ketua Umum Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam
Swasta (BKS-PTIS) se Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (1996-1998),
Wakil Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat BKS-PTIS (1998-2003), salah seorang
Ketua Pimpinan Pusat Asosiasi Dosen Hukum Tata Negara se Indonesia (1999),
serta pernah memimpin LSM Parliament Watch-Indonesia (ParWI) di Daerah Istimewa
Yogyakarta (1999-2000). Pernah juga menjadi redaktur beberapa jurnal ilmiah
seperti Unisia, Jurnal Hukum, dan Arena Almamater.
Sebagai pakar dan pengamat
Mahfud dikenal sangat dekat dengan pers dan mudah dihubungi oleh wartawan. Sehingga
PWI Yogyakarta (seksi Polkam) pernah menganugerahinya sebagai pengamat dan nara
sumber paling simpatik tahun 2000 setelah sebelumnya (1999) menjadi runner up pengamat paling simpatik.
***
(Naskah ini disunting dari berbagai sumber di internet).
Referensi
:
Biodata | |||||||||||||||||
Nama lengkap | ˸ | Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud MD, SH, SU. | |||||||||||||||
Lahir | ˸ | Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957. | |||||||||||||||
Agama | ˸ | Islam. | |||||||||||||||
Pendidikan tertinggi | ˸ | S3. | |||||||||||||||
Jabatan akademik | ˸ | Guru besar. | |||||||||||||||
Ayah | ˸ | Mahmodin alias Emmo Prawiro Truno. | |||||||||||||||
Ibu | ˸ | Siti Khadidjah. | |||||||||||||||
Istri | ˸ | Zaizatun Nihayati (Yatie), SH | |||||||||||||||
Anak | ˸ | 1 | Muhammad Ikhwan Zein. | ||||||||||||||
2 | Royhan Akbar. | ||||||||||||||||
3 | Vina Amalia. | ||||||||||||||||
Alamat rumah | ˸ | Sambilegi Baru Maguwoharjo 29 Yogyakarta. | |||||||||||||||
Alamat kantor | ˸ | Jl. Kaliurang Km 14.5 Besi, Sleman, Yogyakarta, Kode pos 55584. | |||||||||||||||
Karier | ˸ | ◦ | Guru Besar Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1984-sekarang). | ||||||||||||||
◦ | Menteri Pertahanan RI (2000-2001). | ||||||||||||||||
◦ | Menteri Kehakiman dan HAM (2001). | ||||||||||||||||
◦ | Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (2002-2005). | ||||||||||||||||
◦ | Rektor Universitas Islam Kadiri (2003-2006). | ||||||||||||||||
◦ | Anggota DPR-RI, duduk Komisi III (2004-2006). | ||||||||||||||||
◦ | Anggota DPR-RI, duduk Komisi I (2006-2007). | ||||||||||||||||
◦ | Anggota DPR-RI, duduk di Komisi III (2007-2008). | ||||||||||||||||
◦ | Wakil Ketua Badan Legislatif DPR-RI (2007-2008). | ||||||||||||||||
◦ | Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013). | ||||||||||||||||
◦ | Anggota Dewan pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (Juni 2017-sekarang). | ||||||||||||||||
Pendidikan | ˸ | ◦ | Madrasah Ibtidaiyah di Pondok Pesantren al Mardhiyyah, Waru, Pamekasan, Madura. | ||||||||||||||
◦ | SD Negeri Waru, Pamekasan, Madura. | ||||||||||||||||
◦ | Sekolah Pendidikan Guru Agama (SPGA) Negeri, SLTP 4 tahun, Pamekasan, Madura. | ||||||||||||||||
◦ | Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), SLTA 3 tahun, Yogyakarta. | ||||||||||||||||
◦ | Sarjana Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negera, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. | ||||||||||||||||
◦ | S1 Fakultas Sastra dan Kebudayaan (Sasdaya) Jurusan Sastra Arab, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. | ||||||||||||||||
◦ | Magister Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. | ||||||||||||||||
◦ | Doktor Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. | ||||||||||||||||
◦ | Profesor Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar