Sutradara
Teater Lingkar mengajarkan nilai-nilai
kehidupan
Nama
lengkap sutradara Teater Lingkar ini adalah Suhartono Padmo Sumarto. Di lingkungan tempat tinggalnya, di
Perumahan Kini Jaya Semarang, para tetangganya sering memanggilnya dengan nama
pak Hartono. Tapi warga Semarang lebih mengenalnya sebagai Mas Ton Lingkar. Nama aslinya (Suhartono Padmosoemarto) justru
banyak yang belum tahu.
Teater
Lingkar didirikan Mas Ton pada 4 Maret 1980 di Jl. Genuk Krajan II/9 Tegal
Wareng, Semarang. Pada saat didirikan hampir 100 orang mendaftar menjadi
anggota. Dari 100 orang itu kemudian jumlahnya menyusut/ berkurang. Jumlah
anggota sempat naik turun karena di samping ada anggota keluar, ada juga orang
baru yang masuk mendaftar. Di antara mereka masuk di teater itu ada yang terdorong
keinginan menjadi seorang bintang yang terkenal.
“Anda
salah, saya bilang gitu. Kalau anda masuk ke teater hanya ingin terekspos
menjadi orang terkenal itu salah. Kepopuleran itu akan secara otomatis
menyertai anda bilamana anda mempunyai prestasi. Maka tidak usah dikejar-kejar.
Yang penting anda bermain baik, serius, optimal, bisa mengukir prestasi
otomatis dengan sendirinya nama anda akan menjadi populer, akan menjadi terkenal.
Kalau anda baru masuk sudah punya benak ingin terkenal, itu salah. Silakan
keluar dari Teater Lingkar,” kata Mas Ton pada anggota teater yang dipimpinnya.
Semua
anggota Teater Lingkar harus bisa menjadi seorang pemain yang baik, orang yang
baik, dan orang yang mengerti tentang lingkungan. “Anggota yang tidak mempunyai
misi semacam itu silakan keluar dari Teater Lingkar. Bukan di sini tempatnya,”
imbuhnya.
Adapun yang membuat anggota tetap bertahan di Teater Lingkar karena di jagat perteateran itu mereka diajarkan bagaimana supaya orang tidak semena-mena terhadap orang lain, karena mereka merasakan bagaimana kalau disakiti.
Tahun 1991 Teater Lingkar pindah ke Jl. Gemah Jaya, Perumahan Kini Jaya, Semarang. Anggotanya semakin beragam, ada pelajar, mahasiswa, pegawai, dan masyarakat umum, termasuk pengangguran. Anggotanya tidak tetap. Mereka bisa masuk dan keluar kapan saja. Meski anggotanya tidak tetap dan sebagian keluar masuk, tetapi Teater Lingkar tetap bisa berjalan karena mereka merasa bahwa menggeluti dunia teater itu adalah kehidupan. Mas Ton mengajarkan bagaimana bisa hidup dengan proses mengenal alam dan manusia. Di situ ada persoalan-persoalan krusial, persoalan-persoalan yang dihadapi manusia setiap harinya. Pengalaman menghadapi persoalan hidup itu tidak pernah didapatkan di bangku sekolah maupun di bangku kuliah.
Tahun 1991 Teater Lingkar pindah ke Jl. Gemah Jaya, Perumahan Kini Jaya, Semarang. Anggotanya semakin beragam, ada pelajar, mahasiswa, pegawai, dan masyarakat umum, termasuk pengangguran. Anggotanya tidak tetap. Mereka bisa masuk dan keluar kapan saja. Meski anggotanya tidak tetap dan sebagian keluar masuk, tetapi Teater Lingkar tetap bisa berjalan karena mereka merasa bahwa menggeluti dunia teater itu adalah kehidupan. Mas Ton mengajarkan bagaimana bisa hidup dengan proses mengenal alam dan manusia. Di situ ada persoalan-persoalan krusial, persoalan-persoalan yang dihadapi manusia setiap harinya. Pengalaman menghadapi persoalan hidup itu tidak pernah didapatkan di bangku sekolah maupun di bangku kuliah.
Punya sikap
Salah
satu yang menjadikan daya tarik anggota sehingga bisa kerasan di Teater Lingkar
adalah di Teater Lingkar diajarkan bagaimana menjadi manusia yang punya sikap, selalu
bersyukur, aja dumeh, dan aja rumangsa bisa. Menjadi pemain teater
pada dasarnya bermain menjadi orang lain. Sehingga tepa selira itu akan selalu
ada dalam jiwa pemain teater. Kadang seseorang yang belum berkeluarga harus memerankan
sebagai bapak, ibu, kakek ataupun nenek. Dia harus bisa memerankan peran itu
sesuai karakter masing-masing tokoh yang diperankan. Kalau secara penjiwaan
sudah gagal, maka pementasan yang dilakukan di atas panggung akan menjadi
pementasan yang kurang enak ditonton.
Menurut
Mas Ton, menjadi peran antagonis atau peran apa saja itu harus bisa. Memerankan
seorang penjahat, dia tidak harus menjadi seorang penjahat. Latihan teater itu
tidak harus langsung melakukan adegan. Tapi bisa lebih dulu mengamati, membaca,
dan melihat, itu sudah bisa menjadi referensi pemain untuk masuk ke dalam peran
sukma. Maaf misalnya seseorang harus memerankan perampok ataupun pelacur. Sebelum
tampil di atas panggung apakah harus menjadi seorang perampok atau pelacur dulu?
Kalau harus menjadi perampok atau pelacur dulu, itu salah. Sebelum tampil di
atas panggung harus bisa mengamati bagaimana polah tingkah pelacur, bagaimana
perampok itu, bisa dengan cara nonton film, nonton video, membaca, atau melihat
langsung kejadian. Observasi semacam itu akan menjadi aset di dalam benak pemain
untuk diekspos pada saat tampil di atas panggung atau pentas.
Bapak
tiga orang anak ini menuturkan, kesuksesan sebuah teater itu tidak diukur dari laku
dijual apa tidak. Tapi diukur dari laku dinikmati apa tidak. Karena teater bukan
barang dagangan, tapi sebuah pembelajaran untuk hidup. “Jadi selama kita hidup
kita harus mengenal tentang perteateran. Sehingga saya dan teman-teman Teater Lingkar
tidak pernah mengatakan bahwa saya katam di dalam jagat perteateran. Selama
saya masih hidup saya akan terus menggeluti teater. Karena teater itu
mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan,” jelasnya.
Pentas Teater Lingkar di Taman Budaya
Jawa Tengah Surakarta
membawakan naskah “Tuk” yang disutradarai Mas Ton. Skenario ditulis Bambang
Widoyono. Tiket dijual Rp. 15.000,00.
|
Prestasi
Banyak
anggota Teater Lingkar yang sudah mengukir prestasi yang membanggakan. Namun
Mas Ton mengaku tidak berani menyebut. “Terlalu juwama. Biar masyarakat yang menilai. Yang jelas banyak teman-teman
yang sukses di Teater Lingkar,” katanya.
Kado budaya
Ketika
ditanya dana dari mana untuk membiayai setiap pementasan, Mas Ton menjawab dari
Allah SWT. “Selama nawaitu kita untuk
membangun nilai-nilai kebenaran sesuai dengan jalan Allah saya yakin Gusti Kang Murbaing Dumadi pasti paring tuntunan. Saya tidak pernah
merasa tidak mampu di dalam hal srawung
dengan teman-teman. Selama saya masih diberi kekuatan untuk hidup oleh Yang
Kuasa insya Allah akan saya lanjutkan,” katanya.
Mas
Ton pernah bekerja sebagai PNS di Kantor Gubernur Jawa Tengah. Tepatnya di
Sekretariat Wilayah Daerah Jawa Tengah. Pensiun Desember 2010. Untuk membangun
sanggar, beli kostum, transpot pemain, dekorasi, seting panggung, konsumsi dan
lain-lain tidak jarang Mas Ton harus mengeluarkan dana pribadi dari koceknya,
baik pada saat masih bekerja maupun setelah pensiun. Seberapa banyakkah?
Menurutnya, semua itu tidak bisa diukur dengan seberapa banyak. Tapi diukurnya
dengan keikhlasan. Selama memberinya dengan rasa ikhlas itu tidak ada yang
hilang. “Sangune ikhlas, mas. Tanpa
pamrih. Itu tidak ada yang hilang. Malah akan tumbuh. Ibarat kita menyebar
benih, kita pupuk, kita siram, akan tumbuh. Seperti orang menanam padi, dari
sekian kilo benih padi, setelah panen menjadi sekian ton,” katanya.
Setiap
pementasan sudah ada tim menejemen yang mencarikan sponsor dengan cara menjual
tiket. Tapi ada juga program-program Teater Lingkar yang sifatnya sedekah.
Artinya Teater Lingkar pentas tanpa bayaran. Ini biasa dilakukan pada saat
mendekati ataupun pada saat ulang tahun Teater Lingkar. Istilahnya Kado Budaya.
Pentas ulang tahun Teater Lingkar dikemas dalam program Kado Budaya.
Waktu
mendirikan teater, Mas Ton sudah berkeluarga. Alhamdulillah sampai saat ini keluarga masih tetap mendukungnya, karena
keluarganya juga mengerti manfaat dari jagat perteateran. Selama ini ia tidak
pernah merasakan rumah-tangganya terguncang karena berkesenian. (an).
Biodata | ||||||||||
Nama lengkap | : | Suhartono Padmosoemarto. | ||||||||
Nama panggilan | : | Mas Ton Lingkar. | ||||||||
Tempat, tgl. lahir | : | Semarang, 26 November 1954. | ||||||||
Istri | : | Widiana Retno Dwiwati (ibu rumah tangga yang hobi melukis). | ||||||||
Anak | : | 1. | Ario Bimo Gesit Widiharto | |||||||
2. | Dhananjaya Gesit Widiharto | |||||||||
3. | Sindhunata Gesit Widiharto | |||||||||
Penghargaan | : | 1. | Sutradara terbaik tingkat Jateng tahun 1985 | |||||||
dalam pementasan naskah “Was was” tulisan Prie GS. | ||||||||||
2. | Penghargaan dari MURI atas prestasi menyelenggarakan | |||||||||
pagelaran wayang kulit setiap malam Jum’at yang ke 200 kali. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar